BITUNG—Belum genap sebulan kebijakan Polda Sulut melakukan pembatasan jam operasi terhadap kendaraan angkutan peti kemas, sejumlah efek mulai timbul. Tak hanya bagi para sopir dan buruh peti kemas, namun kini perusahaan-perusahaan ekspedisi mengaku merugi semenjak kebijakan tersebut diberlakukan.
Buktinya, menurut salah satu staf perusahaan ekspedisi asal Kota Manado, Bety Patiung, perusahaannya kini harus menanggung kerugian puluh hingga ratusan juta semenjak kebijakan tersebut diberlakukan. “Hitung saja, sebelum adanya kebijakan pembatasan jam operasi dari Polda Sulut, kami bisa melayani pengiriman 2 sampai 3 rit dalam sehari tapi sekarang hanya 1 rit dalam dua hari,” kata Patiung ketika dihubungi Beritamanado, Jumat (9/12).
Patiung sendiri merincikan, biaya pengiriman container dari pelabuhan Kota Bitung ke wilayah Manado dipatok Rp1 juta. Harga tersebut baru biaya antar, belum termasuk biaya lain-lain seperti biaya buruh bongkar dan uang makan sopir. “Namun karena ada kebijakan pembatasan jam operasi, kami harus mengeluarkan baiya ekstra terutama di biaya bongkar karena barang harus dibongkar malam, sedangkan harga pengiriman sendiri belum kami naikkan,” katanya.
Belum lagi komplain dari konsumen, dalam hal ini pemilik gudang yang setiap hari menanyakan barang kiriman yang mengalamai keterlambatan hingga berminggu-minggu semenjak adanya kebijakan pembatasan jam operasi. “Biasanya paling lambat 1 sampai 2 hari barang sudah kami antar ke gudang penerima, tapi kini tidak tentu kapan dan kami sendiri tidak bisa menjanjikan karena order pengiriman masih menumpuk di pelabuhan peti kemas Kota Bitung,” ujarnya.
Kerugian lebih membengkak lagi tak kala para sopir dan buruh menggelar aksi mogok dalam beberapa hari ini. Otomatis pihaknya tidak dapat melayani pengiriman barang ke sejumlah daerah di Sulut.
“Kami sendiri berharap ada solusi dalam waktu dekat ini agar kerugian tidak semakin menumpuk yang tentu akan menimbulkan persoalan baru lagi,” harap Patiung.(en)