Menjadi pemilih cerdas sangat dibutuhkan dalam mensukseskan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentang pada tahun 2020 mendatang.
Demikian pendapat pengusaha asal kawanua Andre Vincent Wenas DRS MM MBA melalui tulisannya yang disampaikan kepada BeritaManado.com.
“Dumb politicians are not the problem, the problem is the dumb people that keep voting for them”.
Begitu bumyi sebuah nasehat bernada satire, dimana terjemahan bebasnya adalah “masalahnya bukan politisinya yang bego, tetapi para pemilihnya yang blo’on lantaran tidak kapok-kapok memilih dia lagi dan dia lagi. Sudah tahu partai itu tidak komit, tapi dipilih lagi”.
Keluarga Kennedy di Amerika Serikat dikenal dan dicatat dalam sejarah sebagai suatu dinasti politik.
The Kennedy Clan, mulai dari Patrick Joseph Kennedy tahun 1884, dimana setelah 35 tahun bermigrasi dari Irlandia, ia menjadi anggota legislatif di Massachusetts.
Lalu dunia juga mengenal Rose Fitzgerad Kennedy sang Matriarch yang mempersiapkan mental-intelektual anak-anaknya untuk mampu terjun dalam pelayanan di dunia politik.
Banyak sekali pengorbanan yang dikontribusikan keluarga ini demi demokrasi dan kemajuan bangsa Amerika Serikat, bahkan sampai nyawa anaknya pun melayang.
Nama keluarga Kennedy (The Kennedy Clan) jadi harum dan sejarahlah yang mencatat dengan tinta emas bahwa The Kennedy Clan ini sebagai suatu Dinasti Politik.
Gelar atau predikat ini diperoleh lantaran prestasi dan sumbangsihnya dalam kancah perpolitikan.
Politik Dinasti ini adalah bentuk nepotisme sempurna.
Di Banten dulu (bahkan sampai sekarang) ada keluarga besar Chasan Sochib (kelompok Rau).
Dalam satu periode yang sama banyak anggota keluarga ini mengangkangi berbagai jabatan di provinsi Banten.
Seorang peneliti LIPI, Dini Suryani, pernah mendata bahwa Ratu Atut Chosiyah (anak), Ratu Tatu Chasanah (anak), Airin Rahmy Diany (menantu), Andhika Hazrumy (cucu), Andiara Aprilia Hikmat (cucu), Tubagus Khaerul Jaman (anak), Heryani Yuhana (istri ke-5), Ratna Komalasari (istri ke-6), Ratu Ella Nurlaella (keponakan), Ade Rossi Khaerunissa (cucu menantu), Tanto Warsono Arban (cucu menantu), Aden Abdul Khaliq (menantu).
Mereka ini ada di posisi eksekutif maupun legislative dan daftar panjang ini masih bisa diteruskan jika menghitung mereka yang duduk di fungsionaris partai (Golkar) maupun ormas serta KADIN daerah.
Ratu Atut Chosiyah akhirnya masuk penjara karena kasus korupsi.
Banten Cuma contoh soal karena Politik Dinasti juga banyak terjadi di berbagai daerah, sebut saja diantaranya Sulut, Sulsel, Kalteng, Madura, dan daerah lainnya, baik di level propinsi maupun kabupaten atau kota.
Dengan dua studi kasus keluarga ini bisalah kita merasakan perbedaan antara Dinasti Politik versus Politik Dinasti.
Karena memang tidak ada larangan undang-undang untuk setiap warga negara ikut dalam kontestasi politik.
Yang tersisa hanyalah soal kepatutan, soal akhlak (etika politik) dan akhirnya kembali ke masyarakat sendiri untuk menjadi pemilih yang cerdas.
Dari masyarakat mesti ada organisasi civil society yang secara konsisten membantu masyarakat meningkatkan literasi politik mereka.
Kalau tidak, ya terjadi seperti di banyak daerah dimana keluarga yang menerapkan praktek Politik Dinasti ini terus terpilih dalam Pileg maupun Pilkada meskipun kasus korupsi yang melanda anggota keluarganya yang duduk sebagai pejabat publik sudah terbongkar dan diketahui publik.
Secara substantif memang tidak ada larangan untuk anggota keluarga sebagai warga negara dewasa untuk ikut dalam kontestasi Pemilu seperti Pilpres, Pileg maupun Pilkada.
Hanya saja ekses negatifnya yang perlu dicegah dan disinilah literasi politik rakyat yang mesti dikedepankan.
Proses konsientisasi publik ini bukanlah jalan yang mudah, namun sangat perlu, bahkan imperatif.
Politik dinasti sangat beresiko mengaburkan bahkan menafikkan fungsi check and balances dalam jannya roda pemerintahan.
Kita bakal sulit mengharapkan seorang anggota dewan mengkritisi anggota keluarganya (atau anggota partainya) yang duduk di eksekutif (maupun yudikatif), lantaran ada hubungan kekerabatan.
Beberapa cara yang bisa ditempuh, terutama pendekatan sistem dan juga pembanngunan manusianya (moral)
Pastikan sistem politik elektoralnya transparan, mulai proses rekrutmen kandidat sampai pemilihan.
Politik anggarannya juga harus terbuka karena ini soal dana publik, bukan uang nenek moyang sendiri.
Kerja Badan Anggaran (Banggar) untuk menyusun APBN di tingkat nasional maupun APBD di 500-an lebih Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia harus terbuka untuk dipelototi publik.
Transparansinya sejak perencanaan program (musrenbang) sampai pengesahan dan pengelolaannya.
Dengan teknologi informasi sekarang, setiap fase dalam proses penganggaran bisa diunggah di laman (website) resmi pemda masing-masing dan rakyat luas bisa ikut mencermati, mengkritisi dan memberi saran-saran secara terbuka.
Mekanisme lelang jabatan untuk posisi-posisi di pemerintahan harus berbasis kompetensi dan kinerjanya dipantau serta dievaluasi secara terbuka dan berkala.
Fungsi inspektorat jenderal di setiap lembaga pemerintahan janganlah impoten seperti sekarang ini.
Perbaiki strukturnya dan fungsikan secara optimal serta pembuktian terbalik harta kekayaan pejabat juga bisa diterapkan.
Literasi publik menjadi penting, karena lewat berbagai wacana (diskursus) publik di media massa, media sosial, kelompok diskusi, opinion leaders, dan banyak cara lainnya.
Harapannya media massa (pers) tidak terkooptasi oleh kekuasaan, sehingga ia cuma jadi corong humas atau sekedar mesin propaganda yang malah ikut mengaburkan realitas politik yang sesungguhnya terjadi.
Para cendekiawan (atau mereka yang mengaku intelektual) agar terus kritis dan tidak cuma mengejar jabatan (misalnya jadi guru besar, rektor, dekan) untuk kemudian malah melacurkan diri dan menjadi abdi-dalem keraton penguasa.
Atau juga terkooptasi dalam korporasi bisnis (biasanya bangga jadi komisaris perusahaan) lalu diam dan tidak ada karya ilmiah lagi dan jadi semacam advokat dari konspirasi penguasa-pengusaha.
Kenali kandidatnya, jejak karir politik, karya dan pendidikannya mesti ditelusuri cermat, akhlak atau moralitas yang teruji dalam perjalanan karirnya perlu dipertimbangkan.
Jangan memilih mantan napi koruptor karena kita tidak mau mempekerjakan maling sebagai satpam untuk jaga rumah kita.
Akhir-akhir ini kita ikuti berita bahwa putera dan menantu presiden Jokowi pun mau ikut nyalon di pPilkada.
Hal itu tidak masalah sebenarnya, ikuti saja proses rekrutmen politik secara transparan dan profesional.
Paparkan rencana program pembangunan disertai komitmen transparansi anggarannya!
Seperti dicontohkan Ahok, transparansi anggaran secara rinci (sampai harga satuan/komponen) mulai dari perencanaan, pembahasan yang terbuka, pengesahan dan pengelolaan/penggunaan dana publiknya.
Semoga di Indonesia kita punya keluarga-keluarga yang bisa juga membangun kader-kader politik untuk jadi pelayan publik yang terhormat sebagai suatu Dinasti Politik yang hebat, demi malawan mereka yang mempraktekan Politik Dinasti yang gelap, oportunis dan tamak.
Tahun 2020 ada 270 daerah yang akan melakukan pilkada, yang artinya ada 540 orang yang bakal jadi kepala dan wakilnya di berbagai daerah.
Peristiwa ini penting sekali dan akan menentukan konstelasi politik bangsa, artinya menentukan juga masa depan nasib anak-cucu kita.
Keadaan bangsa seperti apa yang akan kita wariskan? Jangan sampai tampuk pemerintahan jatuh (lagi) ke tangan mereka yang memainkan Politik Dinasti alias nepotisme tanpa rasa malu, karena mereka jelas oportunis, egosentrik, tamak dan koruptif.
Sekali lagi transparansi, gencarkan literasi politik dan jadilah pemilih cerdas untuk mewujudkan SDM Unggul Indonesia Maju.
Andre Vincent Wenas DRS MM MBA, Sekjen Kawal Indonesia – Komunitas Anak Bangsa
(***/Frangki Wullur)