Manado, BeritaManado.com – Perkembangan Agama Islam di negeri tirai bambu China terus menarik untuk dibicarakan.
Sebab, ada dua hal penting menjadi daya tarik Islam di China.
Pertama, Islam adalah agama dengan jumlah umat terbanyak kedua di dunia saat ini dengan sedikitnya 1,9 miliar penganut atau 24% dari populasi dunia (2020).
Kedua, China adalah negara dengan penduduk terbanyak di dunia dengan 1,4 miliar penduduk atau 18% dari total populasi dunia (2021).
Dari jumlah itu hanya sekitar 30 juta penduduk China yang memeluk agama Islam.
Kedua hal tersebut sebagaimana diungkapkan penulis buku Islam di China Dulu dan Kini (Penerbit Buku Kompas, 2020) Novi Basuki, yang menjadi bahasan webinar Obrolan Hati Pena #2 yang diselenggarakan Perkumpulan Penulis Satupena, Minggu (29/8/2021) kemarin.
Dikatakannya, salah satu penyebabnya adalah Revolusi Budaya era Mao Zedong yang memberangus eksistensi agama dan penganutnya termasuk Islam.
“Meski penerapan Revolusi Budaya dengan tangan besi sudah tak lagi dijalankan sekarang sejak dikeluarkannya Dokumen No. 19/1982 termasuk Pasal 36 UUD yang menjamin kebebasan beragama dan tidak beragama,” lanjut mahasiswa doktoral Sun Yat Sen University, Guangzhou, ini.
Sebab, menurut penulis 28 tahun, selama sepuluh tahun terakhir menuntut ilmu di Tiongkok ini, sejak lulus dari SMA Nurul Jadid, Probolinggo, pada 2010, dia melanjutkan S1 di Huaqiao University jurusan Bahasa dan Budaya serta S2 di Xiamen University jurusan Hubungan Internasional ini, dirinya melakukan riset terhadap naskah-naskah klasik ratusan tahun dalam bahasa Tiongkok klasik yang cukup banyak perbedaannya dengan bahasa Mandarin kontemporer.
“Saya juga tidak hanya menyinggung data-data historis tentang hubungan Cina dan Arab, melainkan juga peran Laksamana Cheng Ho yang selama ini dianggap berpengaruh besar dalam penyebaran Islam di Indonesia melalui ‘jalur Tiongkok’, untuk menyandingkan dengan ‘jalur India’ dan ‘jalur Arab/Hadramaut’ yang lebih populer,” katanya.
Tak lupa, lanjut dia, dirinya juga menyoroti latar belakang etnis Uighur yang belakangan dalam hubungan panas dingin dengan Pemerintah Tiongkok yang dimotori Partai Komunis Cina.
“Saya melihat bahwa dinamika hubungan itu bukan melulu karena faktor agama melainkan karena adanya pengaruh politik yang kuat dari etnis Uighur untuk memisahkan diri dengan China sejak era 1920-an ketika negeri itu masih dikuasai Kuomintang (Partai Nasionalis). Saya juga membandingkan perangai politik etnis Uighur dengan suku Hui, etnis mayoritas Cina muslim lainnya, yang lebih adaptif dan tak mengedepankan sisi politik dalam interaksi mereka dengan Pemerintah China,” jelas Novi.
Sementara itu, narasumber lainnya, Profesor Asvi Warman Adam, Guru Besar bidang Sejarah Sosial Politik LIPI, menanggapi dengan mengurai data terjadinya peningkatan jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar ke China dibandingkan ke Australia, Amerika Serikat dan Malaysia.
“Dengan menggunakan data disertasi Rika Theo (2018) terlihat bahwa pada tahun sebelumnya negara tujuan pertama adalah China dengan 14,7 ribu mahasiswa Indonesia, disusul oleh Australia dengan 8,8 ribu, AS dengan 8,7 ribu dan Malaysia dengan 5,7 ribu. Semakin banyaknya jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di China akan membuat penjelasan sejarah dari versi Tiongkok akan lebih kuat dibandingkan sebelumnya,” ujarnya dengan menekankan pentingnya kritisisme terhadap masalah sumber sejarah, masalah akurasi penanggalan peristiwa-peristiwa historis dan perlunya memvalidasi kisah Laksamana Cheng Ho apakah benar melakukan pengislaman di Jawa seperti banyak diyakini selama ini.
Menyambut itu, Ketua Umum Satupena Denny JA mengajku gembira terbitnya buku Novi Basuki.
“Ini merupakan kontribusi penting terhadap pemahaman arus sejarah. Seperti diungkapkan sosiolog Peter Berger bahwa sejarah adalah konstruksi sosial yang rapuh dan fleksibel. Dengan datangnya data baru yang lebih akurat dan lahirnya interpretasi yang lebih sesuai, maka persepsi kita terhadap peristiwa di masa lalu dapat berubah 1800,” aku Denny JA.
Diketahui, sejak mendapatkan mandat dari Dewan Formatur sebagai Ketua Umum Satupena menggantikan Dr. Nasir Tamara dalam Rapat Umum Anggota pada pertengahan Agustus ini, Denny JA bergerak cekatan.
Setelah pengurus inti terbentuk pada 19 Agustus, hanya dalam waktu 3 (tiga) hari sudah berjalan webiner Obrolan Hati Pena #1 dengan tema ‘Mengenang Prof. Budi Darma’ pada Minggu, 22 Agustus 2021 sebagai bagian dari penghormatan terhadap sastrawan besar yang meninggal dunia sehari sebelumnya itu.
“Kami akan mengadakan webinar rutin dengan topik bermutu dan pembicara berbobot setiap Minggu siang jam 14-16 WIB sebagai salah satu ikhtiar untuk mengedukasi publik baik melalui bedah buku seperti hari ini, penghargaan terhadap sosok besar seperti pekan lalu, atau bentuk-bentuk lain seperti talk show tentang geopolitik dan hubungan internasional, keriaan pembacaan puisi dengan melibatkan komunitas penyair di dalam kampus atau luar kampus, dan lain-lain bentuk acara yang dimungkinkan, karena menurut saya ini adalah satu satu fungsi utama yang harus dilakukan oleh sebuah organisasi penulis,” ujar peraih gelar Ph.D di bidang Comparative Politics and Business, Ohio University, AS ini.
(***/AnggawiryaMega)