Dari berita media online (Kompas.com 17/1/2024), Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) telah ditunjuk sebagai Ketua Percepatan Pembangunan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) yang akan memimpin NEPIO (Nuclear Energy Program Implementing Organization), sekaligus menyusun kepengurusannya secara lengkap.
Pembentukan NEPIO ini salah satu syarat yang ditetapkan oleh IAEA (International Atomic Energy Agency) bagi negara-negara yang ingin membangun PLTN.
Untuk membangun PLTN di suatu negara, maka IAEA menetapkan 19 syarat yaitu:
- National Position, 2. Nuclear Safety, 3. Management, 4. Funding and Financing, 5. Legislative Framework, 6. Safeguards, 7. Regulatory Framework, 8. Radiotion Protection, 9. Electric Grid, 10. Human Resources, 11. Stakeholder Involvement, 12. Site and Supporting Facility, 13. Environmental Protection, 14. Emergency Planning, 15. Security and Physical Protection, 16. Nuclear Fuel Cycle, 17. Radioactive Waste, 18. Industrial Involvement, 19. Procurement.
Dalam penilaian IAEA beberapa tahun yang lalu, maka dari 19 persyaratan tersebut, Indonesia umumnya sudah memenuhi syarat, kecuali butir 4,5,12,18 masih dalam posisi minor actions needs dan butir 1 dan 3 yaitu NEPIO belum terbentuk.
Menurut Ir. Adi Wardojo (Deputy Kepala BATAN 2006-2012), Tupoksi NEPIO dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu:
A. Fase pertama:
- Menyusun dan melaksanakan program dengan selalu menjalin koordinasi bersama dengan tujuan utama adalah tercapainya kesepakatan nasional “Go Nuclear di-Indonesia”.
- Menetapkan unsur pelaksana proyek dan operator/pemilik PLTN dari instansi (BUMN/Swasta/Koperasi).
B. Fase kedua:
Setelah NEPIO berhasil menggalang kesepakatan nasional “Go Nuclear” di-fase pertama, tugas dan tanggung-jawab NEPIO di fase 2 berkurang dan sebagian tanggungjawabnya diserahkan kepada pemilik/operator PLTN yang akan menggalang kerjasama dengan para pemangku kepentingan.
C. Fase ketiga:
Kegiatan utama pada fase ketiga adalah melakukan testing dan komisioning menuju kesiapan operasi komersial PLTN.
Dalam rangka pembentukan NEPIO dan pelaksanaan tugas selanjutnya, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah/NEPIO yaitu:
1 Persyaratan pasal 13 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 tentang KETENAGANUKLIRAN yang berbunyi ”Pembangunan reakor nuklir komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang berupa pembangkit listrik tenaga nuklir ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Tindak lanjut dari pasal ini setelah disetujui oleh DPR ialah memilih reaktor komersial yang sudah teruji/proven.
Ada beberapa negara sebagai vendor/produsen reaktor nukilir untuk PLTN yang sudah teruji secara komersial seperti Perancis, Rusia, USA, Kanada, Korea Selatan, Jepang, dan Cina dengan keunggulan tipe masing-masing.
Dalam menentukan vendor/produsennya bisa melalui tender atau penunjukan dengan berbagai pertimbangan dari segi ekonomi, finansial, kerjasama jangka panjang yang saling menguntungkan transfer teknologi, penguatan ketahanan energi yang memperkuat ketahanan nasional, jaminan kuat tidak ada sabotase dari vendor/produsen, bertambahnya SDM yang menguasai nuklir baik kuantitas maupun kualitas, dll yang menguntungkan kedua belah-pihak.
2 Pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997 berbunyi; “Pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning reaktor nuklir non-komersial dilaksanakan oleh Badan Pelaksana”.
Ini artinya reaktor nuklir untuk tujuan komersial tapi belum teruji/proven, tidak boleh dilaksanakan oleh swasta kecuali Pemerintah.
Pasal ini telah dilaksanakan oleh BATAN beberapa tahun yang lalu dengan membangun Reaktor Daya Eksperimental (RDE) tipe HTGR (High Temperature Gas Reactor) dengan kapasitas 10MW, tapi kemudian terhenti atau dihentikan tanpa jelas alasannya.
RDE ini perlu dipertimbangkan kembali untuk dilanjutkan. Ini penting mengingat Cina saat ini telah berhasil membangun dan memproduksi PLTN tipe HTGR Generasi IV secara komersial.
Indonesia bisa bekerjasama dengan Cina membangun PLTN HTGR kemudian melakukan alih teknologi, sehingga RDE tsb berkembang menjadi PLTN buatan Indonesia tipe HTGR.
Jika ini terjadi maka kerjasama dengan Cina tersebut bisa berupa Indonesia memproduksi reaktor nuklir HTGR dengan kapasitas kecil (small size) dan Cina dengan kapasitas sedang dan besar (middle and big size).
3 Dalam rangka persiapan pembangunan PLTN di Indonesia, maka disamping pembentukan NEPIO, juga perlu di-bentuk TSO (Technical Support Organization) dengan tugas (menurut Ir. Adi Wardojo) layanan konsultasi teknis (terutama aspek teknologi dan keselamatan nuklir) antara lain: testing, monitoring, inspeksi, material referensi, kalibrasi, pengujian dan asesmen SDM, studi dan asesmen resiko untuk organisasi: BADAN PENGAWAS dan operator PLTN.
4 Anggota/Pimpinan MPTN (Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir) akan duduk dldalam keanggotaan NEPIO, kata Djoko Siswanto, Sekertaris DEN (Dewan Energi Nasional).
Pertanyaannya, apakah sudah dibentuk MPTN berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 83 tahun 2014 tentang Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir, dimana keanggotaannya berjumlah 7 orang (pasal 5), yang keanggotaannya ini melalui seleksi yang dilakukan oleh Tim Seleksi (pasal 8), dan hasil seleksi ini dipilih 14 orang untuk dikirim Tim Seleksi kepada Menteri dan dari Menteri dikirim kepada Presiden, dan Presiden memilih 7 orang dari 14 orang tersebut untuk ditetapkan sebagai anggota MPTN (Keputusan Presiden).
Jangan sampai pembentukan MPTN ini tidak sesuai dengan ketentuan tersebut yang nanti akan menimbulkan persoalan.
5 Penentuan tapak untuk lokasi pembangunan PLTN. Penentuan tapak lokasi pembangnan PLTN harus super hati-hati, karena Indonesia termasuk wilayah rawan gempa dan tsunami.
Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG), daerah rawan gempa dan tsunami di Indonesia meliputi Balikpapan/Kaltim, Sulawesi Utara, Tengah, Selatan, Maluku Utara dan Selatan, D.I. Aceh, Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, Banten, Jateng, D.I. Yogya, Jatim, Bali, NTT, NTB, Biak, Yapen, Fak-Fak.
Indonesia harus belajar musibah Fukushima, sehngga tidak terjadi di Indonesia jika kita membangun/memiliki PLTN. Karena itu penentuan lokasi harus benar-benar super teliti dengan tidak mentolerir lokasi yang rawan bencana dan tsunami seperti wilayah-wilayah yang disebutkan diatas.
Dari data diatas, maka daerah Kalimantan sangat cocok sebagai lokasi untuk pembangunan PLTN. Dalam perkembangan teknologi sekarang, Jawa dan Sumatera (yang rawan gempa) dapat disuplai aliran listrik dari PLTN yang beroperasi di Kalimantan dengan membangun kabel di bawah laut.
6 BAPETEN harus konsisten dan konsekwen tanpa kompromi dalam melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia khususnya pembangunan dan pengoperasian PLTN yaitu melalui peraturan, perizinan, dan inspeksi sesuai dengan pasal 14 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1997.
Termasuk perijinan pembangunan reaktor daya eksperimen dan komersial. Apabila terjadi pelanggaran/kompromi yang melanggar aturan karena sesuatu kepentingan, maka dikemudian hari, kesalahan/kompromi tsb akan jadi rujukan untuk membuat kesalahan2 selanjutnya yang muaranya bisa berakibat fatal bagi kehadiran PLTN di-Indonesia.
7 Pemerintah harus jeli dan saksama untuk memperhatian secara sungguh-sungguh suara dari masyarakat (baik terorganisir maupun perorangan) yang pro dan kontra kehadiran PLTN di-Indonesia.
Yang kontra karena titipan dari pihak tertentu dan mungkin ada imbalan, demikian juga yang pro/dukung karena hal yang sama.
Saat ini banyak terjadi pelacuran intelektual yang mungkin juga sudah menjalar dibidang energi nuklir dimana salah dibilang benar atau sebaliknya karena berbagai kepentingan/imbalan yang dampaknya sangat merugikan.
Terkait hal ini, maka sosialisasi PLTN harus dilakukan terintegrasi antara aparat pusat dan daerah dengan suara yang sama, juga dalam memberi respon atas aspirasi masyarakat, dengan suara yang bulat.
Dari berbagai hal yang diutarakan diatas, maka setelah Menko Kemaritiman dan Investarsi LBP ditunjuk sebagai Ketua Tim Percepatan Pembangunan PLTN, reaksi utama dari LBP ialah sbb: LBP menyebut, saat ini dirinya sedang mempelajari segala kemungkinan yang ada. LBP mengatakan, pengembangan sumber daya nuklir harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Hal itu dikarenakan lokasi sumber daya yang kemungkinan berada di daerah yang rawan bencana.
“Ya, kami pelajari. Saya pribadi untuk teknologi tidak terlalu khawatir. Tapi yang saya khawatir itu gempa bumi areanya, bagaimana itu, kami sudah siap atau belum,” kata LBP kepada awak media di kantor Kemenko Marves, Jakarta pada Jumat, 26 Januari 2024.
Sehingga menurut LBP masih perlu sederet persiapan yang cukup serius untuk merealisasikan PLTN ini. Pemerintah akan terus mendukung segala kebijakan publik yang sifatnya menuju kebaikan termasuk PLTN ini.
Terkait dengan kekhawatiran LBP tersebut diatas, khusus mengenai gempa, maka yang paling cocok untuk membangun PLTN adalah Kalimantan, sebagai wilayah yang tidak termasuk rawan gempa dan tsunawi sebagaimana yang dikategorikan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (DVMBG), seperti diutarakan diatas.
Disisi lain LBP juga perlu mencermati mengenai pelaksanaan peraturan dalam persiapan kehadiran PLTN di Indonesia sebagaimana disampaikan diatas, baik mengenai pematuhan dan pelanggaran aturannya.
Jika terjadi penyimpangan/pelanggaran perlu dikoreksi/dibatalkan, jangan kompromi karena akan menimbulkan masaalah besar dimasa yang akan datang.
LBP sebagai pribadi yang memiliki integritas yang tinggi, penuh disiplin pasti berani bertindak, tidak takut kepada siapapun, mampu menegakkan aturan serta menerobos berbagai hambatan dan tantangan demi kehadiran PLTN di-Indonesia yang secara paripurna memenuhi segala persyaratan.
Selama 50 tahun PLTN telah menjadi bulan-bulananan antara pihak yang pro dan kontra sampai saat ini sehingga kehadiran PLTN masih tetap tidak ada kepastian.
Semoga LBP mencatat sejarah penting di-Indonesia, dimana kehadiran PLTN pertama di-Indonesia karena kepemimpinannya sebagai Ketua Tim Percepatan Pembangunan PLTN.
Jakarta, 3 Pebruari 2024.
Drs. Markus Wauran
Penulis adalah Wakil Ketua Dewan Pendiri HIMNI.