Manado, BeritaManado.com — Anggota DPRD yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah harus mundur dari jabatannya.
Bukan hanya legislatif, mereka yang berstatus ASN atau TNI/Polri mesti melepas profesi lama jika memilih berkompetisi di pilkada.
Ketentuan yang mengacu pada pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015, sebenarnya bukan hal baru.
Namun aturan ini selalu menarik dibahas, apalagi menjelang kontestasi lima tahunan pada Desember 2020.
Dosen Kepemiluan FISIP Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Ferry Daud M. Liando mengakui UU ini banyak keterbatasan.
Menurut Ferry Liando, pengalaman pada pilkada sebelumnya, banyak figur kredibel enggan maju karena tidak bersedia mundur sebagai anggota DPRD, ASN atau TNI/Polri.
“Bahkan ada daerah hanya memiliki calon tunggal,” kata Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unsrat itu.
Dikatakan Ferry, pasal ini pernah disengketakan di Mahkamah Konstitusi namun ditolak.
Ferry menilai, mundur dari DPRD, ASN atau TNI/Polri sebaiknya tidak diberlakukan pada saat pencalonan, tetapi menjadi syarat untuk pelantikan.
Artinya, wajib mengundurkan diri jika terpilih.
Kalau tidak mau mundur, maka pelantikan dapat dibatalkan.
“Cara ini sesungguhnya sangat manusiawi. Sebab jika anggota DPRD ASN, TNI/Polri tak terpilih menjadi kepala daerah atau wakil, bisa kembali bertugas di institusi masing-masing,” jelas Liando.
Liando menambahkan, di Sulut ada sejumlah tokoh mengalami kerugian karena aturan ini.
Mereka adalah Vonny Paat yang tidak terpilih di Pilkada Tomohon, Bobby Daud di Manado dan Peggy Mekel di Minahasa Utara.
(Alfrits Semen)