oleh (tim redaksi bekerjasama dengan radio 68H)
Dengan aksi jalanan yang masif, kenaikan harga BBM akhirnya dibatalkan, setidaknya ditunda untuk sementara waktu. Dalam aksi massa sebelumnya, biasanya yang aktif adalah massa mahasiswa dan massa buruh, namun dalam isu BBM kali ini, massa PDIP (PDI Perjuangan) juga ikut turun ke jalan, bersinergi dengan anggota mereka di DPR RI. Partai Demokrat dengan sinis menyebut PDIP tengah memainkan politik jalanan : gerakan ekstra parlementer. Gerakan politik yang lazim dipakai gerakan mahasiswa atau buruh.
Adakah yang salah bila kader-kader PDIP, atau parpol lainnya, turun ke jalan, bergabung dengan mahasiswa dan buruh? Inilah yang menjadi tema perbincangan program Pilar Demokrasi, yang diselenggarakan KBR68H. Diskusi kali ini menghadirkan tiga narasumber: Sebastian Salang (Sekjen Forum MasyarakatPemantau Parlemen Indonesia, Formappi), Lamen Hendra Saputra (Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi, LMND), Eva Kusuma Sundari (Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan)
Sebastian Salang membenarkan soal efektivitas gerakan massa, bila isu yang diangkat merupakan jeritan hati rakyat.
Keputusan penundaan harga BBM tempo hari, hanya meredakan sesaat gerakan massa. Tapi sebetulnya di bawah permukaan, gerakan itu sedang mengisi energinya kembali untuk melakukan gebrakan berikutnya. Isu BBM kemarin adalah proses politik yang belum selesai, dimana Presiden SBY dan Partai Demokrat tersandera dalam skenario Partai Golkar, menurut Salang, itu akan memicu gerakan yang jauh lebih dahsyat kelak.
Lamen Hendra Saputra menegaskan, bahwa yang dikehendaki gerakan mahasiswa adalah pembatalankenaikkan harga BBM, bukan penundaan. Tapi keputusan yang diambil justru keputusan yang mengundang “bom waktu” bagi pemerintah sendiri. Masih menurut Lamen, keputusan DPR RI bersifat ambigu, dan memberikan keleluasaan bagi pemerintah setiap saat bisa menaikkan harga BBM. Lamen dengan nada geram mengatakan, hari ini gerakan mahasiswa, buruh dan rakyat, bisa menyimpan energinya dulu, untuk melakukan konsolidasi agar kelak bisa memukul balik pemerintah.
Terkait dengan tuduhan Partai Demokrat, bahwa PDIP melakukan gerakan ekstra parlementer, dengan ikut menggalang massa, Eva Kusuma Sundari menyebut tuduhan tersebut sebagai kesia-siaan. Eva meningatkan di era reformasi ada kemajuan signifikan, dimana publik (civil society) maupun kelompok mahasiswa, LSM, memiliki posisi tawar terhadap penguasa. Dan ini sudah dibuktikan dari beberapa keputusan politik di parlemen, dimana tekanan massa kemudian, juga lobi, sangat mempengaruhi, dan Eva mengaku gembira dengan perkembangan ini. Kita sudah maju dalam pengambilan keputusan, bahwa civil society mempunyai akses dan kontrol yang lebih besar dari era sebelumnya.
Sebastian melihat, maraknya demonstrasi merupakan gambaran betapa demokrasi yang disalurkan melalui DPR belum cukup matang. Semakin menegaskan bahwa DPR belum sepenuhnya dipercaya oleh masyarakat, termasuk anggota PDIP sendiri, karena itu membutuhkan tekanan. Bila tidak ada tekanan dari publik, DPR kurang peduli. Salang menyebutkan, bahwa parpol
seringkali lalai, bahkan absen, untuk mengartikulasi aspirasi dan kepentingan masyarakat. Tidak jarang partai politik membuat kesimpulan sendiri terhadap aspirasi masyarakat. Padahal aspirasinya yang mereka simpulkan itu bertentangan dengan realitas yang sesungguhnya.
Lamen kembali menegaskan, bahwa perjuangan rakyat belum selesai. Tinggal menunggu waktu saja, kapan bom waktu ini bisa meledak, kita lihat saja nanti. “Proses konsolidasi gerakan mahasiswa tidak akan berhenti, walaupun kami diganjar tindakan represif sampai dipukul mundur, hingga ke luar Jakarta, ini tidak akan membuat kami jera, karena yang kami perjuangankan adalah atas nama rakyat,” tambah Lamen. (*/is)