Ditulis oleh: Victor Runtu
(Koordinator Kampanye Penyelamatan Petani Cengkeh, Mapalus Indonesia)
Koalisi Penyelamatan Petani Cengkeh (KPPC) menuntut dicabutnya PP 109 tahun 2012 sebagai respon atas peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Lembaga-lembaga yang termasuk dalam jaringan kerja Mapalus Indonesia tersebut membentuk koalisi dan menggelar diskusi bersama di kantor Yayasan Dian Rakyat Indonesia (YDRI), Jumat (30/05/2014) kemarin.
Seperti diketahui, Hari Anti Tembakau Internasional yang jatuh pada tanggal 31 Mei, dicetuskan oleh WHO pada tahun 1987. Tujuannya menghimbau para perokok untuk bisa berhenti merokok dengan tidak menghisap rokok selama sehari/24 jam.
Benarkah hanya itu latarbelakang dicetuskannya hari Anti Tembakau? Menurut KPPC, hal tersebut merupakan bagian dari skenario besar dari kepentingan industri rokok asing untuk menghancurkan Kretek Indonesia.
Sementara itu menurut Wanda Hamilton (seorang mantan jurnalis, penulis, administrator kelompok kemanusiaan, dan pensiunan akademisi) dalam bukunya yang berjudul “Nicotine War” (terbit Mei 2010), serangkaian aktivitas kampanye mengenai anti tembakau di dunia ini sebenarnya telah dilatarbelakangi oleh kepentingan bisnis bagi perusahaan-perusahaan farmasi besar di dunia.
Awal perkembangan kampanye perilaku anti tembakau dan rokok ini berasal dari pengembangan produk nikotin “alternatif” yang dilakukan oleh para ilmuwan Pharmacia (perusahaan farmasi multinasional terkemuka), sejak 1962. Pharmacia memang merupakan perusahaan farmasi pertama yang mengahasilkan produk untuk terapi penggantian nikotin. Perusahaan ini mengembangkan permen karet nikotin sejak 1971. Kesuksesan penemuan ini akhirnya mendorong perusahaan farmasi lain untuk menemukan nikotin alternatif. Hingga awal 1980-an, perkembangan itu terus meningkat dan dipasarkan secara bebas serta atas resep dokter.
Namun, peristiwa terpenting yang mengubah produk-produk pembantu berhenti merokok yang relatif tidak efektif itu menjadi emas murni adalah laporan Surgeon General C. Everett Koop tahun 1988, “Dampak Kesehatan Merokok : Kecanduan Nikotin.” Sebelum terbitnya laporan ini, seluruh laporan sebelumnya dari Surgeon General mencirikan nikotin dalam tembakau sebagai “mendorong kebiasaan” (habituating). Sedangkan laporan tahun 1988 itu secara efektif mengubah definisi ketagihan (addiction) sehingga mencakup nikotin dalam produk-produk tembakau. Dengan demikian “kebiasaaan” merokok berubah menjadi suatu “ketagihan” yang perlu “ditangani” oleh ahli terapi perilaku dan dengan sarana obat-obatan yang membantu berhenti merokok. (Wanda Hamilton, 2010:4)
Itulah mengapa perusahaan farmasi tersebut gencar untuk membuat penemuan untuk mengendalikan produk-produk tembakau. Mereka berhasil menggaet lembaga-lembaga kesehatan publik, bahkan WHO.
Berikut ini adalah upaya yang dilakukan para pedagang obat (perusahaan farmasi) dalam menjalin kerjasama dengan lembaga kesehatan publik untuk program anti tembakau :
1. Menaikkan pajak tembakau sehingga harga produk-produk lebih kompetitif dibandingkan produk tembakau.
2. Melekatkan cap jahat terhadap industri tembakau dan melarang iklan produk-produk mereka.
3. Memberlakukan larangan merokok untuk memaksa para perokok agar berusaha berhenti merokok dengan menggunakan produk-produk farmasi atau memakai produk-produk pengganti nikotin sebagai penyulih di saat mereka tak dapat merokok.
4. Mempromosikan berhenti merokok dan penanganan kecanduan nikotin.
5. Mempromosikan rangkaian penanganan lengkap bagi kecanduan nikotin melalui asuransi kesehatan negeri maupun swasta.
Lalu, mengapa nikotin yang terdapat dalam tembakau itu dilarang untuk diolah menjadi rokok tetapi kemudian diolah menjadi nikotin alternatif yang diduga berhasil sebagai saran bantu berhenti merokok maupun obat untuk aneka penyakit. Menurut Jack Henningfeld (ahli farmakologi, konsultan untuk Smithkline Beecham), Nikotin adalah zat kimiawi yang mencengangkan.
Sedangkan pernyataan yang cukup membuat kita tercengang yaitu, menurut John Josselyn tentang pemanfaatan tembakau sebagai obat, tembakau ternyata dapat melancarkan pencernaan, meringankan encok, sakit gigi, mencegah infeksi melalui bau-bauan. Tembakau menghangatkan yang kedinginan, sekaligus menyejukkan mereka yang berkeringat , menimbulkan rasa kenyang bagi yang kelaparan, memulihkan semangat yang loyo, mencegah nafsu makan, membunuh kutu rambut dan telurnya. Tumbukan daun hijaunya, meski beracun menyembuhkan luka akibat sakit gangren. Tembakau juga bisa dibikin sirup untuk aneka penyakit; dijadikan asap untuk sakit tuberkolosis, batuk paru-paru; diupakan untuk sakit rematik, dan semua penyakit akibat hawa dingin dan lembab; bagus untuk badan yang terkena dingin dan lembab dengan meletakkannya di atas perut kosong; jika ditaruh di atas perut kenyang, ia melancarkan pencernaan.
Industri farmasi tentu melihat hal tersebut sebagai sebuah peluang bisnis yang amat sangat menggiurkan. Bahkan anggapan yang mereka yakini sampai saat ini yaitu, dengan bisnis nikotin alternatif ini, tidak hanya gerakan anti tembakau saja yang akan mereka kuasaim, tetapi juga gerakan untuk bidang kesehatan yang lain. Dengan begitu, mereka akan terus memasarkan produk-produk andalannya, dan terus menekan bahan-bahan alamiah yang mereka anggap sebagai sumber penyakit, seperti tembakau.
Pada tingkat nasional Pemerintah Indonesia mendukung keputusan WHO dengan melahirkan PP 109 tahun 2012 yang isinya pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
Kemudian diturunkan menjadi peraturan daerah seperti Perda KTR yang sudah dilaksanakan dibeberapa daerah. Diantaranya yaitu, Palembang, DKI Jakarta, Bogor, Surabaya, Padang Panjang Sedangkan provinsi yang telah mensosialisasikan dan merencanakan KTR adalah Sumatra selatan, Sumatra Barat, Bali, Kalimantan Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, serta Jawa Timur, Yogyakarta, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Tidak menutup kemungkinan Pemerintah Kota Manado juga akan melakukan hal yang sama, membuat Perda terkait KTR. Untuk itu Mapalus Indonesia mengundang lembaga-lembaga jaringan kerja Mapalus Indonesia. Lembaga yang hadir antara lain LBH Manado, AMAN, LMND, YDRI, CEFIL Sulut, Yayasan Suara Pulau, Projo Sulut dan Mahasiswa.
Dalam rangka memperingati hari Anti Tembakau tanggal 31 Mei 2014, lembaga yang hadir menyepakati beberapa hal diantaranya:
1. Menuntut dicabut PP 109 tahun 2012
2. Mengawal implementasi Perda KTR jika mengakomodir kepentingan perokok dan yang bukan perokok. Bila tidak maka akan menuntut Perda tersebut direvisi.
3. Mendorong Pemerintah Daerah membuat Perda yang bisa mengamankan komoditas unggulan lokal seperti cengkeh, kelapa dan pala.
Mapalus Indonesia menekankan kepada pemerintah, apabila nanti akan menetapkan Perda yang sama terkait KTR sebaiknya dikaji lebih mendalam. Hingga implementasinya bisa dimaksimalkan sesuai dengan tujuan Perda itu sendiri. (*)