Manado, BeritaManado.com — Pelaksanaan Sidang Raya XVII Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) di Sinode Gereja Kristen Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) 8-13 November lalu meninggalkan kesan kepada seluruh peserta maupun peninjau.
Salah satu peninjau utusan Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) Dicky Masengi memberikan catatan ringan tethadap seluruh rangkaian kegiatan tersebut.
Kegiatan tersebut diakhiri dengan penetapan Pengurus Baru MPH PGI periode 2019-2024 dibawah kepemimpinan Odt. Gomar Gultom MTh selaku Ketua Umum.
Sebagai salah satu delegasi, kami merasa bangga, dimana salah satu pengurus adalah Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey SE sebagai Ketua I PGI.
Kehadiran Gubernur Olly Dondokambey menurut pendapat saya adalah sebuah pemberian diri dalam pelatanan gereja, meski ada agenda penting dengan Presiden RI Ir. Joko Widodo.
Untuk menunjang mobilitas Gubernur Olly Dondokambey dalam membagi waktu antara mengikuti Sidang Raya PGI dan kegiatan pemerintahan, maka digunakan pesawat khusus.
Kehadiran delegasi KGPM sebagai peninjau diapresiasi karena merupakan peserta terbanyak yaitu 24 orang.
Kedatangan dua kloter delegasi KGPM ditopang dengan semangat gotong royong seluruh jemaat, dimana rute penerbangan ditempuh melalui Bandara I Gusti Ngurah Rai Bali, selanjutnya menggunakan pesawat berukuran kecil pada Minggu (10/11/2019) dari maskapai Wings Air dengan kapasitas 70 penumpang.
“Jelang mendarat di Bandara Umbu Mehang Kunda, kami terpesona dengan pemandangan hamparan bukit tandus. Menurut pak Yunus, seorang warga Sumba yang beristrikan keke Langowan saat menjamu makan malam hari terakhir, hamparan tandus tersebut merupakan pegunungan bebatuan seluas hampir 25 ribu hektar. Kini tengah dikelola oleh PT. MSM untuk ditanam tebu dengan menghancurkan permukaan batu,” ujar Masengi.
Saat keluar bandara Umbu Mehang Kunda di kota Waingapu waktu menjukkan pukul 11 siang dan rekan sepelayanan Pnt. Hanny Limbe menjemput sekaligus membantu siapkan transportasi.
Panas terasa menyengat dan sang sopir menunjukkan alat pendeteksi suhu udara yang saat itu mencapai 38 derajat Celsius.
Meski mobil Innova yang situmpangi menggunakan AC, tapi suhu panas tetap terasa, maka sang sopir tawarkan kaca dibuka agar terasa lebih fresh dan memang benar tanpa AC masih lebih baik.
“Setelah menempuh perjalanan 15 menit, rombongan tiba di lokasi Sidang Raya. Kami langsung masuk ruang sidang karena semua persyaratan sudah dipenuhi. Kami pun menerima tanda peserta, buku panduan dan tas ransel. Bagasi bawaan kami diatur panitia. Kami pun mengikuti sesi tanggapan atas LPJ MPH PGI 2014-2019. Usai itu, tepat jam 1 siang peserta makan siang tak jauh dari gedung persidangan. Dibawah rindangnya pepohonan, melebur peserta yang hampir 1.000 orang dilayani dengan baik makan siang menu utama daging babi,” ujar Masengi.
Sementara itu, ada lantunan pertunjukan tari dan lagu tradisional Sumba.
Usai makan, sebagian dari delegasi KGPM sempatkan diri berkunjung ke beberapa tempat menarik di Waingapu sebuah kecamatan berpenduduk hampir 60 ribu jiwa.
Kota tersebut merupakan ibukota Kabupaten Sumba Timur dengan memiliki 22 Kecamatan, 16 Kelurahan dan 149 Desa.
Luas wilayah daratan mencapai 7000,5 KM persegi yang dihuni kurang lebih 247 ribu jiwa.
Pulau Sumba merupakan salah satu pulau di gugusan propinsi Nusa Tenggara Timur batasannya di Barat Laut dengan Pulau Sumbawa NTB, di Timur Laut dengan Pulau Timor, di Selatan dan Tenggara dengan Australia.
Pulau ini memilki 4 Kabupaten dan sebagian besar rakyat di pulau ini bermata pencarian sebagai nelayan, petani, peternak kuda, dan pengrajin kain tenun ikat tradisional.
Kain tenun ikat banyak dijual di lokasi kegiatan, dimana kain tenun Sumba tersebut memiliki nuansa alami yang penuh pemaknaan baik secara sosial kemasyarakatan, budaya leluhur hingga keagamaan tradisional.
Proses pembuatan 1 lembar kain tenun membutuhkan waktu lama dan juga melibatkan peran emosional jiwa sang penenun.
Dalam kebudayaan Sumba, kain tenun digunakan sebagai pakaian adat, belis (mas kawin), pembungkus jenazah yang butuh banyak kain tenun ikat, juga untuk kebutuhan adat atau aksesoris lain seperti yang disematkan pada kebaya Ketum KGPM maupun Ketua MG dan para peserta lain usai pembahasan masing2 komisi.
“Sehari jelang penutupan, kami berkesempatan mengunjungi kuburan kuno leluhur yang terdapat rumah adat Sumba. Disebut Uma Mbatangu, rumah berpuncak mengacu pada rumah vernakular yang memiliki puncak tinggi pada atap dan hubungan kuat dengan roh adat (pemakai guna-guna) atau marapu,” ungkapnya.
Meski Sidang Raya PGI dilaksanakan di kabupaten dengan penduduk mayoritas Kristen Protestan tapi penganut kepercayaan terhadap Tuhan YME mencapai 36 persen yang disebut Merapu.
Sebagian mereka juga ada yang ikut kegiatan-kegiatan gerejawi.
Salah satu contoh kejadian yang menimpa rekan kami Pnt. Yan Polii.
Pada hari Minggu saat ibadah, dia mengalami sakit perut hebat.
Setelah kronologis kejadian disampaikan pada penduduk setempat, kesimpulannya dia kena na’i atau guna-guna karena mungkin salah mengambil posisi duduk dengan orang yang menganut merapu.
Pengobatan pun dilakukan secara tradisional oleh kaum merapu dengan cara mencipratkan kunyahan buah pinang dari mulutnya ke perut rekanku ini dan tak lebih 15 menit usai prosesi itu, Yan kembali sembuh.
“Maka ketika kami diundang makan malam oleh Kel. Yunus Tulangow, kami pun harus bertanya kebiasaan duduk bertamu,” tutur Masengi.
Hari terakhir di Pulau Sumba delegasi KGPM pamitan dengan Bapak Matius pemilik penginapan Cendana yang menjadi tempat menginap.
Sebagian dari delegasi tanpa sungkan pamit sambil sentuh hidung sebagai bentuk tradisi ciuman khas suku Sumba.
Perjalanan pulang ke Manado kembali harus melalui perjalanan panjang karena dari Sumba ke Bali harus terbang via Kupang.
Di ibukota NTT ini rombongan transit 5 jam dan dijemput Ibu Devi Rintjap asal Kinali Kawangkoan (Kel. dr Dickson Legoh Rintjap).
Rombongan difasilitasi kendaraan mewah untuk berkunjung ke sejumlah obyek wisata.
Makan siang dilayani di rumah mereka dengan menu ikan laut yang jadi incaran setelah merasakan kejenuhan menu daging babi di arena Sidang Raya siang dan malam.
Semua benar-benar lahap menghabiskan makanan yang cocok dengan lidah sesama orang Sulut.
Selepas siang rombongan terbang ke Denpasar dengan Lion Air.
Di bandara Internasional El Tari Kupang, rombongan dipaksa berjalan 250 meter ke pesawat dibawah terik matahari dengan suhu 40 derajat celsius.
Akibatnya salah seorang Gembala pingsan karena kelelahan saat tiba di bandara I Gusti Ngurah Rai Bali.
“Kamipun transit 1 malam di Denpasar sebelum terbang kembali ke Manado. Ini benar-benar perjalanan panjang yang sangat melelahkan, akan tetapi kami sungguh merasakan pengalaman yang tak terlupakan dengan segala macam situasi. Kami pun tiba di Manado dengan selamat dan langsung menuju ke rumah masing-masing,” cerita Masengi.
(***/Frangki Wullur)