
Manado, BeritaManado.com — Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang diterapkan pada Pemilu 2019 dan 2024 dinilai sebagai salah satu pemicu melemahnya nilai-nilai demokrasi di Indonesia.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Dr Ferry Daud Liando, saat membuka Seminar Nasional yang digagas oleh Pusat Studi Kepemiluan FISIP Unsrat pada Jumat, 14 Maret 2025, di Aula Lt 3 Gedung Dekanat.
Seminar bertajuk “Konstruksi Demokrasi Melalui Revisi UU Pemilu” ini menghadirkan Koordinator Nasional (Kornas) Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Rendy Umboh, sebagai salah satu pembicara utama.
Lanjut ditegaskan Ferry, UU Pemilu sejatinya dimaksudkan sebagai instrumen untuk tegaknya prinsip demokrasi di Indonesia.
Namun dalam pelaksanaannya, UU ini justru mengundang berbagai persoalan yang mempengaruhi kualitas demokrasi.
Dr Ferry menjelaskan bahwa baik Undang-Undang Pemilu maupun Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) masih memiliki pasal-pasal yang kurang mendukung tegaknya prinsip-prinsip demokrasi.
Salah satunya adalah masalah dalam proses kandidasi bakal calon oleh partai politik (parpol), baik pada Pemilu maupun Pilkada.
Tidak ada pasal yang secara tegas mewajibkan parpol untuk melakukan proses kaderisasi dan seleksi yang memadai dalam jangka waktu tertentu sebelum seseorang ditetapkan sebagai calon.
Padahal, kata dia, tugas utama parpol adalah mempersiapkan calon pemimpin politik jauh sebelum kontestasi pemilihan dimulai, serta menyeleksi calon terbaik dari kader-kader mereka.
Namun kenyataannya, banyak calon yang diajukan oleh parpol bukanlah kader yang telah melewati proses kaderisasi yang memadai.
“Selama ini yang terjadi kebanyakan calon yang diajukan bukan merupakan kader parpol. Kebanyakan calon ditetapkan atas hasil transaksi atau mahar jual beli surat keputusan pencalonan atau calon titipan dari pihak yang berpengaruh,” ungkap Ferry Liando.
Praktik seperti ini, menurutnya, adalah salah satu penyebab maraknya politik uang dalam proses pemilihan.
Tanpa adanya ruang bagi parpol untuk membekali calon dengan nilai-nilai moralitas politik dan kepemimpinan, suara pemilih sering kali diperoleh melalui cara yang tidak demokratis.
“Suara pemilih hanya diperoleh karena uang, hasil intimidasi atau dimobilisasi. Cara-cara seperti ini justru makin melemahkan nilai-nilai demokrasi,” pungkasnya.
Ferry pun berharap agar salah satu poin dalam revisi RUU Pemilu dan Pilkada yang saat ini sedang dibahas di DPR RI adalah memasukkan syarat bahwa calon harus telah mengikuti proses kaderisasi dan kepemimpinan di parpol dalam waktu tertentu, misalnya lima tahun sebelum proses seleksi untuk menjadi kandidat calon.
“Hal ini untuk mencegah agar parpol tidak dimanfaatkan oleh aktor-aktor yang tidak mapan dalam mengelola kekuasaan,” kata Dekan FISIP Unsrat.
Seminar Nasional ini diawali dengan pelantikan Pengurus Pusat Studi Kepemiluan FISIP Unsrat oleh Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan Dr Donald Monintja.
Kepala Pusat Studi (Kapus) Kepemiluan Periode 2023-2025 Michelle Kumaseh menyerahkan jabatannya kepada Kapus baru, yakni Ferdy Juniar yang terpilih lewat proses pemilihan para anggota.
Hadir dalam seminar Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Dr Fanley Pangemanan, Ketua Program Studi Ilmu Politik Drs Jusuf Wowor MSi, Sekretaris Jurusan Yurnie Sendow SIP MSI dan Kapus pertama Mineshia Lasawengan SIP.
(***/jenlywenur)