Bitung, BeritaManado.com – Proses hukum kecelakaan kapal LCT Bora V diharapkan tidak hanya berhenti di penetapan tersangka sang nahkoda, tapi berlanjut ke pihak lain yang dianggap ikut bertanggungjawab.
Menurut salah satu pemerhati pelayaran di Kota Bitung, Capt Reky Nelson Janis M Mar, ada dua pilihan yang harus dipilih oleh seorang nakhoda saat sedang bertugas, yaitu apakah harus mengikuti peraturan perundang-undangn yang akan menyebabkan dirinya kehilangan pekerjaan karena melawan perintah dari pemilik kapal atau perusahaan pelayaran.
“Jika mengikuti perintah dari pemilik kapal atau perusahaan pelayaran maka jika tertangkap otoritas pelabuhan atau petugas maka si nakhoda akan menerima sanksi pidana 5 tahun dan denda Rp 600.000.000, sedangkan pemilik kapal/owner yang tadinya memerintahkan nahkoda untuk berlayar tanpa surat persetujuan berlayar tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana oleh pihak petugas penegak hukum,” jelas Reky, Minggu (4/2/2024).
Reky berbendapat, dalam penanganan kasus tindak pidana pelayaran kapal LCT Bora V, dimana sebahagian penegak hukum berpendapat pemilik kapal tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana berdasarkan asas legalitas dan delik pasal tersebut mengandung unsur delik Propria dimana tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu, bukan delik Communia delik yang dilakukan oleh setiap orang pada umumnya.
Karena kata dia, subjek pada Pasal 323 ayat (1) Undangundang Republik Indonesia Nomor: 17 tahun 2008 adalah Nahkoda, tetapi jika penegak hukum sungguh-sungguh melakukan penegakan hukum maka pemilk kapal dapat dijerat kedalam presfektif penyertaan sebagai dasar memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam terwujudnya delik dengan penyertaan pidana sebagai dasar untuk memperluas pertanggungjawaban pidana selain pelaku yang mewujudkan seluruh isi delik.
“Untuk LCT Bora V penegak hukum sudah bisa menjerat pemilik atau agent LCT Bora V karena saat kapal berlayar jumlah penumpang yang dicantumkan tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya,” katanya.
Kemudian jika benar surat persetujuan berlayar itu dengan pelabuhan tujuan Manado dan ternyata belakangan diketahui kapal berlayar ke Taghulandang, maka yang harus dicatat adalah siapa oknum yang memerintahkan kapal berlayar ke Taghulandang, pihak agen atau oknum yang memerintahkan kapal berlayar ke Taghulandang harusnya saat ini menemani nakhoda sebagai tersangka atas pelanggaran Undang-undang pelayaran.
Ia juga menilai, lemahnya penegakan hukum pidana terhadap setiap kecelakaan dalam dunia pelayaran di Indonesia, kususnya pada ketentuan delik pasal 323 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor: 17 tahun 2008 tentang pelayaran dimasa yang akan datang, maka akan menjadi sebuah dilema bagi para nahkoda kapal yang diperintahkan oleh pemilik atau agen untuk berlayar tanpa Surat Persetujuan Berlayar.
“Kita ketahui bersama penerapan MLC di Indonesia sama sekali hampir tidak pernah ada sehingga para pelaut atau khususnya nakhoda selalu menjadi pihak yang paling dikorbankan saat terjadi kecelakaan kapal dilaut. Semoga para penegak hukum yang menangani perkara tenggelamnya LCT Bora V diberi hikmat supaya dapat menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan,” katanya.
Sementara itu, kapal LCT Bora V dinyatakan hilang di Perairan Tagulandang Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Minggu (21/1/2024) lalu pukul 21.00 Wita. Kapal naas ini ditengarai mendapatkan ijin berlayar di tengah peringatan cuaca buruk dari BMKG menuju Tagulandang mengangkut material milik PLN.
Dalam insiden itu, ada 8 orang masih dalam tahap pencarian, 2 orang meninggal dunia dan 10 orang selamat. Jumlah orang yang berada di atas kapal LCT Bora V saat mengalami musibah tidak sesuai dengan data yang dilaporkan ke KSOP Kelas I Kota Bitung, yakni hanya 10 orang kru kapal.
(abinenobm)