Rabu kemarin beberapa aktivis buruh bertemu Jokowi untuk mendiskusikan RUU Ominubus-Law Cipta Kerja yang lagi heboh itu. Dan hari ini, Jokowi resmi menunda pembahasan RUU-Omnibus Law yang maha besar dan super kilat itu.
“Untuk memberikan kesempatan kepada kita untuk mendalami lagi substansi dari pasal-pasal yang terkait,” kata Jokowi saat mengungkap alasan menunda pembahasan RUU itu.
Sebuah pilihan yang paling rasional saat ini.
RUU omnibus Law-Cipta Law merupakan RUU maha besar yang jika membacanya dari awal sampai akhir, anda seperti membaca sastra kuno mahabharata. Buku yang terbagi 8 klaster kisah.
Di RUU omnibus law itu seluruh pernak-pernik manusia telah terangkum; ia mengatur seluruh kehidupan dari bawah dan di atas permukaan tanah.
Uniknya, RUU setebal 1028 halaman yang meringkas sekian banyak UU dan mengatur segala hajat manusia, di kota dan di pedalaman, buruh dan pengusaha, hanya dikerjakan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Saking cepatnya, sampai-sampai ada pasal yang sempat salah ketik.
Jika saja diteruskan membahas RUU ini, mungkin menambah keriuhan. Sebab, meski di musim korona,suara-suara penolakan cukup kencang terdengar.
Di klaster tenaga kerja, misalnya, mencari titik temu buruh dan pengusaha di tengah keterbatasan dialog tatap muka saat ini, rasanya sangat mustahil.
Rerata aktivis buruh menolak RUU Cipta Kerja. Hal yang banyak dipersoalkan di RUU itu, antara lain: ancaman PHK yang dipermudah, pesangon yang makin sedikit, fleksibilitas jam kerja untuk tujuan eksploitatif, hilangnya beberapa hak cuti terutama perempuan.
Sebenarnya pemerintah punya tujuan ‘mulia’ terkait RUU omnibus law. Namun karena perumusannya serba kilat akhrinya niat baik itu tertutupi, yang ada hanya kecurigaan. Bahkan kebanyakan buruh yang belum membaca RUU itu, ikutan teriak menolak.
“Pokoknya menolak” kata mereka di forum diskusi.
RUU omnibus law ingin mengatur kemudahan berinvestasi, pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif, dan mengatasi konflik peraturan perundangundangan yang tumpang tindi.
Ketumpangtindihan aturan ini yang membuat investasi malas masuk di Indonesia. Belum lagi perilaku korup dari birokrat yang membuat investor tidak tertarik berusaha, padahal setiap tahun pencari kerja tumbuh subur.
Ah, kalau bicara seperti ini tuduhannya bisa beragam. Bisa-bisa dianggap antek atau komprador kapitalis. Namun, rasanya ketika bicara tentang hidup, kita tidak bisa menghindarinya. Kapitalisme sudah ada sejak manusia mengenal alat kerja.
Jadi, menurutku, menolak segala bentuk pernak-pernik investor rasanya kita tidak berbuat adli sesama manusia.
Contoh yang paling kongkrit ketika pemodal/usaha berhenti di musim korona. Tetangga kamu yang kemarin ceria kini tak bisa kerja, menganggur, tidur di emperan tokoh, selanjutnya jatuh sakit, dan mati.
Di musim korona seharusnya membuat cara berpikir kita harus lebih dewasa. Bahwa, hidup ini punya saling ketergantungan. Buruh dan pengusaha adalah hal yang tak terpisahkan.
Pengusaha tidak ingin merugi, buruh juga pengen kerja, makan, dan sejahtera. Tentunya, di sana harus ada titik kompromi.
Penundaan RUU Omnibus law-Ciker memberi waktu semua pihak untuk mendalami subtansi RUU itu, dan yang paling utama memberi ruang tuk lebih dewasa dalam melihat setiap produk kebijakan yang akan dilahirkan.
Penulis: Anton Miharjo