Manado, BeritaManado.com – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan COVID-19 sebagai pandemi, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang terpapar dengan jumlah kasus dan korban jiwa terus bertambah.
Di tengah situasi krisis ini, media sangat dibutuhkan untuk memberikan informasi yang akurat dan mendidik ke publik, selain juga melakukan tugas sebagai watchdog untuk mengawal penanggulangan krisis dengan baik.
Ahli Pers Sulawesi Utara Yoseph Ikanubun menjelaskan sejumlah poin terkait publikasi berita COVID-19 sesuai Protokol Keamanan Liputan & Pemberitaan COVID-19.
Ikanubun menegaskan jurnalis perlu menerapkan prinsip liputan yang bertanggungjawab, yaitu peka, berempati, dan mempertahankan akurasi.
Dalam konteks tanggungjawab, jurnalis diminta tidak mempublikasikan data pribadi pasien penderita COVID-19, menghindari penggunaan kata sifat yang bisa menambah kecemasan dalam masyarakat, misalnya: “virus yang mematikan ini” atau mengasosiasikan virus dengan warga negara tertentu yang bernada rasisme atau xenophobia, serta memicu stigma terhadap kelompok tertentu.
Selanjutnya, jurnalis perlu mengkurasi foto dengan bijak.
Jangan menggunakan foto yang justru akan mengaburkan informasi atau justru menyebarkan informasi yang salah, menghindari publikasi konten yang memicu kepanikan publik serta memberikan tambahan informasi tentang pencegahan, termasuk cara mencuci tangan berdasarkan standar WHO, mengedukasi publik bahwa pasien dapat sembuh dari virus jika mengikuti protokol atau nasihat yang diberikan oleh ahli atau otoritas setempat.
“Media sepatutnya menghindari penggunaan judul yang semata untuk menarik perhatian orang alias clickbait. Media perlu mengeksplorasi bersama timnya untuk mencari cara penyampaian yang interaktif dan informatif soal Corona. Misalnya, dengan menggunakan infografis dan jurnalisme data. Jurnalis juga sebaiknya menggunakan narasumber yang kompeten, yaitu mereka yang memiliki wewenang untuk itu atau ahli di bidang tersebut,” ujar Ikanubun.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado dua periode yang kini dipercaya sebagai Majelis Etik AJI Manado itu menambahkan, jurnalis perlu membekali diri dengan keahlian periksa fakta untuk menghindari dari publikasi berita yang sifatnya disinformasi/misinformasi, termasuk menghindari penggunaan jargon atau istilah kedokteran yang belum dimengerti umum.
“Jika harus melakukannya, sertakan penjelasannya. Jurnalis perlu melakukan verifikasi informasi secara ketat agar berita yang dihasilkannya tidak turut menyebarkan hoaks dan informasi yang keliru yang bisa menambah kebingungan dan kekacauan. Media perlu berusaha untuk tetap fokus melakukan tugas mengawal upaya penanggulangan krisis yang dilakukan pemerintah agar dampak yang ditimbulkan di masyarakat bisa diminimalkan,” ujar Ikanubun seraya meminta pekerja media, khususnya yang bertugas di lapangan tetap menjaga keselamatan diri selama bertugas.
Himbauan yang sama disampaikan ahli pers Sulut Amanda Komaling.
“Media punya tanggungjawab terhadap publik terhadap berita yang disajikan. Bukan mengambil untung dari jumlah kunjungan pengunduh, pembaca, pendengar, penonton yang pada akhirnya penerima pesan dari karya jurnalistik dibingungkan dengan materi yang disajikan,” ujar Amanda.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulut ini menegaskan seorang jurnalis yang meliput wajib menaati Kode Etik Jurnalis (KEJ).
“Sudah sangat jelas bahwa yang mengumumkan sesuai SOP (Standar Operasional Prosedur) bahwa apabila di suatu daerah terjadi kasus COVID-19 positif, yang mengumumkan adalah pemerintah pusat melalui jubir penanganan Achamd Yurianto pada jumpa pers di Jakarta sekitar pukul 16.00 WIB. Setelah diumumkan, lalu kemudian pihak RSUP dan Pemprov Sulut memberi statement kepada media yang sudah menanti kepada para pejabat untuk memberi keterangan. Lalu setelah itu diambil langkah bersama stakeholder terkait di kantor gubernur. Besoknya (Minggu, 16 Maret 2020), melalui juru bicara satgas penanganan COVID-19 Pemprov Sulut yang sudah ditunjuk oleh Gubernur, dr Steaven Dandel menyebut bahwa hasil lab kedua, negatif. Beserta dengan press realese resmi yang ditandatangani Kepala Dinas Kesehatan Pemprov Sulut. Itu harus juga dijelaskan,” tambah Amanda yang mengkritik pemberitaan yang sepenggal dan tidak utuh yang berpotensi menyebabkan kegaduhan di masyarakat.
“Ada etika dan tanggungjawab besar di dalamnya. Dosa besar bagi saya yang sudah mengetahui informasi yang sebenarnya lalu mengekploitasi materi untuk kepentingan dan keuntungan saya dan perusahan media sendiri. Memang ada fakta mengenai hasil uji laboratorium itu wajib kita buatkan, tapi jangan lupa, media juga bertanggungjawab memberi edukasi kepada publik mengenenai virus ini. Misalnya, mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk outbreak selama 2 pekan? Jelaskan disitu mengapa? Bahwa itu adalah bagian dari social responsibilty. Hal lainnya yang paling sederhana bijaklah dalam bermedsos. Tidak latah menyebar hoax dan informasi yang tidak jelas apalagi kalau tidak mengerti dan miskin informasi akurat,” tegas Amanda.
Sebelumnya, Kepala Dinas Komunikasi Informasi Persandian dan Statistik (Diskominfo) Provinsi Sulut Christiano Talumepa telah meminta media yang memberitakan info ke publik harus menggunakan bahasa-bahasa yang menyejukkan bukan meresahkan.
“Mestinya judul dan beritanya harus mendidik dan mengajak masyarakat untuk konstruktif dalam berpikir, bertindak, bukan membangun kecemasan dan kepanikan karena bahasa-bahasa yang tidak memenuhi etika jurnalis. Itu sebabnya wartawan wajib untuk mengikuti uji kompetensi wartawan,” kata Talumepa.
(Finda Muhtar)