TITIK berangkat tulisan sederhana ini adalah sekurang-kurangnya dua pertanyaan mendasar: Apa itu Balafon? dan Mengapa Balafon yang menjadi tandem Kolintang dalam proses pengajuan sebagai Warisan Budaya Tak Benda di UNESCO?
Di sisi yang sama, bagi kita yang tidak mengenal lebih dalam tentang hal tersebut, pasti akan bertanya tentang eksistensi musik ini, ketika ditandemkan dengan musik Kolintang.
Hal itu menjadi penting, bahkan akan dipertanyakan oleh insan kolintang, sang pemilik musik kolintang.
Namun demikian, kita semua sudah mengenal bahwa musik kolintang adalah alat musik yang berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara, Indonesia.
Sedangkan dari berbagai sumber kita bisa memperoleh informasi dengan melihat dan mengamati bahwa Balafon adalah alat musik yang tampak secara visual, sejenis dengan alat musik marimba yang identik berasal dari benua Afrika.
Dalam kerangka pertanyaan mendasar tersebut di atas, penulis ingin menguraikan dua poin berikut ini.
Pertama, dalam buku Kolintang The Sounds of Heaven halaman 111 dikatakan, “Melalui kajian panjang kolintang dan pencarian rumpun etnomusik yang bernafaskan ideophone, melibatkan etnomusikolog dan sumbangsih kajian dari akademisi dan praktisi, maka didapati saudara atau kerabat terdekat kolintang yang bukan kebetulan, berada di Afrika Barat, yakni di negara Mali, Burkina Faso dan Pantai Gading yaitu Balafon.”
Komunitas Balafon di negara ini yang sangat terkenal adalah Komunitas Senufo.
Komunitas Senufo inilah juga merupakan komunitas yang membuka dirinya untuk berkolaborasi dengan kolintang.
Konon kedua komunitas ini, telah menyepakati banyaknya kesamaan dan sedikit perbedaan dalam nafas di kedua instrumen xylophone ini. (Wullur and Katuuk, 2024).
Kedua, masih dalam uraian pada buku tersebut, dijelaskan bahwa “Balafon, sudah terdaftar dalam daftar Representatif List Warisan budaya tak benda kemanusiaan UNESCO Tahun 2012, setahun sebelum Kolintang dinyatakan sebagai WBTb secara nasional. Dengan demikian, maka jalan satu-satunya untuk kolintang dimasukkan dalam daftar tersebut yaitu melalui mekanisme perluasan (extension).”
Berdasarkan sumber-sumber yang penulis temukan, Balafon adalah alat musik perkusi tradisional Afrika Barat yang mirip dengan gambang.
Alat musik ini terdiri dari serangkaian batang kayu dengan panjang yang berbeda-beda, yang disusun secara berderet dan dipasang pada sebuah bingkai.
Setiap batang disetel ke nada tertentu dan dimainkan dengan cara dipukul dengan palu.
Di bawah bilah-bilah tersebut terdapat resonator. Resonator ini sering kali terbuat dari labu, yang menyaringkan suara dan memberikan kualitas resonansi yang kaya.
Balafon digunakan dalam berbagai tradisi musik Afrika Barat untuk memberikan dukungan melodi dan ritme dan juga dikenal karena nadanya yang hangat dan beresonansi. (https://dictionary.langeek.co/en-ID/word/209000?entry=balafon).
Sejalan dengan itu, www.gambia.co.uk mencatat bahwa Balafon terbuat dari bingkai bamboo, awalnya dari kayu rosewood, meskipun seiring dengan semakin langkanya kayu, kayu keras lainnya terkadang diganti.
Kayu tersebut kemudian dipanggang untuk memastikan tidak ada kelembaban yang tersisa.
Keterampilan yang dibutuhkan untuk membuat bahkan memainkan alat musik ini sangat penting dan menjadi vital.
Alat musik ini sering kali dibuat oleh para pengrajin yang tidak memiliki perlengkapan dalam pertukangan, sehingga tuts-tutsnya dipahat dengan ‘pisau besar’ yang tersedia.
Selanjutnya, tuts-tuts tersebut kemudian diikatkan pada bingkai dengan seutas tali di setiap sisinya.
Kemudian, setelah bingkai dibuat, alat musik ini akan tampak menyerupai gambang, dan bunyi kayu ini diperkuat dengan tambahan resonator yang berfungsi sebagai penguat suara. (https://www.gambia.co.uk/blog/the-story-of-the-balafon-an-ancient-west-african-musical-instrument).
Namun dari pengertian ini, salah satu sumber yang mencatat dengan ketat dan terukur tentang Balafon adalah riset dari Hugo Zemp (2006).
Dalam risetnya dikatakan bahwa Balafon, demikian sebutannya dalam bahasa Prancis dan Inggris, merupakan instrumen khas Senufo dari Pantai Gading, adalah gambang berbingkai dengan resonator labu.
Orang Pantai Gading menyebut bahwa tanah mereka sebagai “negara balafon”. Di sisi yang sama, peneliti Gourlay and Lucy Duran (1984) menulis bahwa istilah Balafon (mungkin) diperkenalkan oleh para pelancong Eropa, yang berasal “ari akar kata Yunani Phono.
Namun etimologi yang paling banyak diterima adalah dalam bahasa Mande, Bala “gambang” ditambah fo “berbicara, memainkan alat musik.”
Dalam tradisi musik Balafon, sebuah karya musik jegele (salah satu jenis musik dalam komposisi Balafon), pertama-tama adalah ‘kata-kata’ yang diterjemahkan ke dalam musik dengan alat musik; tidak ada karya musik seperti itu tanpa sebuah teks.
Itulah sebabnya, ketika ingin menggubah sebuah karya jegele, harus dimulai dengan menemukan bagian sastranya, yang mencakup teks, makna dan pesan yang ingin disampaikan dengan mengubah kata-kata itu menjadi musik, berdasarkan nada dan struktur ritme dari bahasa. (Coulibaly, 1982:43).
Demikian juga, ketika memainkan gambang, dalam praktek komunitas Balafon Senufo, diekspresikan dengan mengatakan sesuatu dengan berpidato (syerejo).
Konon, fenomena ini menjadi ciri khas semua ansambel gambang, yakni Ekspresi teks melalui musik, di mana hal itu menurut komunitas Senufo memiliki makna.
Dengan cara ini, maka adalah sebuah hal yang mungkin kita mengirimkan, pesan teks yang sebenarnya, yang tidak dinyanyikan melainkan dimainkan dalam musik. (Forster 1987:29).
Akhirnya, dari fakta apa itu Balafon, bagaimana cara memainkan, dan sedikit historisitasnya, penulis menemukan, bahwa Balafon ternyata seirama, untuk mengatakan sejenis dengan Kolintang yang dimiliki oleh Minahasa, Indonesia.
Ketika awal tumbuh dan berkembangnya Kolintang, kita sudah mengenal bahwa Kolintang adalah musik ritual, di mana musik ini selalu dimainkan ketika di waktu-waktu suci.
Di sisi yang sama, maka budaya musik kolintang pada akhirnya sejalan dengan budaya musik Balafon di Afrika Barat tersebut.
Catatan Ambrosius M Loho M Fil,
Pegiat Musik Tradisi, Penulis, dan Dosen Fakultas Pariwisata Universitas Katolik De La Salle Manado.
(***/jenlywenur)