Ditulis Oleh : Aditya Kirana Nusantara
Socrates pernah mengatakan pada murid-muridnya, bahwa kegiatan belajar adalah kodisi ketika kita mengingat hal-hal yang telah kita ketahui dan dilakukan pada waktu senggang, senada dengan apa yang ia lakukan dalam mendidik manusia disekelilingnya.
Jean Jacques Rousseau mengkritik kondisi pendidikan pada jamannya ketika pendidikan dilaksa-nkan secara otoritatif, dengan disiplin ketat dan nyaris mekanis, menuntut kepatuhan luar biasa dari siswa. Tujuan akhirnya, adalah penyeragaman tingkah laku dan informasi. Hal ini dengan jelas direpresentasikan dalam era modern (Pasca revolusi industri Inggris), pendidikan dimaknai sebagai proses mengisi kepala seseorang dengan muatan-muatan intelektual sebagai agenda mengisi pos-pos industrial. Dalam hal ini, pendidikan baik dasar maupun tinggi, ber-orientasi untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja, baik lokal maupun internasional, dalam bidang yang sesuai (linier) dengan disiplin ilmu si calon tenaga kerja.
Apabila kita mengkaji tema pendidikan dengan pendekatan kaum Marxis, semestinya pendidikan menghasilkan kaum yang merdeka sepenuhnya, tanpa cita-cita menjadi kelas penindas, sesudah mengenyam pendidikan dalam taraf tertentu.
Kalangan revisionis Marxis, seperti Antonio Gramsci mengatakan dengan gamblang dalam II Grido Del Popolo, bahwa tidak menjadi masalah apa yang menjadi label dari sebuah sekolah, yang terpenting adalah isi (kurikulum) yang berbasis pada kebutuhan masyarakat luas dan bersumber pada kesadaran bersifat serta merta dan langsung menyentuh kebutuhan, cita-cita, hak, dan kewajiban para peserta pendidikan.
Dalam kondisi kekinian, pen-didikan kemudian menjadi instrumen penting dalam suatu realitas kekuasaan. Pengetahuan yang lahir tidaklah bebas dari hegemoni kekuasaan suatu rezim. Dan terkadang perselingkuhan antara keduanya kerap terjadi. Kondisi pasca modern menunjukkan fakta masyarakat yang terkomputerisasi. Jean Francois Lyotard dalam bukunya “The Postmodern Condition : A Report On Knowleadge“ menyatakan gejala masyarakat barat post industrial menuju the information technology era, dimana penyebaran pengetahuan dan kekuasaan bersifat massif adalah beberapa konsekuensi dari kondisi tersebut.
Hal ini dibuktikan dengan perang hegemoni antara AS dan Uni Sovyet beberapa waktu silam, yang kemudian kita kenal dengan Cold War. Kekuatan IT sebagai penyanggah sistem militer kedua pihak, sangat krusial. Bahkan beberapa ahli menyatakan, bahwa kekuatan IT, baik AS maupun Rusia dapat mengintai seluruh dunia hanya dengan menggunakan sebuah Personal Compter.
Indonesia sendiri, yang ter-ahir sebagai bangsa plural, merupakan negara yang paling siap untuk menerima segala benturan dan kon-sekuensi postmodern. Namun, dengan catatan era teknologi informasi harus direspon dengan baik. Masyarakat Sulawesi Utara, khususnya G.S.S.J. Ratulangi dikenal sebagai seorang intelektual pribumi yang memahami konstelasi geopolitik secara komprehensif. Produksi manusia cerdas dan berdedikasi tinggi terhadap bangsa dan negaranya lahir dari pendidikan yang baik.
Tulisan ini “hanya” untuk mengingatkan kita, bahwa gerak ja-man sangat cepat, dan ketika tak diikuti dengan gerak nalar, maka jaman akan menyantap kita, terlebih dalam era globalisasi yang seperti dikatakan Anthony Giddens sebagai Jugernaut yang akan melahap apapun yang akan menghalangi jalannya.
Pada akhirnya, tak ada kepentingan apapun dalam tulisan ini, selain meningkatkan kredibiltas institusi pendidikan, khususnya Unsrat, sebagai pabrik yang menghasilkan kaum muda dengan mimpi mampu bersaing bahkan mengembangkan diri menjadi manusia Indonesia seutuhnya. (*)