Manado, BeritaManado — Kasus COVID-19 di wilayah Sulut terbilang signifikan lima hari terakhir.
Sejak 10-13 Mei, tercatat 29 warga terkonfirmasi positif.
Warga Sulut sempat lega, karena seminggu lamanya tidak ada penambahan kasus.
Banyak yang berdoa agar gelombang transmisi virus di daerah ini semakin menurun setiap hari.
Harapan disampaikan lewat doa, bahkan hingga postingan di media sosial (medsos).
Sayang, kelegaan itu kembali terusik pada Minggu sore (10/5/2020) disaat pemerintah mengumumkan ada penambahan 18 kasus positif. Berita menyebar, medsos ikut menggelegar.
Kebijakan pemerintah sebenarnya sudah cukup jelas memerangi pandemi ini. Sama dengan daerah lain, Sulut juga menerapkan kerja dari rumah untuk para pegawai negeri.
Sekolah diliburkan dan larangan mudik. Bahkan semua perbatasan kabupaten/kota mengawal ketat akses keluar masuk.
Tetapi, harapan agar laju pandemi berkurang belum sesuai harapan.
Mungkin, Sulut perlu mencontoh Provinsi Bali.
Kini Pulau Dewata menjadi perhatian hingga di level internasional.
Pasalnya, tanpa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) respon terhadap COVID-19 sangat nyata.
Per 13 Mei 2020, tercatat 332 positif, 220 sembuh, dan empat meninggal di daerah itu. Artinya ada Case Fatality Rate sebesar 1,2 persen.
Cukup jauh di bawah angka nasional 6,6 persen. Tingkat kesembuhan juga jauh di atas nasional.
Selain karena respon pemerintahnya cepat, kearifan lokal masyarakat setempat jelas berpengaruh.
Warga Bali umumnya taat hukum adat, sehingga mereka tertib dan disiplin.
Bali memiliki 1.493 desa adat.
Mereka kemudian menjadi ujung tombak perlawanan, termasuk memastikan tidak ada orang luar membawa penyakit masuk ke desanya.
Bukan PSBB, Tekan Virus dengan Kesadaran Pribadi
Ketua Perkumpulan Perempuan untuk Kebudayaan dan Demokrasi (PEKA) Sulut Dr Mayske Rondonuwu, menilai cara untuk memerangi corona tergantung dari setiap pribadi warga.
Mayske kurang sependapat jika PSBB menjadi jurus ampuh meminimalisir transmisi virus seperti pandangan sebagian orang.
“Belajar dari daerah lain yang PSBB, apakah praktis tidak ada penambahan pasien. Tetap saja ada. Pandangan ini harus diubah,” ujar Sekprodi S2 Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Manado ini.
Mayske Rondonuwu menjelaskan, PSBB adalah aturan ketat dari pemerintah agar warga lebih disiplin beraktifitas.
Termasuk pembatasan sosial yang lebih ditingkatkan.
Namun kata dia, aturan itu lagi-lagi harus dikembalikan kepada masyarakatnya.
“Kalau sudah PSBB lantas warga tidak patuh, itu sama saja,” tegasnya.
Menurut dia, kunci memerangi corona adalah kesadaran masing-masing warga.
Jika semuanya satu misi dan bertekad hidup disiplin sesuai aturan pemerintah, maka pandemi akan cepat berlalu.
“Timbulkan kesadaran bahwa kita bisa menjadi korban dan penyebar virus. Jadi bagaimana tindakan kita untuk menghindari itu,” jelasnya.
Mayske bahkan tidak mempermasalahkan kembali beroperasinya sejumlah pusat perbelanjaan di Manado mulai 15 Mei 2020.
Padahal itu berpotensi kembali menciptakan keramaian.
Menurut dia, ramai dan tidaknya mall tergantung dari warganya.
“Kalau mereka mau ke supermarket, berarti sudah paham ada risiko di sana. Seharusnya sudah bisa berpikir, mana yang aman dan tidak,” katanya.
Mayske, lebih setuju dengan antisipasi pemerintah di beberapa kabupaten berupa aturan ketat mengawasi keluar-masuk orang.
Mitra Melarang Warga Keluar
Langkah tersebut seperti yang ditunjukan Bupati Minahasa Tenggara (Mitra) James Sumendap.
Bupati dia periode ini, menganggap PSBB tidak perlu diterapkan asalkan semua komponen serius.
“Saya mengusulkan kepada Gubernur Sulut Olly Dondokambey tidak melakukan PSBB,” tegas Sumendap.
Upaya memperketat perbatasan telah dilakukan Mitra sejak Maret dibantu Polri dan TNI, ASN, berbagai elemen hingga wartawan sekalipun.
“Asalkan semua komponen serius, PSBB tidak perlu,” tegasnya lagi.
Menyikapi kondisi terkini di mana COVID-19 telah memasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat, Sumendap meminta masyarakat tidak keluar daerah.
“Apalagi Mitra menjadi wilayah yang sedang ‘dikepung’ corona,” pesannya.
Gugus Tugas Punya Cara Sendiri
Saat ini total pasien terpapar di Sulut sudah 82 orang.
Belum ada tanda-tanda kapan cobaan ini reda.
Data-Driven Innovation Lab yang dinaungi Singapore University of Technology and Design (STUD) bahkan terus memperbarui prediksi akhir pandemi virus corona.
Penelitian sebelumnya, mengatakan akhir pandemi di Indonesia berakhir pada 6 Juni 2020.
Kini, prediksi itu dimundurkan lagi dengan menyebut Indonesia akan terbebas pada awal Oktober.
Terlepas dari itu, Tim Gugus Tugas COVID-19 Provinsi Sulut enggan berpatokan dengan kajian tersebut.
Juru Bicara dr Steaven Dandel M.PH, mengatakan jika prediksi akhir pandemi yang dilakukan berbagai pihak dominan berbasis pemodelan matematika.
Sementara pihaknya bekerja dengan sistim medis dan kajian epidemologis.
“Itu sah-sah saja, namun kami tidak berdasarkan itu,” tegas Steaven Dandel.
Dikatakan, tim surveilans punya caranya untuk meredam virus ini.
Upaya itu dengan melakukan tes berkala kepada pasien yang memiliki kecurigaan COVID-19.
Selanjutnya kata Dandel, pemeriksaan atau tes sampel secara cepat diikuti dengan contact tracing.
“Konsep penanganan COVID-19 adalah test, treatment, tracking. Semakin cepat melakukan tes, cepat pula diobati,” jelasnya.
Ia menuturkan bahwa kerja-kerja tim Gugus Tugas COVID-19 Sulut kini semakin didukung dengan tersedia laboratorium khusus.
“Teman-teman bekerja total setiap hari. Sebab dengan cepat tracking pada orang yang kontak dengan kasus, akan semakin baik dalam proses deteksi dan pengobatannya,” jelasnya.
Selain itu, tambah Dandel, pemerintah tidak pernah bosan menyampaikan berbagai pedoman untuk terhindar dari COVID-19.
(Alfrits Semen)