Tempat yang ditinggalkan itu, saat ini dinamai Minawanua (kampung tua).
Terletak di sepanjang aliran sungai dari ujung Utara Desa Paslaten (Sarawet Ure) sampai areal perkebunan kijang, Desa Likupang Satu, yang disitu terdapat Beton (bendungan irigasi Belanda). Lokasi ini ditandai dengan adanya waruga Dotu Watupongoh.
Sampai kini di pemukiman Minawanua masih terdapat banyak waruga dari berbagai masa disertai dengan adanya batu datar yang tertata menyerupai meja serupa altar sebagai tempat meletakan persembahan saat melakukan ritual pemujaan waktu mereka masih ditempat itu.
Orang-orang yang mendiami tempat itu untuk selanjutnya sampai kepada kami cucu-cucunya (puyun-puyun) menyebut mereka sebagai ‘Dotu’ sebutan untuk leluhur kami.
Para Dotu leluhur kami waktu itu belum mengenal kekristenan tapi mereka percaya adany suatu kuasa adikodrati diatasi mereka yang merupakan sang pencipta, yang memelihara dan mengatur seluruh gerak hidup mereka yaitu Opo Empung Wananatas.
Opo Empung Wananatas merupakan bahasa daerah dan sampai saat ini diartikan sebagai sebutan untuk ‘Tuhan Sang Pencipta.’
Waruga atau Kuburan Batu
Ketika para Dotu berpindah ke arah utara mereka mendirikan mukiman baru di pinggiran bukit batu yang berada dekat tepi laut.
Ditempat ini para Dotu menetap cukup lama dan terbentuklah pemukiman baru.
Para Dotu memiliki kebiasaan jika meninggal mereka dibuatkan waruga yaitu kuburan batu, ataupun mereka membuat kuburnya sendiri sebelum meninggal.
Tidak heran sampai beberapa generasi ada beberapa tua-tua kampung yang tahu, kapan mereka akan meninggal.
Bahan bangunan kubur itu diambil dari bongkahan batu besar (domato) yang membentuk bukit tersebut.
Mereka ingin kuburan mereka bertahan lama. Itulah mengapa disekitar bukit batu tersebut hingga saat ini terdapat banyak waruga dari berbagai masa.
Waruga yang ada kini terdiri dua bagian yaitu waruga di atas tanah dan waruga yang sudah tertimbun.
Hingga kini para pemerhati budaya di Likupang berharap waruga yang ada didalam tanah bisa dievakuasi pemerintah terkait karena para pemuda sudah mencoba melakukannya namun terkendala keterbatasan dana dan perijinan.
Makanya beberapa kali saat menggali sumur di pekarangan atau menggali got saluran air ditemukan penutup waruga.
Pernah juga sewaktu pengerjaan jalan ada alat berat bulldozer yang tanpa sengaja membentur ujung batu yang agak menonjol.
Setelah ditelusuri dan ‘bongkahan’ itu diangkat, ternyata sebuah waruga yang diduga selama ini sudah diinjak-injak pejalan kaki, dan dilindas kendaraan yang lalu lalang.
Temuan ini membuat sejumlah warga Likupang berinisiatif memindahkan ‘waruga’ ke tempat yang layak.
Hingga saat ini waruga dianggap keramat, dan bagi sebagian orang tentunya sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dan sejarah, budaya,sebagai kearifan lokal daerah Likupang ini. (bersambung)
Baca juga:
- Sejarah Likupang Raya – Kabupaten Minahasa Utara yang Kini Viral Setelah Ditetapkan KEK Likupang (Bag-1/bersambung)
- Sejarah Likupang Raya – Linekepan dan Pengaruh Portugis Spanyol (Bag-3/Selesai)
- Pulau Komang di Likupang Mirip Tanah Lot di Bali
- Ini 5 Pantai Rekreasi di Likupang yang Ada Kulinernya