CATATAN PEMILU LEGISLATIF 2014:
Pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) telah selesai, namun proses penghitungan suara hingga hari ini baru masuk ke tingkat kecamatan dan masih dalam proses rekapitulasi.
Pileg selesai bukan berarti kecurangan-kecurangan Pileg telah selesai pula. Ancaman manipulasi penghitungan suara oleh oknum calon anggota legislatif (caleg) dengan melibatkan penyelenggara baik itu dari tingkat PPS, PPK hingga KPU patut diwasdai.
Petugas Pengawas Pemilu (Panwaslu) dari tingkat PPL, Panwascam dan Panwaslu Kabupaten harus bekerja ekstra hati-hati, dan jangan sampai terjebak dalam praktek manipulasi penghitungan suara oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab hanya karena ingin mendapatkan tambahan finansial yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan akibat hukum yang bisa diterima jika praktek curang tersebut terendus dan berujung dipidanakan.
Jika sebelum pelaksanaan Pileg, dengan segala cara para Caleg berusaha untuk menarik simpati pemilih, bahkan sejumlah
Caleg nekad melakukan ‘transaksi jual-beli suara’ dengan para calon pemilih, baik dengan uang maupun barang. Tak sampai disitu, perburuan suara dan praktek jual beli suara bisa berlanjut hingga sebelum KPU mengumumkan secara resmi siapa-siapa yang berhak duduk di kursi empuk anggota dewan dengan berbagai macam modus dan cara.
Mencuri suara caleg lain se-Parpol, praktek kecurangan pertama pasca Pileg adalah pencurian suara oleh beberapa oknum Caleg yang terancam kalah. Oknum Caleg yang terancam kalah biasanya melakukan kecurangan dengan mencuri suara milik salah satu atau bahkan beberapa Caleg se-partai yang tidak memiliki peluang untuk menang.
Sebagai Ilustrasi:
Caleg nomor 1 memperoleh suara 3.800 (peringkat kedua), caleg nomor 2 memperoleh suara 4.000 (peringkat pertama), caleg nomor 3 dan seterusnya mendapatkan suara di bawah 3.000. Secara jurdil, maka yang berhak melenggang ke kursi dewan adalah caleg nomor 2, dengan peluang dibawahnya adalah caleg nomor 1.
Jika Parpol pengusung hanya mendapatkan jatah 1 kursi, maka secara otomatis caleg nomor 2 yang akan melenggang. Dengan selisih yang hanya 200 suara, maka caleg nomor 1 masih punya peluang untuk memperbaiki jumlah suaranya untuk menang hingga kisaran angka 4.200, dan itu artinya yang bersangkutan hanya membutuhkan infus 400 suara.
Jika caleg nomor 1 lihai dan punya link yang bagus dengan penyelengara Pemilu, maka dia masih bisa menaikkan suaranya sejumlah 400 dengan mencuri suara caleg nomor 3 sampai caleg nomor 6 dengan angka curian per-caleg 100 angka yang tersebar di berbagai desa/kelurahan baik di satu kecamatan ataupun satu dapil yang sekiranya bisa dikondisikan, sehingga caleg nomor 2 yang seharusnya menang bisa mendadak menjadi kalah.
Modus seperti ini terjadi pada kasus yang telah dilaporkan di atas, dan bahkan bisa saja pencurian tidak hanya dilakukan kepada caleg yang memiliki peringkat bawah, namun bisa juga caleg dengan peringkat suara terbanyak pun bisa dicuri oleh caleg peringkat kedua.
Mencuri Suara Caleg Lain Dari Parpol Lain, modus kedua ini serupa dengan modus pertama, hanya saja suara yang dicuri adalah suara caleg dari partai lain yang tidak memiliki peluang untuk menang. Hal ini bisa mulus dilakukan jika ada kongkalikong dengan para penyelenggara pemilu yang tidak amanah.
Membeli Suara Caleg Lain Se-Parpol, modus ketiga yang tidak kalah mengerikan dan sulit terdeteksi adalah jual beli suara antar sesama caleg se-partai. Caleg dengan perolehan suara peringkat kedua bisa saja membeli suara dari caleg dengan perolehan peringkat bawah untuk memuluskan jalan menuju kursi dewan. Lagi-lagi hal ini juga bisa terjadi apabila ada sejumlah panitia penyelenggara korup yang bersedia mengotak-atik perolehan suara, dan lemahnya pengawasan dari Panwas ditiap-tiap tingkatan.
Membeli Suara Caleg Lain Dari Parpol Lain, modus keempat serupa dengan modus ketiga, hanya saja yang dibeli adalah suara dari caleg parpol lain. Faktor finansial, sangat berpotensi menjadikan para caleg yang kalah dalam Pileg bahkan menawarkan suaranya kepada caleg-caleg peringkat kedua, minimal untuk menutup biaya pencalegkan yang telah menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah.
Membeli Suara Ke PPS, PPK dan KPU, modus kelima adalah jual beli suara antara oknum caleg dengan oknum penyelenggara Pemilu di semua tingkatan tanpa melibatkan para caleg yang kalah. Hal ini sangat rawan terjadi, mengingat banyaknya caleg yang kalah telak dalam perhitungan suara sementara yang digalang oleh anggota tim dan relawan
biasanya pasrah dan masa bodoh tidak mau mengawal perhitungan suara hingga tingkat PPK atau KPU, dengan anggapan mengawal penghitungan suara merupakan kerja yang sia-sia dan membuang-buang biaya saja karena dirinya sudah merasa kalah.
Praktek-praktek curang seperi yang dicontohkan di atas bisa dengan mudah dilakukan selain karena ada kongkalikong dengan oknum penyelenggara Pemilu, juga karena faktor kelelahan yang dialami oleh para saksi dan Panwas. Karena kelelahan yang hebat, bahkan banyak saksi dari masing-masing Parpol tidak menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas, meninggalkan arena penghitungan suara di TPS dan baru kembali keesokan harinya mengecek perolehan suara di tingkat desa atau bahkan cukup mempercayakan kepada para
penyelenggara Pemilu dan baru mengeceknya di tingkat PPK.
Selama ditinggal para saksi, segala sesuatunya bisa terjadi tanpa sepengetahuan para saksi, termasuk penghilangan, pencurian, penggelembungan bahkan jual beli suara oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, termasuk para
anggota Panwas pun bisa terlibat di dalamnya. Akhir kata, semoga saja Pileg 2014 ini dijauhkan dari praktek-praktek
kotor. *
CATATAN PEMILU LEGISLATIF 2014:
Pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) telah selesai, namun proses penghitungan suara hingga hari ini baru masuk ke tingkat kecamatan dan masih dalam proses rekapitulasi.
Pileg selesai bukan berarti kecurangan-kecurangan Pileg telah selesai pula. Ancaman manipulasi penghitungan suara oleh oknum calon anggota legislatif (caleg) dengan melibatkan penyelenggara baik itu dari tingkat PPS, PPK hingga KPU patut diwasdai.
Petugas Pengawas Pemilu (Panwaslu) dari tingkat PPL, Panwascam dan Panwaslu Kabupaten harus bekerja ekstra hati-hati, dan jangan sampai terjebak dalam praktek manipulasi penghitungan suara oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab hanya karena ingin mendapatkan tambahan finansial yang tidak seberapa jika dibandingkan dengan akibat hukum yang bisa diterima jika praktek curang tersebut terendus dan berujung dipidanakan.
Jika sebelum pelaksanaan Pileg, dengan segala cara para Caleg berusaha untuk menarik simpati pemilih, bahkan sejumlah
Caleg nekad melakukan ‘transaksi jual-beli suara’ dengan para calon pemilih, baik dengan uang maupun barang. Tak sampai disitu, perburuan suara dan praktek jual beli suara bisa berlanjut hingga sebelum KPU mengumumkan secara resmi siapa-siapa yang berhak duduk di kursi empuk anggota dewan dengan berbagai macam modus dan cara.
Mencuri suara caleg lain se-Parpol, praktek kecurangan pertama pasca Pileg adalah pencurian suara oleh beberapa oknum Caleg yang terancam kalah. Oknum Caleg yang terancam kalah biasanya melakukan kecurangan dengan mencuri suara milik salah satu atau bahkan beberapa Caleg se-partai yang tidak memiliki peluang untuk menang.
Sebagai Ilustrasi:
Caleg nomor 1 memperoleh suara 3.800 (peringkat kedua), caleg nomor 2 memperoleh suara 4.000 (peringkat pertama), caleg nomor 3 dan seterusnya mendapatkan suara di bawah 3.000. Secara jurdil, maka yang berhak melenggang ke kursi dewan adalah caleg nomor 2, dengan peluang dibawahnya adalah caleg nomor 1.
Jika Parpol pengusung hanya mendapatkan jatah 1 kursi, maka secara otomatis caleg nomor 2 yang akan melenggang. Dengan selisih yang hanya 200 suara, maka caleg nomor 1 masih punya peluang untuk memperbaiki jumlah suaranya untuk menang hingga kisaran angka 4.200, dan itu artinya yang bersangkutan hanya membutuhkan infus 400 suara.
Jika caleg nomor 1 lihai dan punya link yang bagus dengan penyelengara Pemilu, maka dia masih bisa menaikkan suaranya sejumlah 400 dengan mencuri suara caleg nomor 3 sampai caleg nomor 6 dengan angka curian per-caleg 100 angka yang tersebar di berbagai desa/kelurahan baik di satu kecamatan ataupun satu dapil yang sekiranya bisa dikondisikan, sehingga caleg nomor 2 yang seharusnya menang bisa mendadak menjadi kalah.
Modus seperti ini terjadi pada kasus yang telah dilaporkan di atas, dan bahkan bisa saja pencurian tidak hanya dilakukan kepada caleg yang memiliki peringkat bawah, namun bisa juga caleg dengan peringkat suara terbanyak pun bisa dicuri oleh caleg peringkat kedua.
Mencuri Suara Caleg Lain Dari Parpol Lain, modus kedua ini serupa dengan modus pertama, hanya saja suara yang dicuri adalah suara caleg dari partai lain yang tidak memiliki peluang untuk menang. Hal ini bisa mulus dilakukan jika ada kongkalikong dengan para penyelenggara pemilu yang tidak amanah.
Membeli Suara Caleg Lain Se-Parpol, modus ketiga yang tidak kalah mengerikan dan sulit terdeteksi adalah jual beli suara antar sesama caleg se-partai. Caleg dengan perolehan suara peringkat kedua bisa saja membeli suara dari caleg dengan perolehan peringkat bawah untuk memuluskan jalan menuju kursi dewan. Lagi-lagi hal ini juga bisa terjadi apabila ada sejumlah panitia penyelenggara korup yang bersedia mengotak-atik perolehan suara, dan lemahnya pengawasan dari Panwas ditiap-tiap tingkatan.
Membeli Suara Caleg Lain Dari Parpol Lain, modus keempat serupa dengan modus ketiga, hanya saja yang dibeli adalah suara dari caleg parpol lain. Faktor finansial, sangat berpotensi menjadikan para caleg yang kalah dalam Pileg bahkan menawarkan suaranya kepada caleg-caleg peringkat kedua, minimal untuk menutup biaya pencalegkan yang telah menghabiskan puluhan bahkan ratusan juta rupiah.
Membeli Suara Ke PPS, PPK dan KPU, modus kelima adalah jual beli suara antara oknum caleg dengan oknum penyelenggara Pemilu di semua tingkatan tanpa melibatkan para caleg yang kalah. Hal ini sangat rawan terjadi, mengingat banyaknya caleg yang kalah telak dalam perhitungan suara sementara yang digalang oleh anggota tim dan relawan
biasanya pasrah dan masa bodoh tidak mau mengawal perhitungan suara hingga tingkat PPK atau KPU, dengan anggapan mengawal penghitungan suara merupakan kerja yang sia-sia dan membuang-buang biaya saja karena dirinya sudah merasa kalah.
Praktek-praktek curang seperi yang dicontohkan di atas bisa dengan mudah dilakukan selain karena ada kongkalikong dengan oknum penyelenggara Pemilu, juga karena faktor kelelahan yang dialami oleh para saksi dan Panwas. Karena kelelahan yang hebat, bahkan banyak saksi dari masing-masing Parpol tidak menyelesaikan pekerjaannya sampai tuntas, meninggalkan arena penghitungan suara di TPS dan baru kembali keesokan harinya mengecek perolehan suara di tingkat desa atau bahkan cukup mempercayakan kepada para
penyelenggara Pemilu dan baru mengeceknya di tingkat PPK.
Selama ditinggal para saksi, segala sesuatunya bisa terjadi tanpa sepengetahuan para saksi, termasuk penghilangan, pencurian, penggelembungan bahkan jual beli suara oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, termasuk para
anggota Panwas pun bisa terlibat di dalamnya. Akhir kata, semoga saja Pileg 2014 ini dijauhkan dari praktek-praktek
kotor. *