Refleksi Iman: 1 Korintus 16:1-9
Renungan Kristen
Pasca Pandemi COVID-19 struktur-sosial secara global mengalami “distorsi”, artinya interaksi yang terpola dengan sistim mengalami penyimpangan bahkan cendrung merusak hubungan-hubungan antar manusia. Termasuk norma “demokrasi” sedang mengarah ke bentuk “otoritarianisme” yakni penekanan kekuasaan tanpa “pengawasan” dengan membatasi “kebebasan” bepergian, berkumpul dan berbicara untuk memanfaatkan issu krisis dalam propaganda kekuatan status-quo.
Kevin Casas (Sekretaris Jendral IDEA); memprediksikan nilai demokrasi dunia kedepan secara perlahan akan mengalami kerusakan.
Disisi lain krisis sosial yang menghadirkan kecemasan, ketakutan dan kepanikan hampir 4 bulan membuat “ketidak-percayaan” publik terhadap penanganan medis semakin kuat, baik yang menyangkut hasil yang tidak optimal, dan keraguan publik terhadap alat rapid-test hingga asumsi negatif terhadap bantuan sosial yang dianggap kurang adil, hingga pengambilan paksa jenasah yang dianggap sangat diskriminasi.
Akhirnya semua instrumen yang bersifat “bantuan” dianggap ancaman. Kita sedang berhadapan dengan sebuah krisis “ketidak percayaan” yang bukan saja ancaman pandemi “corona” tapi juga kurangnya kepercayaan atas pilihan yang diambil manusia, dan dimana manusia adalah ancaman itu sendiri yang akan menghadirkan ancaman-ancaman baru yang lebih mengerikan.
Rasul Paulus mengingatkan kita pada 1 Korintus 16:1-9; ”tentang kekuasaan dan pengawasan harus bersinergi disaat kita memiliki”.
Kota Korintus salah satu jemaat yang dibangun pada perjalanan pelayanannya yang kedua (Kis 18:11) dia tinggal kurang lebih 1,5 tahun di rumah Akwila dan Priskila, sekitar tahun 52-53 saat Gubernur Galio berkuasa singkat di wilayah Akhaya. Paulus memiliki pengaruh besar di jemaat Korintus yang bukan saja hal-hal bersifat rohaniah melainkan kehidupan sosial lainnya (lih 7:1,25,8:1 dan 12:1).
Pada perjalanan pelayanan ke 3 (ay 16:8) sekitar tahun 54 saat berada di kota Efesus, Paulus menulis surat yang kita kenal 1 Korintus disaat dia mendapat kabar buruk dari keluarga-keluarga “kloe” (lih psl 1:11) tentang perselisihan dan keadaan jemaat terlibat dalam upacara-upacara kafir serta pelacuran, selain masalah masalah etis-moral. Kitab 1 korintus juga berisi pengembalaan Paulus dengan kekayaan karunia Tuhan. Dan juga dorongan jemaat terhadap hal “memberi” dan pertanggung jawab.
Perikop 16:1-9 ; secara umum rasul Paulus hendak menghindari pengaruh {kekuasaan) yang mengarah pada “otoritarianisme” atau kesewenang-wenangan. Yang akan merusak tatanan pelayanan. Oleh sebab itu perlu prinsip “Checks and Balances” yakni agar ada saling mengontrol dan terjadi keseimbangan, terlebih dalam hal “bantuan”. Apalagi status sosial antara orang Kristen Korintus dan yang akan dibantu adalah orang Kristen yahudi di Yerusalem.
Itu sebabnya Paulus menyebut “orang-orang kudus” (Yun. Hoi-Hagioi). Bentuk kesetaraan didalam Kristus seperti yang diajarkan dalam psl 1:2. Status yang menyatukan. Disamping itu Paulus dalam hal bantuan meminta “persetujuan” dari kalangan mereka sendiri yang dianggap layak (ay 3) itu berarti Paulus membutuhkan pengontrolan dan pengawasan agar bantuan murni tanpa intervensi Paulus, dengan demikian dia akan secara bijaksana menjaga kedudukannya (band 2 Kor 8:19-21).
Bila kita melihat teknis pengumpulan bantuan yang diterapkan Paulus, memiliki aspek “keteraturan” (ay 2) keterangan hari pertama minggu (ahad) adalah hari rutin umat berkumpul untuk beribadah (band Kis 20:7 dan Why 1:10) dan telah menjadikan pemberian adalah: bagian dari kebiasaan umat, seperti di Galatia (Gal 6:2). Pemberian tidak dipaksakan “masing-masing sesuai dengan apa yang kamu peroleh” yakni memberi sesuai dengan berkat Tuhan. Dan bantuan dilakukan sebelum Paulus berada untuk menghindar pemberian secara “paksa” artinya Paulus bukan menjadi inti pemberian itu.
Homo Deus, a brief History of Tomorrow
Manusia sering mengklaim diri untuk menguasai apalagi ketika dia memiliki pengaruh dan kekuasaan. Yuval Noah Harari (sejarawan) dalam sebuah buku “Homo Deus, a brief History of tomorrow” mengungkapkan manusia merasa bisa mengendalikan alam dengan berbagai teknologi, kecerdasan buatan dan rekayasa genetika, tetapi pasa saat yang sama manusia sendiri menjadi ancaman yang akan menggeser dunia dari ancaman-ancaman penyakit yang lebih mengerikan dari COVID-19. Artinya kekuasaan negara negara modern telah memicu kompetisi sains dan kedokteran berubah menjadi senjata-senjata kimia, yang akhirnya membunuh manusia itu sendiri.
Bagaimana kita melindungi planet kita yang rusak mulai dari struktur sosial yang menghadirkan penguasa penguasa yang semena-mena dan rasa tidak percaya masyarakat dalam mengatasi COVID-19 dll, termasuk kecurigaan “pemberian bantuan” yang dianggap manipulatif? Bahkan kesempatan dalam kesempitan krisis menghadirkan demo-demo anti kebijakan hingga “platform” negara dan rasisme serta agamapun dianggap mati.
Paulus dalam ayat 5-9 mengingatkan tentang rencana kunjungan ke Korintus untuk kembalikan “new normal” umat dari perpecahan dan tantangan aliran-aliran sesat serta perilaku etik-moral menjadi sebuah impian umat yang tetap konsisten dalam panggilan iman untuk membangun jemaat semakin kuat tetapi juga peduli bagi orang lain (jemaat Yerusalem). “new-normal” yang sedang di galakan penduduk dunia termasuk kita di Manado, bukan sekedar menikmati aktifitas seperti biasa, tetapi kita sedang berhadapan dengan perubahan sosial yang baru untuk menghindar penyebaran wabah, tetapi bagi orang percaya new-normal moment kita terpanggil untuk lebih ada rasa “sence of belonging” dan konsisten dalam iman kita.
Batusaiki
Pdt Lucky Rumopa
(akhir Juni 2020, saat Liverpool menjuarai liga, demo RUU HIP, Black lives matter, rencana aneksasi Israel ditepi barat, penyakit autoimun muncul, AS ancam tarik pasukan di wilayah NATO dll.)