Jakarta, BeritaManado.com — Pada awal bulan Februari 2025, tepatnya pada Rabu (5/2/2025), Jaksa Agung ST Burhanuddin dari Kejaksaan Agung (Kejagung) RI di Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta mengungkapkan keluhan sekaligus curhatannya.
Pasalnya, pihak Kejaksaan sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pemulangan terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Veloso, ke Filipina.
Pernyataan Jaksa Agung ini cukup mengejutkan dan memunculkan berbagai pertanyaan mengenai komunikasi dan koordinasi dalam penegakan hukum di Indonesia.
Keluhan tersebut mendapat respons dari berbagai pihak, salah satunya dari praktisi hukum Dr Jan S Maringka SH MH, Selasa (18/2/2025) di Jakarta.
Jan, yang juga mantan Jaksa Agung Muda Intelijen (Jamintel) Kejagung RI periode 2017-2020 mengatakan, kondisi ini menunjukkan bahwa dalam kabinet merah putih harus dibangun jalur cepat komunikasi bidang hukum.
Dijelaskannya, saat ini Jaksa Agung dan Kapolri ditempatkan di bawah Menko Politik, sedangkan kegiatan-kegiatan penegakan hukum lain berada di bawah kendali Menko Hukum yang dikendalikan oleh Prof Yusril.
Hal ini dirasakannya perlu segera dilakukan reposisi Kejaksaan dan Kepolisian dalam sistim pemerintahan agar ke depan tidak terjadi tindakan-tindakan hukum yang berbenturan dan berpotensi melanggar hukum atau masalah-masalah HAM lainnya.
“Proses pemulangan terpidana mati kasus narkoba, Mary Jane Veloso, ke Filipina, salah satu contoh menjadi gambaran ketidakharmonisan dalam komunikasi penegakan hukum. Kita melihat saat ini Kejaksaan berada di bawah komando Menko Politik dalam pemerintahan. Tentunya kebutuhan reposisi Kejaksaan dalam sistim pemerintahan sekarang yang diletakkan di bawah Menteri Koordinasi Bidang Politik (Menkopol), Budi Gunawan (BG) adalah suatu keharusan,” kata Jan Maringka sapaan akrabnya.
Akibatnya eksekusi terhadap para pelaku kejahatan yang menjalani hukuman mati yang menjadi tugas jaksa seolah dilaksanakan sendiri oleh menteri bidang pemasyarakatan yang mana kewenangan ini belum dilandasi berbagai aturan pelaksanaannya.
Sedangkan berbagai aturan di dalamnya seperti pengawasan lepas bersyarat ataupun hukuman mati seharusnya tetap dilaksanakan oleh jaksa berdasarkan Undang-Undang.
Menurutnya, sangat mendesak perlu dilakukan reposisi dengan meletakan kembali Jaksa Agung RI dan Kapolri di bawah kendali Menteri Koordinasi Bidang Hukum dan HAM (Menkohukham) untuk kecepatan komunikasi.
Sebab Polisi dan Jaksa keduanya adalah instrumen penegak hukum dan bukan instrumen politik.
“Akibatnya, kita melihat Menkohukham Yusril Ihza Mahendra telah mengeksekusi pemulangan terpidana mati ke Filipina dan hal ini terus dilanjutkan terhadap terpidana Bali Nine warga negara Australia tanpa melibatkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan Jaksa Agung RI,” ucap Jan Maringka.
Menurutnya, hal ini dapat memberikan pesan buruk bagi dunia internasional bahwa Indonesia adalah surga yang aman bagi para pengedar narkoba jalur internasional karena para pelakunya sering dijatuhi dengan pidana mati, namun belum dieksekusi hingga saat ini.
Selanjutnya, kata dia, Jaksa Agung terpaksa secara terbuka harus mengatakan bahwa dia merasa tidak dilibatkan dalam kasus tersebut.
Padahal Jaksa Agung sendiri memiliki kewenangan untuk memberikan pendapat hukum, baik diminta ataupun tidak diminta kepada presiden.
Sebab kepada dirinya (jaksa agung) melekat fungsi sebagai Jaksa Pengacara Negara yang adalah bukti betapa panjangnya jalur birokrasi yang harus dilalui dalam kasus Penegakan hukum ini.
Akibat salah letak ini, dapat dilihat pula pada disparitas tuntutan pidana perkara-perkara yang menarik perhatian masyarakat.
“Untuk itu perlu reposisi segera dilakukan agar tidak lagi terjadi hal demikian, karena seharusnya Jaksa Agung secara langsung bisa berkoordinasi satu pintu. Apalagi ada peran jaksa sebagai pengacara negara. Baik diminta ataupun tidak, wajib memberi masukan kepada Presiden di bidang perdata dan tata usaha negara,” jelasnya.
Mantan Atase Kejaksaan Pada KJRI Hong Kong periode 2005-2008 ini juga menerangkan, diskresi yang dilakukan Menhukham Yusril Ihza Mahendra itu adalah tindakan administrasi negara.
Sehingga reposisi Kejaksaan RI berada di bawah koordinasi Menkohukham dalam sistim pemerintahan adalah suatu kebutuhan bagi Penegakan hukum itu sendiri.
“Jadi curhatan Jaksa Agung Burhanuddin ST tentang eksekusi pemulangan terpidana mati ke Filipina dan Australia tidak terjadi lagi. Sebab, status Kejaksaan sudah di bawah koordinasi Menkohukham,” tandas mantan Karo Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kejagung (2015) ini.
Dalam pandangannya, Jaksa adalah eksekutor yang melaksanakan putusan hakim, tetapi saat ini jaksa diposisikan bersama polisi di bawah Menkopol sehingga tidak dapat melaksanakan tugasnya secara efektif.
“Seharusnya jaksa dan polisi alat penegak hukum, bukan alat politik. Mereka akan lebih efektif di bawah kendali Menkohukham. Indonesia adalah negara hukum yang mana penegaknya harus bebas dari intervensi politik dan kepentingan manapun,” ujar Jan Maringka.
Tambah dia, Kejagung RI saat ini semakin dilematis, belum lagi tuntutan 12 tahun terhadap Harvey Moeis dalam kasus Tambang Timah.
Hakim Tingkat Banding memberi perbaikan putusan dari 6 tahun menjadi 20 Tahun, di mana sebelumnya ada tuntutan mati dan seumur hidup dalam Kasus Jiwasraya untuk kerugian negara yang jauh lebih kecil.
“Bayangkan saja untuk kerugian 22 T kasus Jiwasraya dituntut hukuman mati dan seumur hidup. Sementara dalam kasus Tambang Timah di Kepulauan Babel dengan kerugian 271 T hanya dituntut 12 tahun nyata ada keraguan. Hal ini merupakan disparitas atau perbedaan yang begitu tajam dalam suatu tuntutan yang menarik perhatian masyarakat. Kita dapat menduga adanya keraguan karena posisi koordinasi dalam kemenko Politik,” ungkap Jan Maringka.
Akhirnya kata dia, untuk membebaskan penegakan hukum dari pendekatan politis dan menjadikan hukum menjadi panglima maka posisi Kejagung harus direposisi.
“Makanya Kejagung RI harus mandiri keluar dari Menkopol dan berada di bawah Koordinasi Menkohukham. Termasuk Kepolisian harus berada dalam koordinasi Menkohukham. Sebab banyak juga kita melihat belakangan ini kasus-kasus anggota Polri yang terduga melanggar HAM,” sarannya.
Untuk itu, kata Jan Maringka yang juga pernah menjabat sebagai Asisten Khusus Jaksa Agung periode 2012- 2014 ini, melihat dasar hukumnya dapat disimpulkan bahwa untuk menata kembali Kejaksaan dan Kepolisian dari koordinasi Menkopol ke Menkohukham, cukup mengubah rumusan Perpres-nya saja.
“Presiden Prabowo Subianto bisa memperbaiki Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024-2029, pada tanggal 21 Oktober 2024. Cukup mengganti Perpres-nya saja untuk diperbaiki,” pungkasnya.
(***/jenlywenur)