Minut, BeritaManado.com – Fraksi Golongan Karya (Golkar) di DPRD Minahasa Utara (Minut) siap mengawal aspirasi masyarakat adat Tonsea dalam penetapan nama Tol Manado-Bitung menjadi Tol Tonsea.
Ketua Fraksi Golkar Edwin Nelwan menyebutkan, penetapan nama Tol Tonsea bukan hal berlebihan karena dalam peta demografi letak tol hampir 100% berada di tanah Tonsea, yaitu sub etnis masyarakat Kabupaten Minut.
“Ini bukan keinginan yang berlebihan tapi ini menyangkut martabat Minut. Permintaan para tokoh adat dan tokoh masyarakat adalah sangat manusiawi dan itu bukan permintaan untuk mohon didengar tapi wajib didengar,” ujar Edwin Nelwan, kepada BeritaManado.com, Rabu (29/7/2020).
Keberadaan tol pertama di Sulut ini menjadi kebanggaan masyarakat Minahasa Utara sehingga penamaan Tol Tonsea akan menjadi sejarah dan dikenal sepanjang masa.
Nama Tol Tonsea, kata Edwin, merupakan pemberian tulus dari para tua-tua adat dengan memberikan tanahnya untuk dibangun tol.
“Ini akan terus dikenang sepanjang masa untuk anak cucu kita nanti. Dan memberikan dampak bagi kemajuan budaya bahkan perekonomian Minut ke depan. Terima kasih kepada pemerintah pusat dan provinsi yang memperhatikan. Semoga bukan sekedar membangun infrastruktur transportasi,” pungkas Edwin.
Diketahui, Fraksi Golkar merupakan yang paling getol memperjuangkan identitas jalan tol ini, mulai dari perubahan nama interchange yang awalnya Manado-Bitung, menjadi Manado-Minut-Bitung hingga muncul istilah ‘telur mata sapi’, dimana telur dihasilkan oleh ayam, tapi saat masak justru menggunakan nama hewan lain.
“Saya yakin keinginan masyarakat Minut akan terkabul. Apalagi notabene Gubernur Sulut adalah orang Minahasa Utara,” tutup Ketua Komisi I DPRD Minut itu.
WARISAN BUDAYA LELUHUR TONSEA MINAHASA
Sejumlah perwakilan tokoh adat dan tokoh masyarakat Kabupaten Minahasa Utara mengusulkan nama tol yang menghubungkan Kota Manado, Kabupaten Minut dan Kota Bitung itu dinamai Tol Tonsea.
Mereka cemas dengan warisan leluhur Minahasa (Malesung) sub-etnis Tonsea yang sudah diambang kepunahan.
Kaum milenial pada umumnya sekarang sudah kurang mengenal peninggalan adat, budaya dan situs bersejarah sebagai dampak globalisasi dan pembangunan yang masif sehingga menghilangkan jejak sejarah pada situs adat dan budaya tonsea.
Hal tersebut tentulah sangat memprihatinkan dan mendorong para tokoh adat budaya dan tokoh masyarakat bersatu untuk mengupayakan peninggalan kejayaan Tonsea kuno dapat tergantikan dengan sebuah “landmark”.
Delegasi para tokoh adat dan tokoh masyarakat, Kamis (23/7/2020) bertandang ke gedung DPRD Minut, untuk mengajukan aspirasi bahwa pentingnya konservasi dan preservasi adat, budaya dan situs bersejarah Tonsea di tanah adat.
Mereka membawa hasil rapat delegasi masyarakat adat Tonsea melaui organisasi masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), CSO (Organisasi Masyarakat Sipil), tokoh adat dan tokoh masyarakat, di antaranya menyatakan;
- Jalan tol berada 100% di tanah adat milik etnis Tonsea sub etnis dari Malesung kemudian Minahasa, Minut dan Bitung adalah tanah adat Tonsea.
- Nama etnis Tonsea akan dilupakan dan hilang di kemudian hari karena sampai saat ini belum ada monumen ataupun bangunan yang permanen yang bisa bertahan ratusan tahun yang bernama Tonsea.
- Bicara tentang etnis Tonsea tentu bicara adat istiadat dan budaya Tonsea. Jadi, nama etnis saja sudah tidak dipertahankan dan dihormati serta dihargai apalagi adat istiadat dan budayanya.
- Agar pemerintah dan penduduk Bitung, Manado dan Tondano (Tonsea Lama) juga memahami bahwa tanah Kota Madya Bitung dan tanah sebagian Kota Madya Manado dan Tonsea Lama (Tondano) adalah tanah adat milik etnis Tonsea.
- Agar sejarah etnis Tonsea dengan adat istiadat budaya serta wilayahnya yang menjadi hak asal usul etnis Tonsea tetap hidup dari dahulu, sekarang dan selama-lamanya.
- Penduduk yang berdomisili dan memiliki tanah di kiri dan kanan jalan tol adalah orang tonsea dari Maumbi sampai Bitung. Dan yang memberikan untuk dibangun jalan tol juga orang Tonsea.
- Nama ini juga sebagai penghormatan dan penghargaan untuk para leluhur orang tonsea yang menciptakan etnis Tonsea dengan adat istiadat dan budayanya dan tumani (membuka pemukiman adat) di tanah Tonsea dan sudah mempertahankan hak kepemilikan tanah adat Tonsea terhadap intervensi dari etnis-etnis lain seperti suku Mindanao, Sultan Ternate, Bolang Mongodow, Portugis, Spanyol, Belanda, Mongolia dan lainnya, telah mewariskan kepada kita anak cucu tanah adat yang sudah dikelola dan sudah menghasilkan kekayaan seperti sawah, telaga, kelapa, pala, cingkeh, buah-buahan dan lainnya.
- Sudah saatnya kita untuk membalas jasa para leluhur kita dengan memberikan nama jalan tol ini dengan nama Tonsea.
- Jangan kita jadi orang yg tidak menghargai orang tua dan para leluhur, tapi bangga lah dan bahagia menikmati apa yang diwariskan oleh leluhur adat Tonsea.
- Merujuk pada banyaknya nama jalan tol yang memakai nama daerah di mana tol tersebut berada (melintas) contoh: Tol Cipularang, Tol Cipali, Tol Cikampek, Tol Cileunyi, Tol Cilacap, Tol Cikopo, Tol Cirebon, dan lain-lain.
Aspirasi tersebut ditandatangani sejumlah tokoh masyarakat, yaitu Piet Luntungan (tokoh adat), Felix Luntungan (budayawan Tonsea di Jakarta), Jean Waturandang (budayawan Tonsea), William Luntungan (LSM Gebrak), Sevry Nelwan (Ormas Barmas), Selfran Wungouw (tokoh masyarakat), Lidya Katuuk (budayawan), Billy Barantian (LSM Gaat’s), Marvin Dotulung (LSM Alarm), Stave Tuwaidan (budayawan) dan Arly Dondokambey (Waraney Tanah Toar Lumimuut–Minut).
(Finda Muhtar)