Taufik Tumbelaka: Penggalan Perjalanan Menuju Sulawesi Utara
(Dari berbagai sumber)
Manado – Di tengah suka cita saat hari-hari awal setelah lahirnya propinsi Sulawesi Utara pada tanggal 23 September 1964 melalui UU Nomor 13 tahun 1964, sejumlah kalangan menganggap sebagai buah prestasi seorang Broer (nama panggilan dari F J. Tumbelaka), semacam istilah ‘karena faktor Broer’.
Pertanyaannya, kenapa muncul penilaian seperti itu oleh sejumlah kalangan di Manado?
Berawal muncul secara diam-diam si Broer Tumbelaka pada 5 Januari 1960 sebagai utusan khusus dari Panglima Divisi (sekarang Pangdam) Brawijaya, Kol. Soerahman. Broer dikirim seorang diri guna misi khusus dan sangat rahasia menyelesaikan Pergolakan Permesta pada saat pertempuran sudah memasuki masa sangat kritis dimana telah ribuan orang tewas. Suatu misi yang dianggap mustahil karena sejumlah “nama besar” telah berupaya, namun gagal.
Broer adalah sosok tentara senior yang terkenal disegani di kalangan Perwira Divisi Brawijaya namun di usia muda telah “menanggalkan” seragam tentara. Sekalipun terkenal di kalangan para perwira Divisi Brawijaya, Broer Tumbelaka kurang dikenal di kalangan elite politik di Jakarta.
Sekitar 14 bulan setelah misi Broer berjalan, kehebohan terjadi di Jakarta ketika Broer berhasil meyakinkan sejumlah perwira tinggi TNI-AD bersedia datang menerima para tokoh Permesta seperti Alex Kawilarang, DJ Somba, Abe Mantiri, Wim Tenges dan kawan-kawan dalam suatu upacara militer, mulai dari Pangdam XIII/ Merdeka Brigjen Soenandar, Mayjend Hidayat yang merupakan perwira tinggi paling senior didampingi Mayjend Ahmad Jani yang dikenal disegani dan terakhir menghadirkan Jenderal AH Nasution di serangkaian upacara.
Kehebohan politik di Jakarta karena nama Broer kurang dikenal dan ini membuat sejumlah tokoh mencari tahu karena sejumlah anggapan yang sangat meyakini bahwa Pergolakan Permesta akan berakhir melalui pertempuran habis-habisan, bukan dengan cara damai seperti dilakukan Broer Tumbelaka.
Pada saat menjadi Gubernur Sulawesi Utara Tengah (Sulutteng), Broer yang meroket pamor-nya di Jakarta melakukan langkah-langkah strategis, antara lain memaksa Pemberontakan Darul Islam (DI) yang berada di Sulawesi Tengah untuk menyerah tanpa syarat langsung ke Broer selaku Gubernur Sulutteng.
Di sisi lain Broer yang dikenal sederhana dan bersahaja di mata teman-temannya berhasil “memaksa” sejumlah Menteri untuk datang “melihat” kondisi Manado yang kondusif pasca Pergolakan Permesta. Lalu ada langkah lain yang mengejutkan ketika Broer membangun Universitas Tadulako di Palu. Beberapa langkah ini ternyata bagian dari strategi pengkondisian awal ala Broer Tumbelaka selaku Gubernur Sulutteng yang merangkap sebagai Ketua DPRD Sulutteng “menggiring” kearah pemekaran atau pemisahan Propinsi Sulutteng.
Bersamaan sejumlah “tahapan langkah strategis” yang diambil, Broer melakukan pendekatan kepada sejumlah tokoh di Sulutteng dan Jakarta untuk misi melahirkan propinsi Sulawesi Utara.
Tanda-tanda lahirnya propinsi Sulawesi Utara sudah nampak pada saat Broer Tumbelaka yang merupakan Gubernur Sulutteng dan juga Ketua DPRD Sulutteng menjadi Inspektur Upacara Peringatan Kemerdekaan Republik Indonesia di tanggal 17 Agustus 1964 di Kantor Gubernur Sulutteng, Jalan Sam Ratulangi Manado (sekarang Hotel Aryaduta dan RS. Siloam) telah ada tulisan besar, Kantor Gubernur Sulawesi Utara.
Benar saja, 5 minggu kemudian pada tanggal 23 September 1964 lahir UU Nomor 13 tahun 1964 yang menjadi dasar lahirnya Propinsi Sulawesi Utara. Pada masa itu Gubernur Sulutteng, Broer Tumbelaka, oleh pemerintah pusat dipercaya menjadi gubernur pertama Sulawesi Utara (disingkat Sultara) merangkap Ketua DPRD Sultara.
(Di himpun dari berbagai sumber)