Manado, BeritaManado.com — Komisi II DPR-RI mengajukan draft Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu untuk dibahas awal 2021.
Artinya, UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu akan direvisi lagi.
Draft yang diajukan masih diwarnai oleh alternatif klasik.
Seperti parliament trsehold, presidential treshold, metode penghitungan suara menjadi kursi, besaran daerah pemilihan, dan sistim pemilu.
Poin-poin ini akan menjadi pilihan.
Terlepas dari itu, menjadi pertanyaan publik mengapa setiap kali melaksanakan pemilu harus membuat UU baru.
Apakah para pembuat UU tidak memiliki kecakapan dalam perumusannya sehingga banyak norma bermasalah? atau para penyusun UU tidak visioner sehingga tak mampu mengantisipasi segala bentuk dinamika jangka panjang.
“Mungkin pula ini dimaksudkan sebagai bentuk strategi mempertahankan empuknya kekuasaan. Revisi sesering mungkin mencurigakan penambahan pendapatan bagi DPR yang ditunjuk parpol menjadi anggota kelompok kerja,” terang Dosen Kepemiluan Universitas Sam Ratulangi, Ferry Daud Liando.
Ferry Liando mengatakan, jika belajar dari pengalaman pembuatan UU Pemilu 2017, banyak dimanfaatkan oleh penyusunnya berwisata di Eropa dan negara-negara lainnya dengan alasan studi banding.
“Pertanyaan besar atas revisi UU Pemilu 2021 ini, adakah kepentingan lebih besar bagi negara dan rakyat,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) ini.
Menurut Liando, tujuan besar pemilu yaitu terpilihnya aktor-aktor politik profesional, bermartabat dan negarawan selalu diabaikan.
Olehnya, kata dia, UU yang dibuat harus menjawab kebutuhan itu.
“Ironi, pembiayaan pilkada dan pemilu menghabiskan anggaran puluhan triliunan rupiah tapi masih banyak memproduksi aktor-aktor koruptor. Mengapa? karena aktor-aktor pembuat UU lebih sibuk memikirkan bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kekuasan melalui rekayasa UU, ketimbang memikirkan bagaimana pemilu itu melahirkan banyak negarawan,” tegasnya.
Hal krusial yang perlu dipikirkan DPR dalam pembahasan UU pemilu ialah memperkuat infrastruktur politik melalui kelembagaan parpol.
Harusnya UU Parpol tak boleh terpisah dengan UU Pemilu.
Sebab peserta Pemilu dan Pilkada adalah parpol itu sendiri.
Parpol wajib mempersiapkan calon jauh sebelum tahapan pemilihan.
Persiapan itu adalah penguatan pengetahuan, skill individu dan moral kader parpol sebagai syarat calon.
“Kemudian porses seleksi bagi kader-kader terbaik untuk diusulkan sebagai calon. Ini bisa melibatkan publik melalui uji publik. Tindakan ini selain mendorong terpilihnya kader berkualitas, maka akan mencegah membesarnya politik kekerbatan (dinasti), mencegah terjadinya mahar, mencegah pindah-pindah parpol (kutu loncat), mencegah money politic saat pemilihan dan mencegah terjadinya korupsi saat menjabat,” jelas Ferry.
Kedua, jika UU Pilkada terintegrasi dengan UU pemilu maka perlu memastikan terbentuknya stabilitas pemerintahan daerah pasca Pilkada.
Pemilihan yang dilakukan secara berpasangan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah sering menjadi benalu pemerintahan.
“Baru menjabat 6 bulan, keduanya tidak harmonis lagi. Konflik pimpinan daerah tentu tidak bagus bagi tata kelola pemerintahan,” kata Liando.
Berikutnya, tambah Ferry, UU pemilu perlu merumuskan sinergitas dan harmonisasi perencanaan pembangunan dalam setiap level pemerintahan.
Presiden, gubernur dan walikota/bupati yang diusung parpol berbeda kerap mengacaukan sistim perencanaannya.
Visi dan misi politik berbeda menyebabkan dokumen perencanaan sebagai dasar kebijakan di daerah kacau-balau.
“Apalagi walikota/bupati tidak mengaggap gubernur sebagai atasannya. Terkecuali jika walikota/bupati memiliki background parpol sama dengan gubernur,” urainya.
Ferry menegaskan lagi jika UU Pemilu tidak cukup sekadar mengatur teknis dan metode, tetapi patut menjawab tujuan besar pemilu itu sendiri.
(Alfrits Semen)