BeritaManado.com – 20 Agustus 1983 tepatnya menjelang jam 1 tengah malam merupakan waktu yang selalu dikenang oleh keluarga Tumbelaka-Ticoalu.
Waktu itu di ruang rawat inap VIP Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Jenderal Gatot Soebroto, Jakarta, Frits Johanes (FJ) Tumbelaka, mantan Gubernur Sulawesi Utara dan Tengah (Sulteng) dan Gubernur pertama Sulawesi Utara (Sulut), menghembuskan nafas terakhir di hadapan keluarga dan sahabat, yaitu Asospol Kasospol ABRI, Mayjen Goenarso SF dan tokoh Permesta, Lendy Tumbelaka.
“Almarhum Papie (FJ Tumbelaka-red) meninggal di tengah malam. Kritis di tanggal 15 Agustus, lalu membaik dan kritis kembali di 19 Agustus malam. Berpulang tepat setelah perpindahan tanggal, jelang jam 1 malam tanggal 20 Agustus 1983. Saat kritis langsung datang Bapak Mayjen Goenarso, SF dan isteri, serta Bapak Lendy Tumbelaka. Mereka saksi saat almarhum Papie berpulang,” kenang sang bungsu dari Keluarga Tumbelaka-Ticoalu. Taufik Manuel Tumbelaka.
Dikisahkan kembali oleh Taufik Tumbelaka, jika sebelumnya isteri Jenderal Benny Moerdani sempat datang beberapa waktu sebelum kritis.
“Mami (almarhumah NZ Tumbelaka-Ticoalu, BA-red) sempat mengikuti acara di suatu tempat yang dihadiri isteri Panglima ABRI Bapak Jenderal Benny Moerdani saat belum kritis. Mami minta izin pulang lebih dulu karena harus ke RSPAD Gatot Soebroto. Tidak lama sampai di ruang rawat inap dari Almarhum Papie, Ibu Benny Moerdani datang membesuk,” kata Taufik Tumbelaka.
Perjalanan pasca meninggal dunia, Almarhum FJ ‘Broer’ Tumbelaka dirasakan sangat berat karena situasi sosial ekonomi juga berat.
“Almarhum Papie dapat dikatakan tidak meninggalkan apa-apa. Saya dan kakak harus lanjut menimbah ilmu. Mami bekerja keras untuk kami. Banyak kenangan pahit harus dilalui, termasuk dianggap sebelah mata bahkan alami sikap yang masuk kategori penghinaan,” ungkap Taufik.
“Sejak Almarhum Broer Tumbelaka berpulang, kami berkali-kali dapat perlakuan tidak pantas,” tambah Taufik Tumbelaka.
Sang bungsu Taufik mengungkapkan, beruntung saat kuliah dia dan kakaknya bisa masuk PTN (Perguruan Tinggi Negeri).
“Kakak di APDN Bandung dan IIP Jakarta, saya di UPN Veteran Yogyakarta lalu masuk UGM,” tutur Taufik Tumbelaka.
Tentang perlakuan tidak pantas, Taufik mengaku kadang sangat kecewa tapi menahan diri atas permintaan Sang Ibunda. Cukup sering mereka dianggap enteng bahkan beberapa kali dihina.
“Di Sulut-pun kami beberapa kali alami. Dari oknum pejabat pernah. Almarhumah Mami yang selalu meminta saya sabar terhadap perlakuan tidak pantas dan diminta untuk tidak membalas. Saya turuti pemintaan itu, berharap oknum-oknum itu sadar serta tidak berbuat hal yang sama pada orang lain. Jujur saja, saya masih sangat ingat siapa-siapa mereka,” tegas Taufik Tumbelaka yang dikenal pengamat politik dan pemerintahan Sulut.
(JerryPalohoon)