Penulis: Pascal W. Y. Toloh, SH
Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja pada tanggal 5/10/2020 mengundang reaksi publik yang menyatakan sikap untuk menolak, penolakan terhadap Undang-Undang yang berkonsep omnibus law ini sudah terjadi dari awal Tahun 2020 oleh karena tujuannya yang dinilai hanya menampung aspirasi kaum oligarki serta mengancam kelestarian lingkungan dan kemanusiaan kaum buruh.
Penolakan dilakukan dengan adanya demonstrasi secara masif di beberapa daerah baik dari elemen mahasiswa, buruh dan elemen masyarakat lainnya.
Demonstrasi adalah aksi yang dijamin oleh undang-undang dan konstitusi sehingga demonstrasi merupakan langkah konstitusional yang bisa digunakan setiap warga negara untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak demokratis dan inkonstitusional.
Demonstrasi sebagai hak konstitusional
Aksi demonstrasi atau unjuk rasa adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
Demonstrasi merupakan bagian dari kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.
Indonesia sebagai negara demokrasi,secara terikat harus menjamin pelaksanaan kemerdekaan negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum dimana hal tersebut merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kebebasan menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa atau demonstrasi merupakan bagian dari implementasi prinsip dasar demokrasi Pancasila yang dianut oleh negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat.
Jika meninjau aksi demonstrasi menolak UU Cipta Kerja, gerakan tersebut merupakan reaksi sosial masyarakat dimana produk hukum tersebut merupakan hal yang buruk kedepan karena tidak memenuhi nilai moral dan rasa keadilan.
Reaksi sosial ini merupakan landasan sosiologis sehingga perlu diperhatikan dalam pembentukan Undang-Undang ini (UU Cipta Kerja),dimana dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada landasan filosofis, sosiologis dan yuridis yang ideal.
Permasalahan Proses Pembentukan
Proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, sedari awal terlihat berat untuk mematuhi aturan prosedural pembentukan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Asas keterbukaan dan partisipatif haruslah dipatuhi dalam proses pembentukan tetapi jika meninjau pembentukan UU CK, asas keterbukaan terlihat tidak dipatuhi, sebab fakta yang terjadi tidak adanya kejelasan tentang draf rancangan dan draf yang disahkan sehingga membuat kebingunggan bagi masyarakat dan juga asas partisipatif yang tidak dilaksanakan secara maksimal karena selama proses pembentukan terjadi keterbatasan akses informasi kepada masyarakat sehingga peraturan perundang-undangan yang seharusnya ditujukan bagi kepentingan dan kebutuhan masyarakat malah dimanfaatkan oleh sekelompok orang demi kepentingannya.
Situasi seperti ini lah yang disebut dengan regulatory capture.
Menurut teori perundang-undang, pembentukan undang-undang harus sesuai procedural due process of law sehingga dapat melahirkan produk hukum (undang-undang) yang responsif atau menghormati prinsip right to be hear dari golongan masyarakat paling terdampak.
Tetapi, ketika meninjau proses pembentukan UU CK terlihat sangat jauh dari prinsip procedural due process of law yang akibatnya substansi UU tersebut tidak demokratis dan tidak menghormati prinsip civil rights atau hanya mengutamakan oligarch interest (kepentingan oligarki) dan jika suatu proses pembentukan peraturan perundang-undang tidak mematuhi ketentuan prosedural maka hal-hal yang substantif tidak akan terpenuhi.
Oleh karena itu, konsekuensi dari proses pembentukan yang cacat prosedural ini adalah harus dibatalkan demi hukum (nietigheid van rechtswege), dengan landasan tersebut UU Cipta Kerja harus dicabut.
Belum Waktunya Judicial Review
Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 memberikan akses kepada para pencari kadilan (masyarakat) untuk melawan jikalau ada produk hukum (undang-undang) yang prosedur pembentukannya tidak sesuai dengan aturan formil dan muatannya melanggar hak konstitusional warga negara.
Mekanisme tersebut adalah Judicial Review atau pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar yang akan diputus oleh Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution, tetapi dalam hal ini jika kita mempersoalkan UU Cipta Kerja untuk dibawa ke MK adalah belum tepat waktunya, sebab status hukum dari UU Cipta kerja belum resmi di undangkan karena belum masuk dalam lembaran negara serta belum ditetapkan penomorannya. Pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada lembaran negara untuk kemudian ditandatangani Menteri Hukum dan HAM.
Sehingga selama belum diundangkan maka ketentuan dalam UU Cipta Kerja belum berlaku mengikat dan tidak memiliki implikasi apapun.
Oleh karena itu RUU yang disahkan (UU CK) belum menjadi objek permohonan apabila digugat atau judicial review ke MK.
Melihat realitas hukum diatas maka saat ini solusi untuk melakukan Judicial review UU Cipta Kerja bukanlah solusi yang tepat, karena belum pada waktu yang tepat.
Mekanisme hukum yang bisa ditempuh adalah dengan berharap good political will dari Presiden untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang pencabutan UU Cipta Kerja.
Politik Hukum Perundang-Undangan
Di dalam buku Politik Hukum di Indonesia karangan Mahfud M.D dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan salah satu asumsi , bahwa dalam realitasnya “politik determinan (menentukan) atas hukum, itulah yang menjadi realitas hukum pembentukan UU Cipta Kerja di Parlemen.
Corak politik pada suatu rezim pemerintahan tertentu akan sangat mempengaruhi karakter/produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah rezim tersebut. Dan corak politik pembentukan UU Cipta Kerja, lebih bercorak pada konfigurasi politik otoriter bukan demokratis karena kurangnya keterbukaan kepada masyarakat.
konfigurasi politik otoriter akan melahirkan produk hukum konservatif/ortodoks/elitis yaitu produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah, bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksana ideologi dan program negara. Berlawanan dengan hukum responsif, hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan-tuntutan kelompok maupun individu-individu di dalam masyarakat.
Dalam pembuatannya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil, oleh sebab itu UU Cipta Kerja adalalah produk hukum yang tidak menghormati prinsip negara demokrasi dimana partisipasi masyarakat adalah sendi demokrasi.
(***/HardinanSangkoy)