Manado, BeritaManado.com — Penerapan Pasal 71 dalam UU Pilkada kembali menjadi polemik dalam persiapan Pilkada serentak 2024.
Pasal 71 pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terkait netralitas petahana dalam proses pemilihan, namun, alih-alih memberikan kepastian, justru pasal ini kerap menimbulkan kebingungan dan multi tafsir, terutama bagi yang lebih memahami bahasa hukum dibanding masyarakat umum.
“Pasal ini seharusnya sederhana, tapi ketika sampai di kalangan yang lebih paham bahasa hukum, justru menjadi bias, dalam artian tidak pasti, hukum hadir untuk memberikan kepastian, bukan kebingungan,” kata Pemateri Toar Palilingan dalam Rakor permasalahan Hukum pasal 71 UU Pilkada, Senin (9/9/2024) di Swiss-Belhotel Maleosan Manado.
Permasalahan utama yang muncul adalah ketika Pasal 71 diinterpretasikan secara berbeda-beda oleh pihak yang terlibat.
“Bawaslu, sebagai lembaga pengawas, seringkali memberikan rekomendasi terkait dugaan pelanggaran pasal ini, namun, tidak semua rekomendasi Bawaslu ditindaklanjuti dengan baik oleh KPU, sehingga menimbulkan ketidakpastian,” tambah Toar.
Lanjut dia, pada Pilkada serentak sebelumnya, rekomendasi Bawaslu tentang pelanggaran Pasal 71 mendapat tanggapan beragam dari jajaran KPU.
“Ada kasus di mana rekomendasi ditindaklanjuti, namun ada pula yang diabaikan, akibatnya, beberapa kasus bermuara pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sementara yang lain harus diselesaikan di sidang kode etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP),” ungkapnya.
Salah satu masalah utama yang sering dihadapi dalam penerapan Pasal 71 adalah ketidakpastian hukum yang muncul akibat kurangnya pemahaman yang mendalam tentang siklus pemerintahan.
“Rekomendasi pembatalan keputusan pejabat harus melalui kajian matang, karena dampaknya besar, jika kajian ini tidak dilakukan dengan benar, keputusan yang diambil bisa menimbulkan ketidakpastian dan merusak integritas pemilihan,” tambah Palilingan.
Sementara petahana diingatkan untuk tidak mengeluarkan program-program baru selama masa kampanye yang dapat dimanfaatkan sebagai alat politisasi.
“Meskipun secara langsung petahana mungkin tidak terlibat, sering kali ada “supporting system” di belakangnya yang memanfaatkan kegiatan sosial atau program-program lainnya untuk kepentingan politik,” katanya lagi.
Lebih lanjut, postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pun disarankan untuk dibedah guna mengidentifikasi program-program yang dilakukan, terutama jika ada indikasi penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan politik.
“Hal ini dapat menjadi dasar rekomendasi Bawaslu jika ditemukan pelanggaran dalam pelaksanaan program tersebut,” tambahnya.
Sementara itu, masalah netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) juga menjadi sorotan.
“Mobilisasi ASN tidak boleh dilakukan, netralitas mereka harus dijaga dari tahun ke tahun,” tegas Palilingan.
Di sisi lain, terkait mutasi jabatan oleh Petahana secara umum hal ini dilarang menjelang Pilkada.
Mutasi pejabat dalam waktu 6 bulan sebelum penetapan calon, hingga akhir masa jabatan, hanya diperbolehkan jika ada persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.
“Prinsipnya, semua mutasi jabatan harus melalui izin dari Mendagri, jika tidak ada izin, pemerintah daerah tidak boleh melangkahi aturan yang sudah ditetapkan, karena dapat dikenai pidana,” tambahnya.
(Jhonli Kaletuang)