Manado–Focus Group Discussion (FGD) kembali digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado.
Kali ini, editor berbagai media cetak di Sulawesi Utara digandeng untuk ikut terlibat dalam pemberitaan mengenai lingkungan yang dilaksanakan di Kantor Harian Kawanua Post, Rabu (30/11/2016).
Ketua AJI Manado Yoseph Ikanubun dalam pengantarnya mengatakan, AJI Manado disokong donor Development and Peace (DnP) Canada yang fokus terhadap isu-isu lingkungan.
Dan FGD di Harian Kawanua Post adalah yang kelima kalinya dilaksanakan untuk media cetak setelah di Tribun Manado, Koran Sindo, Swara Kita dan Media Sulut.
“Disini kami mengangkat tema Menjaga Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Budaya,” ujar Ikanubun.
Lanjutnya, isu lingkungan saat ini masih dianggap kurang seksi dan menarik sehingga tidak terakomodir oleh media.
Pendekatan melalui FGD seperti ini nantinya bisa diketahui isu lingkungan sangatlah penting untuk keberlangsungan hidup sekarang dan dimasa yang akan datang.
“Terkadang reporter di lapangan telah membuat berita mengenai lingkungan, tapi tidak diakomodir di bagian keredaksian. Itulah mengapa editor dan pemimpin redaksi kita ajak untuk berdiskusi pentingnya isu lingkungan,” katanya.
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kawanua Post, Alfein Gilingan yang didaulat sebagai pembicara memaparkan peran media sangat strategis dalam pelestarian lingkungan.
Namun dia cenderung lingkungan hidup dalam perspektif budaya di Sulut terjadi karena kearifan lokal.
“Contoh pelestarian lingkungan dengan menggunakan kearifan lokal adalah pasangan yang akan berumah tangga baru harus menanam pohon sebelum menuju ke catatan sipil. Ini sangat menarik, karena memiliki nilai-nilai budaya, kemanusian hingga sosiologis,” tandasnya.
Dia berharap, model kearifan lokal adalah sebuah tatanan yang diwariskan leluhur yang harus terus dijaga. Untuk itu, dalam menjaga kelestarian lingkungan ini dapat dimulai dari lingkungan keluarga, komunitas pers dan lain-lain.
“Kearifan lokal ini sangat menarik untuk ditulis. Kita sebagai pelaku pers punya tanggung jawab moril untuk menjaganya,” pungkasnya.
Sementara itu, Budayawan Sulut Denni Pinontoan menjelaskan perkembangan peradaban manusia terbagi dalam 3 bagian besar.
Era ekosentrime, dimana manusia pada zamannya menjadikan alam sebagai rumahnya.
Selanjutnya era antroposentrisme yaitu manusia menaklukan tanah dan mengekspolitasi sumber daya alam, serta era kosmosentrime, dimana manusia dan alam adalah satu kesatuan dan tak bisa dilepaskan dari lingkungan hidup.
“Jadi kita sekarang berada di era kosmosentrime ketika ada atau muncul kesadaran bahwa manusia harus kembali menyatu dengan alam,” terangnya.
Dia menegaskan, kerusakan lingkungan hidup, laut direklamasi dan lain-lain itu tidak terjadi begitu saja, melainkan merupakan peradaban manusia. Dia menambahkan, budaya memiliki arti yang luas dan dinamis.
Budaya yang di dalamnya merupakan kearifan lokal saat ini katanya, sudah tidak dipahami. Salah satu faktornya karena agama.
“Contoh kearifan lokal yang sudah tidak dipahami adalah pohon besar menurut orang tua dulu jangan diganggu atau dipotong, tapi dianggap takhyul. Padahal makna sebenarnya karena terkait pelestarian lingkungan. Dimana, saat pohon itu dipotong ternyata terjadi longsor,” tegasnya.
FGD yang menghadirkan 15 editor berbagai media cetak di Sulutnya ini, ditutup dengan diskusi mencari solusi peran media untuk ikut menjaga kearifan lokal lingkungan hidup untuk terus terjaga melalui pemberitaan.(***/findamuhtar)
Manado–Focus Group Discussion (FGD) kembali digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado.
Kali ini, editor berbagai media cetak di Sulawesi Utara digandeng untuk ikut terlibat dalam pemberitaan mengenai lingkungan yang dilaksanakan di Kantor Harian Kawanua Post, Rabu (30/11/2016).
Ketua AJI Manado Yoseph Ikanubun dalam pengantarnya mengatakan, AJI Manado disokong donor Development and Peace (DnP) Canada yang fokus terhadap isu-isu lingkungan.
Dan FGD di Harian Kawanua Post adalah yang kelima kalinya dilaksanakan untuk media cetak setelah di Tribun Manado, Koran Sindo, Swara Kita dan Media Sulut.
“Disini kami mengangkat tema Menjaga Lingkungan Hidup Dalam Perspektif Budaya,” ujar Ikanubun.
Lanjutnya, isu lingkungan saat ini masih dianggap kurang seksi dan menarik sehingga tidak terakomodir oleh media.
Pendekatan melalui FGD seperti ini nantinya bisa diketahui isu lingkungan sangatlah penting untuk keberlangsungan hidup sekarang dan dimasa yang akan datang.
“Terkadang reporter di lapangan telah membuat berita mengenai lingkungan, tapi tidak diakomodir di bagian keredaksian. Itulah mengapa editor dan pemimpin redaksi kita ajak untuk berdiskusi pentingnya isu lingkungan,” katanya.
Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kawanua Post, Alfein Gilingan yang didaulat sebagai pembicara memaparkan peran media sangat strategis dalam pelestarian lingkungan.
Namun dia cenderung lingkungan hidup dalam perspektif budaya di Sulut terjadi karena kearifan lokal.
“Contoh pelestarian lingkungan dengan menggunakan kearifan lokal adalah pasangan yang akan berumah tangga baru harus menanam pohon sebelum menuju ke catatan sipil. Ini sangat menarik, karena memiliki nilai-nilai budaya, kemanusian hingga sosiologis,” tandasnya.
Dia berharap, model kearifan lokal adalah sebuah tatanan yang diwariskan leluhur yang harus terus dijaga. Untuk itu, dalam menjaga kelestarian lingkungan ini dapat dimulai dari lingkungan keluarga, komunitas pers dan lain-lain.
“Kearifan lokal ini sangat menarik untuk ditulis. Kita sebagai pelaku pers punya tanggung jawab moril untuk menjaganya,” pungkasnya.
Sementara itu, Budayawan Sulut Denni Pinontoan menjelaskan perkembangan peradaban manusia terbagi dalam 3 bagian besar.
Era ekosentrime, dimana manusia pada zamannya menjadikan alam sebagai rumahnya.
Selanjutnya era antroposentrisme yaitu manusia menaklukan tanah dan mengekspolitasi sumber daya alam, serta era kosmosentrime, dimana manusia dan alam adalah satu kesatuan dan tak bisa dilepaskan dari lingkungan hidup.
“Jadi kita sekarang berada di era kosmosentrime ketika ada atau muncul kesadaran bahwa manusia harus kembali menyatu dengan alam,” terangnya.
Dia menegaskan, kerusakan lingkungan hidup, laut direklamasi dan lain-lain itu tidak terjadi begitu saja, melainkan merupakan peradaban manusia. Dia menambahkan, budaya memiliki arti yang luas dan dinamis.
Budaya yang di dalamnya merupakan kearifan lokal saat ini katanya, sudah tidak dipahami. Salah satu faktornya karena agama.
“Contoh kearifan lokal yang sudah tidak dipahami adalah pohon besar menurut orang tua dulu jangan diganggu atau dipotong, tapi dianggap takhyul. Padahal makna sebenarnya karena terkait pelestarian lingkungan. Dimana, saat pohon itu dipotong ternyata terjadi longsor,” tegasnya.
FGD yang menghadirkan 15 editor berbagai media cetak di Sulutnya ini, ditutup dengan diskusi mencari solusi peran media untuk ikut menjaga kearifan lokal lingkungan hidup untuk terus terjaga melalui pemberitaan.(***/findamuhtar)