Kisah Penghayat Laroma di Sulut, Sulit Memilih di Tanah Kelahiran Sendiri
Catatan: Finda Muhtar, Jurnalis
PAGI itu, Rabu (24/1/2024), jangankan matahari, bulan pun belum pergi. Belasan pria paruh baya di Desa Tondei, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, sudah bolak-balik di sebuah rumah semi permanen, berdinding batako dan kayu, membawa sejumlah barang.
Dua hari lagi akan ada ritual Maso Sico’o, yakni upacara ritual permohonan perlindungan dan berkat kepada Apo Kasuruang Wangko (Tuhan Yang Mahaesa) yang dilakukan saat bulan purnama. Tidak ada alasan, persiapan harus selesai.
Berbeda dengan pemeluk agama Kristen yang beribadah di gereja setiap hari minggu dan umat muslim di hari jumat, para penghayat Lalang Rondor Malesung (Laroma) – Aliran kepercayaan Kepada Tuhan Yang Mahaesa –agama lokal ini hanya memiliki satu hari dalam tiap bulan untuk melakukan ritual, yaitu ketika bulan purnama.
Dulu, dua hari sebelum ritual Maso Sico’o, para anggota penghayat akan membuat terung atau tenda untuk pesta. Setelah didahului doa, mereka berbagi tugas, ada yang menyiapkan sesaji, kapur siri dan pinang, serta mencari kayu bakar.
Tetapi, kini ritual Maso Sico’o hanya digelar di dalam rumah, yaitu di sekretariat Laroma atau di perkebunan yang jauh dari pemukiman warga.
Pada Januari 2024, bulan purnama pertama muncul pada tanggal 26. Orang-orang datang berkumpul di sekretariat Laroma di Desa Tondei untuk keperluan pengobatan dan mendengar petuah dari Walian (pemimpin kelompok sekaligus tabib).
Pukul 17.00 Wita, uper (sesajian) ditata di atas meja sebagai penghormatan kepada se apo-apo atau leluhur dan Tuhan Yang Mahaesa.
Kasulei, pendamping Walian mengambil seekor ayam yang masih hidup untuk didoakan, lalu diayunkan sebanyak 9 kali dengan posisi menghadap matahari terbit seperti memanggil-manggil Tuhan. Kemudian, ayam itu dipukul ke batu hingga mati.
Selanjutnya, para tetua adat membersihkan ayam itu. Hati ayam diambil dengan hati-hati dan diletakkan di piring bersih, sedangkan dagingnya dimasak.
Saya berkesempatan bertemu dengan Iswan Sual, Ketua Umum Laroma yang juga Koordinator Indonesia Inter Faith Forum atau Forum Lintas Iman Indonesia (FLII), Senin (22/2/2024) sore di Tondano, Kabupaten Minahasa, tiga jam perjalanan jauhnya dari Tondei.
Ia menjelaskan, hati ayam itu seperti kitab suci yang siap dibaca. Setiap garis yang terbentuk di hati, bak surat dari Tuhan. “Karena ayamnya sudah didoakan, Tuhan memberi jawaban lewat hati ayam. Hati ayam diberikan ke Walian yang membaca pesan Tuhan itu,” jelas Iswan.
Dalam ritual itu, ada beberapa pertanyaan dari para pemeluk Laroma, kepada Walian. Mulai dari soal sakitnya, seperti apa keadaan upacara di bulan berikutnya, dan bagaimana hati orang-orang yang mengikuti ritual, apakah berniat baik atau justru akan merusak ritual.
Proses pengobatan dilanjutkan dengan tradisi makan bersama. Peserta yang hadir membawa makanan masing-masing. Ini tradisi rumukuk atau memberi dengan sukarela.
Sekitar pukul 19.00 Wita, ketika sinar bulan purnama menyentuh meja makan, ritual kinampetan atau pemanggilan roh-roh suci dimulai. Walian mulai mengatur sesajian seperti kapur sirih pinang, nasi, serta daging ayam yang sudah dimasak di atas daun woka yang berada di ujung meja.
Peserta duduk mengelilingi meja panjang. Kemudian Walian mengalei (meminta atau berdoa memohon). Dua orang Kasulei menyuapkan hati dan empedu yang sudah dipotong kecil-kecil dan telur rebus sebagai simbol kebersihan hidup kepada seluruh peserta yang hadir.
Selama proses kinampetan, Kasulei dan Walian puasa, mereka tidak makan. Kemudian, Walian akan dimasuki roh-roh dan memberi petuah, petunjuk serta cara pengobatan kepada anggota yang sakit. Setelahnya, Walian, Kasulei, dan seluruh anggota akan makan bersama lagi.
“Dulu ritual ini kami gelar di lapangan terbuka. Namun seiring waktu, penghayat Malesung mulai mengalami diskriminasi. Ritual seperti ini terkadang kami lakukan secara sembunyi-sembunyi,” ujar Iswan.
Ini menjawab jawaban, mengapa ritual Maso Sico’o tahun 2024 hanya dilaksanakan di dalam ruang sekretariat.
Tantangan Diskriminasi
Jauh sebelum agama muncul, masyarakat di Minahasa telah lebih dahulu memuja roh leluhur (animisme). Mereka percaya terhadap benda yang dianggap memiliki roh atau jiwa, seperti pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya.
Ritual Maso Sico’o yang dilakukan saat malam berhias bulan purnama diperkirakan sudah ada antara sejak abad 4 hingga 7 Masehi.
Iswan menceritakan, saat itu penghayat Malesung masih memiliki komunitas yang besar, jumlahnya ribuan orang. Mereka menjalankan segala aktivitas dan ritual peribadatan di Wale Paliusan (rumah tempat berkumpul).
Namun jumlah pemeluk Malesung itu kian tergerus. Tempat untuk melakukan tradisi ritual bulan purnama juga hampir tidak ada.
Salah satu sebabnya karena agama leluhur mendapat stigma sebagai kepercayaan yang sesat dan primitif. Stigma ini mencengkeram begitu kuat, bahkan ketika para bangsa kolonial Eropa yang membawa gagasan kekristenan itu sudah angkat kaki.
Sejak 1990-an, intimidasi sudah mulai dirasakan sehingga anggota Laroma melakukan ritual di lokasi yang jauh dari pemukiman. Terkadang ritual dilaksanakan di rumah atau di kebun.
“Ini karena tidak ada penerimaan dari masyarakat sekitar dan anggota kami cenderung mendapat diskriminasi. Kami dianggap sebagai dukun santet, penyembah setan, dan lainnya,” kata Iswan, yang juga anggota Presidium Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa Indonesia (MLKI) Sulut.
Tekanan-tekanan ini membuat banyak anggota takut berkelompok. Mereka juga melakukan ritual secara sembunyi-sembunyi.
Seiring berjalannya waktu, generasi muda Laroma berpikir mengapa mereka harus sembunyi? Setelah reformasi 1998, tepatnya tahun 2016, mereka mulai mempunyai keberanian dan mendirikan organisasi bernama Lalang Rondor Malesung (Laroma).
Saat ini organisasi yang menjadi payung bagi para penghayat kepercayaan itu beranggota 157 orang. Mereka juga mendokumentasikan ritualnya agar orang tidak salah sangka.
“Lalang Rondor Malesung artinya jalan lurus atau jalan benar yang diwariskan kepada orang Minahasa,” tambahnya.
Setelah organisasi berdiri, generasi muda Laroma juga mulai membuka diri terhadap publik. Mereka menggunakan media sosial untuk membagikan kegiatan Laroma.
Sayangnya, bukan sambutan ramah yang diberikan masyarakat, tetapi justru intimidasi dan diskriminasi. Anggota Laroma menjadi sasaran bullying dan larangan agar tidak menjalankan ritual pada bulan purnama.
Puncak tindakan kekerasan itu adalah persekusi dan perusakan Wale Paliusan (rumah ibadah) di Desa Tondei II Jaga II Kecamatan Motoling Barat Minahasa Selatan (Minsel), pada 21-22 Juni 2022. Warga setempat merobek foto-foto leluhur Minahasa, merusak meja ritual, dan merobohkan tembok Wale Paliusan.
Satu tahun kemudian, tepatnya Mei 2023 FS alias Fengki, pelaku perusakan dijatuhi hukuman 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Minsel. Namun momen intimidasi tetap dirasakan penghayat kepercayaan Laroma sehingga mereka tetap hidup dalam ketakutan dalam menjalankan ritual keagamaannya.
“Orang-orang tidak bisa menerima. Ketika kami terang-terangan melakukan ritual, masyarakat tidak menghormati. Di satu sisi kami merasa itu hak kami (untuk beribadah),” tegas Iswan, yang sehari-hari bekerja sebagai peternak itu.
Kehilangan Identitas dan Hak Pilih
Sejatinya, para pemeluk Laroma, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sudah lama kehilangan identitas dan terus mengalami diskriminasi. Dalam proses pernikahan, ada tiga pasangan suami-istri yang menikah dengan ritual Malesung tetapi tidak dapat dicatatkan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil). Akibatnya, anak mereka tidak memiliki akta lahir.
Anggota Laroma juga tidak diizinkan mencantumkan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Mahaesa pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Padahal, menurut Iswan, penghayat Malesung di Kabupaten Minahasa tempat dia tinggal, sudah bisa mencantumkan Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Mahaesa pada KTP.
“Di Minahasa Selatan, anggota kami harus bolak-balik antardinas untuk mengurus KTP ini. Proses birokrasinya sangat panjang dan lama, padahal Laroma sudah tercatat di Kesbangpol Provinsi Sulut,” kata Iswan lagi.
Padahal negara menjamin hak kebebasan beragama sesuai bunyi Pasal 29 ayat 1 dan 2, Undang Undang Dasar (UUD) 1945. Ayat 1 Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan ayat 2, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.
Dari 157 anggota Laroma, 65 orang ‘dipaksa’ mencantumkan agama lain pada KTP mereka. Sedangkan 15 lainnya tidak mendapat KTP karena tidak ingin “dikristenisasi”.
Tentu ada resiko yang harus mereka terima saat memegang prinsip ini. Pemeluk Laroma pasti kehilangan hak pilih pada Pemilu 2024 karena tanpa KTP mustahil masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Minahasa Selatan, Franny Sengkey, Rabu (7/2/2024) mengaku baru mendapat informasi terkait Laroma menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Begitu pula dengan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Minahasa Selatan, Fauzan Sirambang.
Sayang, keduanya tidak dapat berbuat banyak di Pemilu tahun ini.
“Saya baru mendapat informasi, saya akan cek kebenaran informasi ini. Kalau dia (info, red) benar, Bawaslu mendorong pihak pemerintah daerah dalam hal ini Disdukcapil agar bersama-sama mencari solusi terkait keberadaan masyarakat Tondei, Minsel ini,” kata Franny.
Sementara itu, Sekretaris Dinas Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Minsel, Herry Tandaju membantah jika pihaknya disebut mempersulit pembuatan KTP bagi para penganut aliran kepercayaan.
“Kami tidak memberikan perlakuan khusus untuk Laroma, namun tetap memberikan pelayanan maksimal bagi masyarakat yang mengurus administrasi kependudukan,” kata Tandaju ketika dikonfirmasi dihari yang sama.
Ia mengatakan syarat pembuatan administrasi kependudukan baik e-KTP maupun Kartu Keluarga (KK) adalah wajib membawa surat pengantar dari pemerintah desa.
“Ini tidak ada hubungannya dengan status penganut kepercayaan. Asalkan mereka membawa surat pengantar dari pemerintah desa, pasti kami akan layani,” terangnya.
Kesetaraan untuk Laroma
Januari 2023, penghayat Malesung bisa sedikit bergembira, karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan itu menyebutkan agama dan kepercayaan. Artinya aturan ini tidak hanya mengakomodasi umat dari enam agama yang diakui negara, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tetapi juga melindungi para penganut kepercayaan atau agama lokal, termasuk Laroma.
KUHP baru ini “menjiwai” pengakuan terhadap kepercayaan yang ada dalam UUD 1945 (Pasal 28E). Begitu pula dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2017 mengenai inkonstitusionalitas pengosongan kolom agama di KTP bagi penghayat kepercayaan.
Ketua Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur, Dr. Denni Pinontoan adalah salah satu tokoh yang vokal membela para pemeluk Laroma bila dilanggar haknya. Ia minta Bupati Minahasa Selatan, Franky Donny Wongkar terus melindungi dan memberikan jaminan hak-hak asasi bagi penganut Laroma dan agama-agama lokal lainnya di Minahasa Selatan.
“Sebagai pimpinan, Bupati Franky harus berdiri untuk semua orang. Bupati tidak boleh tunduk kepada pimpinan-pimpinan agama Kristen yang menolak Laroma,” ujar Denni.
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) juga memberi dukungan bagi Laroma. Lembaga ini telah menyeruhkan tiga dukungan agar Laroma terhindar dari intimidasi dan bentuk kekerasan lainnya.
Pertama, meminta Pemerintah Kabupaten Minahasa Selatan dan aparat kepolisian memberikan perlindungan hukum dan sosial kepada komunitas Laroma.
Kedua, mengimbau masyarakat setempat tidak melakukan intimidasi dan tindak kekerasan kepada komunitas Laroma. Perbedaan pendapat dan pemahaman iman kepercayaan tidak harus ditanggapi dengan cara-cara kekerasan.
Ketiga, meminta gereja-gereja di sekitar untuk mendukung pemenuhan keadilan dan hak asasi manusia bagi komunitas Laroma. Buka ruang dialog kemanusiaan dan menjadi pelopor dalam memberikan keadilan kepada komunitas Laroma.
Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI, Pdt Henrek Lokra menjanjikan dirinya akan turun lapangan, mengecek kesulitan anggota Laroma dalam memperoleh KTP di Kabupaten Minahasa Selatan.
“Nanti kami langsung cek di lapangan,” ujar Lokra.
Potret hidup yang dirasakan dan dialami kaum Laroma sebagai penganut aliran kepercayaan, yang berdomisili dan beranak pinak di Desa Tondei, Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan (Minsel), Sulawesi Utara (Sulut), begitu terpinggirkan.
Mereka tak punya ruang, dalam konteks demokrasi pun termarginalkan, walau hak memilih dan hak dipilih adalah hak konstitusional terhadap warga negara yang telah diakui hak atas kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan sebagaimana dijamin Undang-Undang Dasar 1945.
Jaminan pelaksanaan hak memilih dan dipilih juga diatur dalam Undang-Undang terkait Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang tertuang di UU Nomor 7 Tahun 2017.
Oleh sebab itu, harusnya setiap warga negara bisa menggunakan hak pilih dan hak memilih sesuai UUD, bukan tersandera hanya karena perbedaan keyakinan kepercayaan, seperti yang dirasakan Kaum Laroma yang ada di Minsel, Sulut.
Kaum Laroma harusnya bisa menggunakan hak pilih, dan harus terbebas dari segala bentuk campur tangan dari pihak lain, intimidasi dan diskriminasi serta segala bentuk tindakan kekerasan yang bisa menimbulkan rasa takut untuk menyalurkan haknya dalam memilih dan dipilih dalam setiap proses Pemilu.
Hak untuk memilih dan dipilih dalam Pemilihan Umum merupakan salah satu bentuk dari Hak Asasi Manusia yang telah dijamin oleh Negara yang diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Faktanya, lima penghayat Laroma tidak dapat memberikan hak pilih pada 14 Februari 2024. Deni Kusen (50), salah satunya. Sedih pasti. Ia tidak dapat memilih untuk ketiga kalinya, 2024, 2019 dan 2014.
“Sudah tiga kali Pemilu saya tidak dapat menggunakan hak pilih saya. Sekarang saya hanya berharap semoga Indonesia semakin maju dan hak-hak sipil penghayat kepercayaan bisa terpenuhi,” kata Deni.
Persoalan yang dihadapi kelompok minoritas memang sering tidak masuk dalam “radar” para pemangku kebijakan. Apalagi kalau kelompok minoritas ini rentan mengalami kekerasan sehingga tidak berani muncul secara terang-terangan.
Sina’u Selfie Tombuku, penghayat aliran kepercayaan Laroma hanya berharap bisa mendapat penerimaan utuh di tengah-tengah masyarakat tidak hanya sebatas gaung tolerasi beragama.
“Kami tidak minta banyak. Hargai kami penghayat kepercayaan. Libatkan kami di acara-acara kemasyarakatan tanpa memojokkan. Kami berharap pemerintah bisa bersikap adil karena setiap manusia memiliki hak yang sama. Kita kan hidup di negara Pancasila. Jangan persulit dan jangan bully kami karena kami penghayat kepercayaan Lalang Rondor Malesung,” pintah Selfie.
(findamuhtar)