Jakarta, BeritaManado.com — Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan seluruh permohonan yang diajukan oleh dua orang mahasiswa.
Hal itu berkaitan dengan perkara pengujian Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).
Permohonan tersebut diajukan atas dasar bahwa pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Sidang pembacaan Putusan Nomor 69/PUU-XXII/2024 dilakukan pada Selasa (20/8/2024) di Ruang Sidang Pleno MK.
“Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan frasa “tempat pendidikan” dalam norma Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5588) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” tegas Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
“Itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dikecualikan bagi perguruan tinggi yang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi atau sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu,” tambah Suhartoyo.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah menyatakan bahwa secara konstitusional, konstruksi norma Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak dimaknai sebagai pemilihan umum (pemilu) untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, dan dewan perwakilan rakyat daerah, tetapi juga harus dimaknai termasuk dengan pemilihan kepala daerah.
Dengan demikian, pemaknaan diperlukan harmonisasi atau sinkronisasi antara pengaturan atau hukum pemilu dengan pemilihan kepala daerah, khususnya dalam hal yang memiliki kesamaan, seperti penyelenggaraan kampanye.
Lanjut kata Guntur, apabila dibaca secara saksama maka pengaturan perihal larangan pada masa kampanye tersebut di atas, di antara larangan kampanye yang diatur dengan substansi yang dapat dinilai sama antara UU 1/2015 dan UU 7/2017 adanya “larangan menggunakan tempat pendidikan”.
“Namun demikian, berkenaan dengan “larangan menggunakan tempat pendidikan” yang diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017, Mahkamah telah mengecualikan larangan bagi tempat Pendidikan,” sebut Guntur.
Pengecualian Larangan Kampanye
Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Agustus 2023 menyatakan bahwa kampanye di tempat pendidikan dapat dikecualikan.
Alasannya, sepanjang kegiatan kampanye mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.
Adapun pertimbangan hukum Mahkamah ihwal mengecualikan larangan kampanye di perguruan tinggi itu dapat dibaca dan telah ditegaskan kembali dalam Paragraf [3.14] Putusan MK Nomor 128/PUU- XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 29 November 2023.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum itu, Guntur menyebut bahwa pengecualian terhadap larangan kampanye di perguruan tinggi dimaksudkan memberikan kesempatan kepada civitas akademika untuk menjadi salah satu lokomotif penyelenggaraan kampanye pemilu untuk mendalami visi, misi, dan program kerja dari setiap calon, sambil memberikan kesempatan yang sama kepada semua calon.
Selain itu, kampus tempat berkumpulnya sebagian dari pemilih pemula dan pemilih kritis sehingga dengan pengecualian ini berarti membuka kesempatan dilakukan kampanye dialogis secara lebih konstruktif yang pada akhirnya akan bermuara pada kematangan berpolitik masyarakat.
Guntur menegaskan, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk memberlakukan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 secara mutatis mutandis terhadap permohonan a quo.
Keputusan ini diambil usai mempelajari secara saksama pertimbangan hukum perihal pengecualian larangan kampanye di kampus atau perguruan tinggi dan dengan mendasarkan kepada pendirian Mahkamah yang tidak lagi membedakan rezim pemilu dengan rezim pilkada.
Selain itu karena substansi yang dimohonkan para Pemohon pada pokoknya sama dengan substansi Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023.
Adapun, pemberlakuan secara mutatis mutandis tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan prinsip erga omnes.
Rezim Pemilihan
Norma larangan kampanye di kampus atau perguruan tinggi atau sebutan lain dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.
Maka terhadap norma serupa dan sejenis yang terdapat dalam undang-undang lain seharusnya juga diberikan makna yang sama.
Sebagai sistem hukum yang berlaku dalam pemilu yang sama-sama didasarkan kepada konstruksi hukum dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945, membiarkan norma yang saling bertentangan tetap eksis/berlaku maka dapat merusak kepastian hukum penyelenggaraan pemilu.
Artinya, meskipun ketentuan tersebut diatur dalam dua undang-undang yang berbeda, namun karena tidak terdapat lagi perbedaan rezim pemilihan maka untuk kepentingan kepastian hukum dan penguatan prinsip erga omnes, larangan kampanye pada “tempat pendidikan dalam pemilihan kepala daerah sebagaimana termaktub dalam norma Pasal 69 huruf i UU 1/2015 harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Dengan demikian, larangan kampanye itu tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi/sebutan lain dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.
Adapun dua Mahasiswa menguji Pasal 69 huruf i UU Pilkada terhadap Pasal 22E ayat (1), 28D ayat (1), dan 28C ayat (1) UUD 1945.
Permohonan diregistrasi di Kepaniteraan MK dengan Nomor 69/PUU-XXII/2024.
Pasal 69 huruf i UU Pilkada menyatakan, “Dalam Kampanye dilarang: i. menggunakan tempat ibadah dan tempat Pendidikan.”
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Jumat (12/7/2024), Sandy Yudha Pratama Hulu (Pemohon I) merasa dirugikan Pasal 69 huruf i UU Pilkada yang membatasi Pemohon untuk menguji secara kritis gagasan calon pemimpin daerah di tempat Pemohon menempuh Pendidikan tinggi saat ini.
Sementara Stefanie Gloria (Pemohon II) yang juga merupakan mahasiswa merasa dirugikan dengan adanya pasal tersebut.
Pasalnya, potensi tertutupnya informasi mengenai gagasan antara calon pemimpin dalam ruang dialog akademis yang berpengaruh terhadap pilihan Pemohon II sebagai pemilih pemula dalam Pilkada 2024.
Di sisi lain, Sandy menyampaikan dalam Pemilu 2024 yang lalu, banyak pelaksanaan diskusi publik, forum akademis serta debat calon pasangan Presiden dan Wakil Presiden serta antarcaleg di perguruan tinggi.
“Bahkan penyelenggaraan kegiatan tersebut mendapat atensi besar dari pihak pengelola kampus serta animo dari para mahasiswa,” ujar Sandy.
Menurutnya, apabila ketentuan dalam Pasal 69 huruf i UU Pilkada tetap dijalankan dalam Pilkada Serentak Tahun 2024 maka para Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya.
Sebab mereka tidak dapat lagi turut serta dalam menguji ketajaman para calon kepala daerah mengenai visi dan misi serta gagasannya secara mendalam, kritis, dan akademis di dalam perguruan tinggi.
Para Pemohon juga akan kehilangan satu cara yang paling baik dalam menentukan pilihan dalam Pilkada mendatang.
Untuk itu, Para Pemohon meminta MK untuk menyatakan Pasal 69 huruf i UU Pilkada sepanjang frasa “tempat pendidikan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “mengecualikan perguruan tinggi atau penyebutan serupa sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.”
Sumber: website MKRI
(***/jenlywenur)