Dosen Kepemiluan FISIP Unsrat Manado
Manado, BeritaManado.com – Kesuksesan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2024 sepertinya tidak linier dengan tahapan pelaksanaan pelantikan di tahun 2025.
Permasalahannya bukan hanya karena pelantikan tidak bisa dilaksanakan secara serentak namun akan ada konsekuensi hukum dan politik jika keserentakan pelantikan akan benar-benar terjadi.
Pada awalnya, kesepakatan melaksanakan pilkada serentak secara nasional dimaksudkan adalah untuk mendorong efektivitas penyelenggaraan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.
Keberagaman periodisasi kepala daerah menyebabkan hilangnya kesinambungan kebijakan serta tidak liniernya suatu eksekusi kebijakan.
Pilkada dilaksanakan secara serentak selain dimaksudkan untuk efisiensi pembiayaan juga dimaksudkan agar pelaksanaan pelantikan dilakukan secara serentak agar roadmap pemerintahan pusat dan daerah dapat melangkah dan mencapai finis secara bersama-sama.
Namun kenyataan berkata lain. Meski pilkada serentak berhasil dilaksanakan di akhir tahun 2024 namun dapat dipastikan proses pelantikan secara serentak tidak akan terlaksana di awal tahun 2025.
Hingga kini waktu pelantikan telah melahirkan versi berbeda dari 3 lembaga otoritas.
Awalnya dasar pelantikan menggunakan versi pemerintah melalui Peraturan Presiden (perpres) no 80 tahun 2024. Disana dituangkan aturan bahwa pelantikan kepala daerah dilaksanakan pada 6 Februari tahun 2025.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusannya No 27 Tahun 2024 berkehendak lain.
Bahwa pelantikan kepala daerah dilaksanakan setelah seluruh sengketa hasil pilkada 2024 tuntas.
DPR RI baru-baru ini berusaha mengambil jalan tengah yakni menetapkan waktu pelantikan dalam dua tahap yakni tahap pertama bagi daerah-daerah yang tidak ada gugatan di MK sedangkan tahap dua yakni pada saat putusan MK dibacakan.
Tiga versi dari tiga lembaga negara ini akan melahirkan konsekuensi politik ataupun hukum.
Pertama jika pelantikan mengikuti versi Perpres maka konsekuensi pelanggaran atas konstitusi rentan terjadi.
Putusan MK itu setara dengan konstitusi, menurut UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembuatan Perundang-undang bahwa hirarki perundang-undangan tertinggi adalah UUD.
Sehingga aturan sekelas perpres tidak mungkin mengalahkan UUD.
Namun demikian jika pelantikan mengikuti putusan MK maka penyelenggaraan tata kelola pemerintahan rentan akan terganggu.
Menunggu proses persidangan di MK hingga putusan memerlukan waktu yang panjang. Apalagi variasi putusan MK bisa saja akan berbeda-beda.
Pengalaman pilkada sebelumnya putusan MK bisa beragam seperti pemungutan suara ulang (PSU) di sejumlah TPS, Penghitungan Ulang di sejumlah TPS atau yang paling ekstrim adalah pilkada ulang.
Pilkada 2020 di Yalimo Papua terjadi 3 kali gugatan dari 3 kali pilkada. Kepala daerah baru dilantik tahun 2022.
Jika pelantikan harus menunggu putusan semua gugatan maka tidak ada yang bisa memastikan kapan putusan itu menjadi acuan pelantikan.
Jika putusan MK memakan waktu lama maka akan berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan. Sebagian besar kepala daerah berstatus pejabat sementara dan linieritas kebijakan pemerintah pusat dan daerah sulit terwujud.
Keputusan DPR yang berusaha mengambil jalan tengah ternyata juga bermasalah. DPR hanya membuat dua tahapan pelantikan yaitu tahap 1 bagi daerah yang tidak ada gugatan di MK dan Tahap 2 bagi daerah yang memiliki gugatan di MK.
Dua pilihan itu sangat merugikan bagi daerah-daerah yang memiliki gugatan namun gugatannya dibatalkan oleh pihak pemohon.
Kasus di Sulut dan Jateng tidak diakomodasi dalam tahapan lain selain dua tahapan pelantikan yang dibuat DPR RI.
Padahal ketika gugatan dibatalkan oleh pemohon maka dalam waktu singkat MK akan mengeluarkan Ketetapan.
MK mengeluarkan ketetapan apabila ada pihak pemohon yang membatalkan gugatannya. Meski permohonan telah terlanjur teregistrasi namun MK tidak lagi menunggu sampai pada pembacaan putusan diakhir persidangan.
Sehingga hasil pelantikan kepala daerah yang oleh MK tidak dilanjutkan oleh karena sebuah ketetapan akibat permohonan dicabut harusnya diakomodasi juga dalam satu tahapan pelantikan.
Tidaklah adil jika pelantikan kepala daerah yang gugatannya telah dicabut harus menunggu putusan MK secara keseluruhan.
Sedangkan jika pelantikan juga dilaksanakan pada 6 Februari 2025, tetap rentan dipermasalahkan sebab gugatan telah teregistrasi di MK.
(jhonli Kaletuang)