Manado, BeritaManado.com — Ada satu tradisi di dalam kehidupan keagamaan Khonghucu yang tergolong unik dan pantas diketahui makna dan aspek sejarahnya.
Wen Shi (Ws) Sofyan Jimmy Yosadi SH yang juga merupakan seorang Advokat dan Pengurus Pusat Dewan Pakar Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN) memberikan penjelasan dari aspek yang dimaksud.
Diungkapkan, saat ini umat Khonghucu sedang melaksanakan kewajiban ibadah kepada para leluhur, orangtua dan keluarga yang telah meninggal dunia.
Berkaitan dengan hari raya keagamaan Khonghucu yang disebut Qing Ming atau Cheng Beng, dialek Manado menyebutnya Cumbeng.
“Q?ng artinya bersih dan Míng artinya terang. Maknanya saat bersembahyang sujud syukur, suasana hati dalam keadaan terang dan bersih. Sembahyang ini biasanya dilaksanakan setiap tanggal 4-5 April setiap tahun,” jelasnya.
Tradisi tersebut ditambahkan Yosadi kini ditafsirkan dan dilakukan persembahyangan serta ziarah ke makam bisa dilaksanakan 10 hari menjelang dan atau 10 hari sesudah tanggal 4 atau 5 April.
Saat itu umumnya cuaca terang dan bersih bahkan panas terik.
Salah seorang murid Nabi Agung Kong Zi yang bernama Zeng Zi (Cing Cu) berkata “Hati-hatilah saat orang tua meninggal dunia dan janganlah lupa memperingati sekalipun telah jauh. Dengan demikian rakyat akan kembali tebal Kebajikannya”.
Ayat suci ini tersurat dalam salah satu kitab suci agama Khonghucu yakni Kitab Sì Sh? (Kitab Suci Yang Empat) khususnya dalam Kitab Lun Yu (Sabda Suci) Jilid I : 9.
Berziarah ke makam dan bersembahyang kepada leluhur, orangtua dan keluarga adalah perintah agama Khonghucu sebagai wujud laku bakti (Xiao) seorang anak terhadap orang tua atau leluhur dan keluarga, karena tanpa adanya mereka maka tidak ada kita di atas dunia ini.
“Seumpama pohon, janganlah sampai kita melupakan akarnya. Tidak ada manusia yang terlahir ke atas dunia ini tanpa melalui orangtua,” jelasnya.
Mengembangkan sikap laku bakti (Xiao) merupakan kewajiban bagi setiap manusia.
Tersurat dalam Kitab Xiao Jing (Kitab Bakti) “laku bakti itulah pokok kebajikan dan daripadanya ajaran agama akan berkembang”.
“Di antara watak-watak yang terdapat di antara langit dan bumi, sesungguhnya manusialah yang termulia. Di antara perilaku manusia tiada yang lebih besar daripada Laku bakti (Xiao). Di dalam Laku Bakti tiada yang lebih besar daripada penuh hormat dan memuliakan orangtua,” tandasnya.
Hormat memuliakan orangtua itu tiada yang lebih besar daripada selaras dan harmonis kepada Tuhan, Huang Tian.
Tentang persembahan atau sajian sembahyang untuk leluhur, Nabi K?ngz? tegas menyatakan bahwa semua sajian itu untuk menunjukkan rasa hormat dan laku bakti (Xiao), akan tetapi rasanya tidak diutamakan, yang penting ialah semangat laku bakti dan sujud hormat dengan ketulusan.
“Adakah ia mengerti bahwa roh yang meninggal itu akan menikmati (sajian)? Tuan rumah yang berkabung itu hanya terdorong oleh ketulusan dan rasa hormat di dalam hatinya”
Hal ini tersurat dalam Kitab Li Ji (Kitab Catatan Kesusilaan) II B bagian II pasal 2 ayat 8.
Begitu seseorang meninggal dunia, daging kering dan daging yang diawetkan dikeluarkan untuk sajian.
Saat akan diselenggarakan pemakaman, dikirim barang-barang untuk sajian (di kuburan).
Setelah dimakamkan disajikan makanan (untuk upacara penyemayaman itu) sebagai wujud rasa hormat dan laku bakti.
Selanjutnya Nabi Kong Zi bersabda “Orang yang mati itu tidak ikut makan, tapi dari zaman yang paling kuno sampai sekarang hal itu tidak pernah dialpakan.
Maka kecaman terhadap Kesusilaan sajian itu, sesungguhnya adalah kajian yang tidak susila.
Nabi Kong Zi bersabda, “Terhadap orang yang telah mati, apabila memperlakukannya seperti sudah mati, hal itu itu tidak berperi cinta-kasih, oleh karena itu, jangan dilakukan.
Terhadap orang yang sudah mati, apabila memperlakukannya seperti benar-benar masih hidup, hal itu tidak bijaksana, oleh karena itu, janganlah dikerjakan.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah, bahwa orang yang telah meninggal dunia itu tidak makan.
Makna Sajian yang diberikan lebih kepada menunjukkan rasa hormat dan Laku Bakti yang berkaitan dengan kesusilaan.
Sebagaimana tersurat dalam Kitab Lun Yu (Sabda Suci) Jilid II : 5 ; “Pada saat orangtua masih hidup layanilah sesuai dengan kesusilaan, pada saat meninggal dunia makamkanlah sesuai dengan kesusilaan, dan sembahyangilah sesuai dengan kesusilaan”
Ayat suci ini juga tegas menyatakan bahwa seorang umat Khonghucu saat meninggal dunia maka wajib dimakamkan, tapi karena sesuatu dan lain hal, adapula yang dikremasi.
Sebagian keluarga beralasan bahwa mereka sudah bukan lagi beragama Khonghucu dan / atau tidak lagi mempunyai kemampuan untuk merawat makam.
Disaat akhir persembahyangan maka dibakar kertas emas Jin Zhi (kim coa) maupun kertas perak Yin Zhi (gin coa) serta simbol lainnya.
Hal ini merupakan penghormatan dan jelas landasan ajaran agama Khonghucu sebagaimana tersurat dalam Kitab Li Ji (Kitab Catatan Kesusilaan) IIB.I:1.44-45 yang disebut dengan Ming Qi sebutan untuk benda-benda “tiruan” sebagai simbol untuk peralatan sembahyang Leluhur.
Adapun penggunaan simbol-simbol persembahyangan dengan tradisi Ming Qi menurut ajaran agama Khonghucu harus dilakukan secara Kesusilaan.
“Kini, dengan adanya perkembangan jaman di era media sosial, kita bisa melihat penggunaan simbol Ming Qi, banyak yang tidak lagi berlandaskan Kesusilaan,” tandasnya.
Kalau dulunya hanya membakar kertas emas Jin Zi (Kim Coa) maupun kertas perak Yin Zhi (Gin Coa) serta simbol lainnya, semakin aneh saja simbol yang digunakan misalnya dibakar replika mobil dan motor dari kertas bahkan ada yang membakar replika pesawat tempur dan tank peralatan untuk peperangan.
Jelas hal ini telah lari dari makna luhur persembahyangan Qing Ming / Cheng Beng.
Hakekat persembahyangan Q?ng Ming atau Cheng Beng adalah melakukan ziarah ke pekuburan atau makam orangtua dan Leluhur serta saudara kemudian melaksanakan persembahyangan disajikan makanan dan minuman sebagai perwujudan rasa hormat dan laku bakti Xiào.
Selayaknya persembahyangan tidak dilaksanakan di rumah terkecuali berada diluar daerah jauh dari makam atau tidak dimakamkan tapi dikremasi.
Tidak susila jika ada makam keluarga atau orangtua serta leluhur tapi melaksanakan persembahyangan di rumah dan tidak membersihkan sekaligus merawat makam tersebut.
Jika ditilik latar belakang sejarahnya maka asal muasal berziarah ke makam sudah ada sejak kisah pejabat yang bernama Jie Zhi Tui orang kepercayaan Chong Er Bangsawan dari negara Jìn pada masa Periode Musim Semi dan Musim Gugur (Chun Qiu) yakni sejaman dengan kehidupan Nabi Kong Zi.
Saat peristiwa kisah patriotik tokoh yang bernama Jie Zie Tuo terbunuh dalam hutan yang dibakar oleh Chong Er hingga diperingati sebagai hari Han Shi Jie artinya orang tidak diijinkan menggunakan api untuk memanaskan makanan, yang kemudian dijuluki Festival Makanan Dingin.
Jaman selanjutnya, saat Kaisar Tang Xuan Zong pada tahun 732 jaman Dinasti Tang (618 – 907) memerintahkan takyatnya untuk melaksanakan persembahyangan sekaligus berziarah ke makam leluhur yang disebut Festival Qing Ming / Qing Ming Jie.
Sejarah berikutnya, saat Kaisar Zhu Yuan Zhangatau Kaisar Hong Wu atau Hong Wu Di (21 Oktober 1328 – 24 Juni 1398) pendiri Dinasti Ming (1368-1644), yang berkuasa sejak tahun 1368–1398 kemudian dikisahkan mencari makam orangtuanya setelah peperangan kemudian melahirkan tradisi meletakkan kertas perak yin zhi (gin coa) diatas makam yang maknanya untuk menandai telah diadakan ziarah dan persembahyangan.
Satu tahun setelah Indonesia Merdeka, tepatnya pada tahun 1946, Pemerintah Indonesia melalui Presiden Soekarno menerbitkan Penetapan Pemerintah tentang hari raya Nomor 02/OEM-1946.
Khusus bagi kalangan Tionghoa yang mayoritas pemeluk agama Khonghucu ditetapkan empat hari raya yakni Perayaan tahun baru Imlek, Hari Lahir Nabi K?ngz? Khongcu, Qing Ming atau Cheng Beng dan Hari Wafat Nabi Kong Zi atau Khongcu.
Saat ini pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan perayaan tahun baru Imlek sebagai hari libur Nasional.
Dan untuk pertama kalinya di tahun 2023 ini, pemerintah RI melalui Kementrian Agama memberikan ucapan selamat hari raya Qing Ming / Cheng Beng bagi umat Khonghucu.
“Saya berharap, ke depannya tiga hari raya agama Khonghucu yakni Hari Lahir dan Hari Wafat Nabi Kong Zi atau Khongcu, Qing Ming / Cheng Beng, ditetapkan sebagai hari libur Fakultatif artinya libur khusus bagi pemeluk agama Khonghucu bahkan salah satunya ditetapkan sebagai hari libur Nasional,” ucap Yosadi.
(***/Frangki Wullur)