Oleh:
Firasat Mokodompit SE, (Politisi)
TAYYIB Erdogan Presiden Tukey mengingatkan pada kita bahwa ‘Politik harus diisi orang orang baik, jika tidak maka orang jahat akan mengisinya’.
Isyarat ini sadarkan kita semua bahwa politik cartel-politik dinasty-politik uang-politik nepotisme lebih jahat karena dia akan merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi yang dalam kekinian menuju kesempurnaan dan terus dibenahi.
Setiap kontestasi Pilkada-Pileg-Pilpres selalu saja terjadi praktek jahat ini dan sebagai pelaku jelas penguasa yang bisa diterjemahkan dia sosok pemimpin yang dipilih rakyat, namun lupa akan sumpah janjinya dan sumpah jabatannya.
Dan rakyat atas nama demokrasi, atas nama kedaulatan tak berdaya menolak praktek cartel-dinasty-money politik- nepotisme.
Apa yg salah di negeri ini !!
Syahwat politik para elit selalu memainkan peran pamungkas dalam mendorong permainan ini tanpa rasa malu, khianati sumpah jabatan ‘Demi Tuhan, dalam mengemban jabatan ini tidak sekali-kali melakukan KKN atau memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi atau golongan atau keluarga’.
Yang terjadi, begitu menjabat lupa akan sumpah atas nama Tuhan ini, dan sebaliknya melakukan keinginan keluarga-kelompok maupun kepentingan partainya bagi memenuhi syahwat politik berkuasa.
Marciefelly kemukakan bahwa politik itu selalu diwarnai dengan ‘menghalalkan berbagai cara’.
Namun bagi bapak bangsa HOS Tjokroaminoto, politik itu adalah alat perjuangan untuk mencapai tujuan bagi kepentingan perjuangan banyak orang/kepentingan rakyat.
Nah jelas dari sisi textbook maupun pergerakan, mengharamkan nepotisme-cartel-money politik- politik dinasty karena dianggap tidak etis dan melanggar norma kepatutan dan norma kepatuhan sebagai seorang pejabat pemimpin pemerintahan maupun pemimpin parpol/rakyat.
Kesadaran kolektif para tokoh-para elit-para pemimpin harus diwujudkan untuk memberantas praktek-praktek jahat ini. Dia tidak boleh memasuki wilayah birokrat atau wilayah pemimpin daerah, sudah cukup kita rasakan 32 tahun orde baru yg tumbang 1998 dengan lahirnya reformasi, dan pada zaman now praktek jahat masih dilakukan sebagian elit atau pemimpin. Maka ini ciptakan rasa ketidakadilan dalam masyarakat dan menghambat proses regenerasi dan kaderisasi.
Memang rakyat dirugikan dengan praktek ini, potensi diamputasi, kesempatan teriliminasi, kopetensi disirnakan, SDM bukan prasarat mutlak, karena syahwat nepotis jauh lebih kencang dan libas norma kepantasan dan norma kepatuhan.
Menjadi pemimpin/Kepala daerah sangatlah elegant. Berbagai fasilitas negara dinikmati, mulai kebutuhan protokoler hingga fasilitas keluarga. Dan semua serba fantastis. Jika dia sosok pemimpin bijak, maka praktek cartel-dinasty-nepotisme-halalkan berbagai cara, kata Marciefelly tidak dia lakukan, mengingat sumpah janji dan sumpah jabatan. Namun karena dorongan internal begitu kuat hingga lupa semua janji NKRI-UUD 1945-pakta integritas sebagai kepala daerah maupun pemimpin pemerintahan dan pemimpin parpol/rakyat.
Memang tugas berat para intelektual-akademisi-tehnokrat dan profesional media sebagai ‘Agent of Changes’ maupun tokoh agama untuk mengingatkan para pemimpin, kembalilah pada sumpah jabatan, kembalilah pada norma agama, kembalilah pada pakta integritas yang kesemuanya akan dipertanggungjawabkan atas nama keyakinan. Sudahilah semua tindakan rugikan rakyat!! Karena jika tidak dipastikan akan menjadi dosa sejarah yang secara temurun akan dicaci rakyat sebagai pemimpin yang nodai mandat rakyat.
Poigar, 24 Februari 2018
Oleh:
Firasat Mokodompit SE, (Politisi)
TAYYIB Erdogan Presiden Tukey mengingatkan pada kita bahwa ‘Politik harus diisi orang orang baik, jika tidak maka orang jahat akan mengisinya’.
Isyarat ini sadarkan kita semua bahwa politik cartel-politik dinasty-politik uang-politik nepotisme lebih jahat karena dia akan merusak sendi-sendi kehidupan demokrasi yang dalam kekinian menuju kesempurnaan dan terus dibenahi.
Setiap kontestasi Pilkada-Pileg-Pilpres selalu saja terjadi praktek jahat ini dan sebagai pelaku jelas penguasa yang bisa diterjemahkan dia sosok pemimpin yang dipilih rakyat, namun lupa akan sumpah janjinya dan sumpah jabatannya.
Dan rakyat atas nama demokrasi, atas nama kedaulatan tak berdaya menolak praktek cartel-dinasty-money politik- nepotisme.
Apa yg salah di negeri ini !!
Syahwat politik para elit selalu memainkan peran pamungkas dalam mendorong permainan ini tanpa rasa malu, khianati sumpah jabatan ‘Demi Tuhan, dalam mengemban jabatan ini tidak sekali-kali melakukan KKN atau memanfaatkan jabatan demi kepentingan pribadi atau golongan atau keluarga’.
Yang terjadi, begitu menjabat lupa akan sumpah atas nama Tuhan ini, dan sebaliknya melakukan keinginan keluarga-kelompok maupun kepentingan partainya bagi memenuhi syahwat politik berkuasa.
Marciefelly kemukakan bahwa politik itu selalu diwarnai dengan ‘menghalalkan berbagai cara’.
Namun bagi bapak bangsa HOS Tjokroaminoto, politik itu adalah alat perjuangan untuk mencapai tujuan bagi kepentingan perjuangan banyak orang/kepentingan rakyat.
Nah jelas dari sisi textbook maupun pergerakan, mengharamkan nepotisme-cartel-money politik- politik dinasty karena dianggap tidak etis dan melanggar norma kepatutan dan norma kepatuhan sebagai seorang pejabat pemimpin pemerintahan maupun pemimpin parpol/rakyat.
Kesadaran kolektif para tokoh-para elit-para pemimpin harus diwujudkan untuk memberantas praktek-praktek jahat ini. Dia tidak boleh memasuki wilayah birokrat atau wilayah pemimpin daerah, sudah cukup kita rasakan 32 tahun orde baru yg tumbang 1998 dengan lahirnya reformasi, dan pada zaman now praktek jahat masih dilakukan sebagian elit atau pemimpin. Maka ini ciptakan rasa ketidakadilan dalam masyarakat dan menghambat proses regenerasi dan kaderisasi.
Memang rakyat dirugikan dengan praktek ini, potensi diamputasi, kesempatan teriliminasi, kopetensi disirnakan, SDM bukan prasarat mutlak, karena syahwat nepotis jauh lebih kencang dan libas norma kepantasan dan norma kepatuhan.
Menjadi pemimpin/Kepala daerah sangatlah elegant. Berbagai fasilitas negara dinikmati, mulai kebutuhan protokoler hingga fasilitas keluarga. Dan semua serba fantastis. Jika dia sosok pemimpin bijak, maka praktek cartel-dinasty-nepotisme-halalkan berbagai cara, kata Marciefelly tidak dia lakukan, mengingat sumpah janji dan sumpah jabatan. Namun karena dorongan internal begitu kuat hingga lupa semua janji NKRI-UUD 1945-pakta integritas sebagai kepala daerah maupun pemimpin pemerintahan dan pemimpin parpol/rakyat.
Memang tugas berat para intelektual-akademisi-tehnokrat dan profesional media sebagai ‘Agent of Changes’ maupun tokoh agama untuk mengingatkan para pemimpin, kembalilah pada sumpah jabatan, kembalilah pada norma agama, kembalilah pada pakta integritas yang kesemuanya akan dipertanggungjawabkan atas nama keyakinan. Sudahilah semua tindakan rugikan rakyat!! Karena jika tidak dipastikan akan menjadi dosa sejarah yang secara temurun akan dicaci rakyat sebagai pemimpin yang nodai mandat rakyat.
Poigar, 24 Februari 2018