ditulis oleh: Fiko Onga
(Sambungan)
Bukan Demokrasi melainkan Kepentingan! Demokrasi yang didasarkan pada Pancasila dan UUD mensyaratkan perlakuan yang sama kepada seluruh warga negara tanpa tendensi mayoritas-minoritas seperti agama, suku, dan ras, serta ekonomi dan status sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa kebebasan dan kesamaan manusia sebagai individu perlu mendapat prioritas dan perlindungan oleh negara. Pada tingkatan ini berbagai benturan ideologi harus didudukkan di bawah payung demokrasi yang telah saya sebutkan sebelumnya. Pada tingkatan yang sama pula pengakuan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang, seharusnya menjadi pengakuan yang prerogatif dan itu mutlak. Agar hal ini bisa terwujud, dibutuhkan lembaga-lembaga politik dan hukum yang bersifat mengontrol, tegas, dan memaksa. Bagaimana jika hal itu tidak terwujud? Akan kita sebut demokrasi ini? Untuk sampai pada jawaban pertanyaan ini, mari kita lihat demokrasi di negara kita. Para elit kita saat ini cenderung mengambil sikap pragmatis politik. Mereka cenderung menyesuaikan diri dengan keinginan mayoritas. Kepentingan mayoritas selalu diprioritaskan dengan mengabaikan kepentingan dan hak-hak minoritas. Karena kalau tidak demikian mereka khawatir tidak terpilih dalam pemilu berikut. Perilaku ini menjadi semacam investasi jangka panjang demi kepopuleran dan citra.
Lebih parah lagi hukum di negeri kita seperti “ayunan” yang bisa ditimang ke depan dan belakang, tergantung siapa yang memerlukan dan untuk apa. Tidak heran jika tindakan pencurian, korupsi, dan praktik mafia bisa dianggap “positif”. Hukum bukan perantara keadilan melainkan cermin kepentingan yang saling bertarung, “malah tidak jarang hukum digunakan untuk menjerat rakyat yang menjalankan tuntutan”. Di bidang ekonomi kita menyaksikan dan membaca bagaimana nasib kaum buruh di Indonesia, terlebih dengan dikeluarkannya surat keptusan bersama (SKB) empat menteri, mereka benar-benar “dipermainkan” oleh para pengusaha. Penganaktirian sektor informal melalui aksi penertiban dan penggusuran tempat usaha seperti pedagang kaki lima oleh aparat kota sudah jadi menu rutin dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kota-kota besar di Indonesia. Masih ada masalah lain yang punya relevansi dengan demokratisasi. Kiranya cukup bagi saya untuk menggambarkan fenomena-fenomena ini sebagai gambaran bahwa betapa “kepentingan diri dan kroni-kroni” lebih diutamakan oleh para elit politik. Adilkah semua itu? Lalu demokrasi seperti apa yang kita miliki saat ini? Ataukah benar bahwa keadilan hanya enak menjadi kosakata dalam diskusi?
Bagi saya benturan-benturan seperti ini merupakan sebuah proses untuk semakin mematangkan demokrasi kita. Benturan dan penghinaan perlu sebagai dialektika mewujudkan kematangan demokrasi. Tidak ada sistem lain yang lebih baik dalam mengelola pluralitas yang ada. Maka saya setuju bahwa demokrasi adalah suatu proses. Proses yang lahir dari realitas dan termanifestasi melalui kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada penghargaan kebebasan individu dan perlakuan yang sama bagi setiap anggota masyarakat. (*/Habis)
ditulis oleh: Fiko Onga
(Sambungan)
Bukan Demokrasi melainkan Kepentingan! Demokrasi yang didasarkan pada Pancasila dan UUD mensyaratkan perlakuan yang sama kepada seluruh warga negara tanpa tendensi mayoritas-minoritas seperti agama, suku, dan ras, serta ekonomi dan status sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa kebebasan dan kesamaan manusia sebagai individu perlu mendapat prioritas dan perlindungan oleh negara. Pada tingkatan ini berbagai benturan ideologi harus didudukkan di bawah payung demokrasi yang telah saya sebutkan sebelumnya. Pada tingkatan yang sama pula pengakuan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang, seharusnya menjadi pengakuan yang prerogatif dan itu mutlak. Agar hal ini bisa terwujud, dibutuhkan lembaga-lembaga politik dan hukum yang bersifat mengontrol, tegas, dan memaksa. Bagaimana jika hal itu tidak terwujud? Akan kita sebut demokrasi ini? Untuk sampai pada jawaban pertanyaan ini, mari kita lihat demokrasi di negara kita. Para elit kita saat ini cenderung mengambil sikap pragmatis politik. Mereka cenderung menyesuaikan diri dengan keinginan mayoritas. Kepentingan mayoritas selalu diprioritaskan dengan mengabaikan kepentingan dan hak-hak minoritas. Karena kalau tidak demikian mereka khawatir tidak terpilih dalam pemilu berikut. Perilaku ini menjadi semacam investasi jangka panjang demi kepopuleran dan citra.
Lebih parah lagi hukum di negeri kita seperti “ayunan” yang bisa ditimang ke depan dan belakang, tergantung siapa yang memerlukan dan untuk apa. Tidak heran jika tindakan pencurian, korupsi, dan praktik mafia bisa dianggap “positif”. Hukum bukan perantara keadilan melainkan cermin kepentingan yang saling bertarung, “malah tidak jarang hukum digunakan untuk menjerat rakyat yang menjalankan tuntutan”. Di bidang ekonomi kita menyaksikan dan membaca bagaimana nasib kaum buruh di Indonesia, terlebih dengan dikeluarkannya surat keptusan bersama (SKB) empat menteri, mereka benar-benar “dipermainkan” oleh para pengusaha. Penganaktirian sektor informal melalui aksi penertiban dan penggusuran tempat usaha seperti pedagang kaki lima oleh aparat kota sudah jadi menu rutin dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan kota-kota besar di Indonesia. Masih ada masalah lain yang punya relevansi dengan demokratisasi. Kiranya cukup bagi saya untuk menggambarkan fenomena-fenomena ini sebagai gambaran bahwa betapa “kepentingan diri dan kroni-kroni” lebih diutamakan oleh para elit politik. Adilkah semua itu? Lalu demokrasi seperti apa yang kita miliki saat ini? Ataukah benar bahwa keadilan hanya enak menjadi kosakata dalam diskusi?
Bagi saya benturan-benturan seperti ini merupakan sebuah proses untuk semakin mematangkan demokrasi kita. Benturan dan penghinaan perlu sebagai dialektika mewujudkan kematangan demokrasi. Tidak ada sistem lain yang lebih baik dalam mengelola pluralitas yang ada. Maka saya setuju bahwa demokrasi adalah suatu proses. Proses yang lahir dari realitas dan termanifestasi melalui kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada penghargaan kebebasan individu dan perlakuan yang sama bagi setiap anggota masyarakat. (*/Habis)