Manado, BeritaManado.com – Bicara soal sampah, mungkin menjadi hal yang membosankan bagi sebagian orang.
Persoalan sampah memang telah menjadi topik yang tidak ada habis-habisnya bagi semua kalangan, hingga ajakan untuk membuang sampah terkesan hanya menjadi hal yang sudah lumrah meski tanpa tindakan.
Namun, saat dunia diperhadapkan pada situasi krisis energi, efek rumah kaca, pemanasan global dan lainnya, maka sudah saatnya manusia menaruh perhatian pada problematika ini.
Mungkin pun akan menjadi sedikit rumit dan malas dicari tahu jika urusan sampah sering dilekatkan dengan informasi yang berisi banyak angka.
Lalu bagaimana jika diambil perbandingan dengan lingkungan sekitar? Jika setiap orang bertanggung jawab pada sampah sendiri, maka hampir tidak akan terlihat sampah yang bertebaran di jalanan.
Jika sampah dikelola dengan sedikit lebih bijaksana, maka Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tidak akan menggunung yang justru akhirnya berdampak buruk pada lingkungan dan kesehatan.
Apalagi perlu dipahami, urusan sampah bukan serta-merta urusan pemerintah, namun merupakan tanggung jawab semua pihak, terutama masing-masing pribadi selaku penghasil sampah.
Bagaimana caranya? Di Sulawesi Utara telah ada beberapa perusahaan, lembaga, komunitas hingga perorangan yang memulai kampanye gaya hidup yang cinta lingkungan.
Banyak cara yang dilakukan, mulai dari membangun kesadaran diri sendiri untuk bertanggung jawab atas sampah sendiri, menggunakan media sosial untuk mengajak dan mengedukasi banyak orang, hingga membuat ekosistem dari pola bank sampah yang berkelanjutan.
Sampah yang dimaksud di sini lebih mencakup sampah yang bisa di daur ulang seperti sampah makanan, sampah plastik dan sebagainya.
Ekosistem sampah yang menghasilkan
Perusahaan yang memulai langkah sebagai startup pada 2020 ini hadir untuk menebarkan semangat mencintai lingkungan.
Baciraro Recycle bukan hanya sekedar membuka bank sampah, tapi Baciraro membangun ekosistem yang dapat memberi kontribusi dalam menjaga lingkungan, tapi juga bernilai ekonomi.
Sampah yang dihasilkan oleh rumah tangga merupakan yang terbesar di TPA, sudah mencakup keseluruhan atau belum dipilah.
Jika sampah-sampah itu dipilah dan didaur ulang, maka akan mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA.
Di bank sampah yang dikelola oleh Baciraro, masyarakat yang menyetorkan sampahnya akan mendapat timbal balik berupa rupiah, tergantung berapa banyak sampah yang dibawa.
Bagaimana caranya masyarakat bisa rupiah, yaitu sampah yang dikumpulkan, dikelola oleh Baciraro menjadi banyak hal, seperti batako dari plastik, kerajinan berupa aksesoris gelang dari tutup botol plastik, eco enzim dari sampah dapur segar seperti kulit buah dan sebagainya, hingga pupuk.
Menurut Chief Operating Officer Baciraro Clay Lalamentik, memang butuh waktu untuk bisa meyakinkan masyaraka betapa pentingnya mengolah sampah dengan benar, bukan justru dibakar atau dibuang asal-asalan.
Dari 100 orang yang diedukasi atau diberi sosialisasi, bisa saja hanya 10 orang yang mau mendengar meski belum ikut secara aktif mempraktekkan itu.
Namun, dengan terciptanya ekosistem yang berjalan dengan baik dan berkelanjutan seperti yang baciraro lakukan, ini akan mulai menggerakkan banyak orang untuk ikut serta.
Proses itu kemudian mulai menghasilkan terciptanya sejumlah bank sampah dibeberapa daerah di Sulawesi Utara yaitu di Bitung, Minahasa Utara, Manado hingga Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Babiraro juga punya 5 bank sampah di Tompaso hasil CSR dengan Pertamina.
“Di Tondano kami menjangkau sekolah-sekolah, total 17 sekolah, ada 3 di SMA, 3 di SMK, ada 6 di SMP dan ada 5 di SD,” ungkap Clay.
Baciraro pun tidak hanya meyakini jika masalah sampah adalah tanggung jawab bersama tapi juga membuktikan kontribusinya sehingga ini menjadi cara bagi baciraro untuk memberi diri membantu pemerintah dalam menangani masalah sampah.
Penerapan gaya hidup zero waste
Menerapkan gaya hidup yang meminimalisir produksi sampah juga bisa dilakukan secara pribadi.
Contoh sederhana, dimulai dari membiasakan diri untuk tidak menyia-nyiakan makanan di piring sendiri.
Jika setiap orang berpikir, makanan yang disia-siakan adalah makanan yang diharapkan oleh banyak orang yang kelaparan, maka tidak akan ada makanan yang terbuang sia-sia.
Kalaupun dengan terpaksa ada makanan yang harus tersisa seperti tulang ikan atau daging, maka bisa dimanfaatkan untuk pakan hewan seperti anjing atau kucing.
Gaya hidup seperti itu telah diterapkan oleh sebagian orang dan di Sulawesi Utara sudah mulai terlihat.
Mereka yang menerapkan gaya hidup ini terdiri dari berbagai kalangan, mulai dari jurnalis, penyelam, Aparatur Sipil Negara (ASN), pengusaha, pelajar, hingga ibu rumah tangga.
Salah satu yang menerapkan gaya hidup ini yaitu Marianne Walukow, seorang ASN di Pemerintah Kota Manado yang juga Ketua Generasi Pesona Indonesia (GenPi) Sulut.
Marianne yang akrab disapa Anne juga terlibat dalam komunitas 1000 guru sehingga dirinya telah sering bepergian ke berbagai daerah.
Dirinya juga telah menyaksikan secara langsung bagaimana sampah itu bisa memberi dampak buruk jika tidak dikelola dengan baik, yaitu bagaimana sampai mencemari lingkungan baik itu laut, hutan maupun lingkungan sekitar.
Termasuk bagaimana sesalnya melihat daerah yang kekurangan makanan sedangkan di daerah yang berkelimpahan, makanan justru banyak yang dibuang.
Anne menceritakan, hal itu jelas membuka pikirannya tentang tanggung jawab yang sering dilupakan, mengelola sampah.
Bertepatan dengan hal itu, Anne juga berdinas di Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan (Bappelitbang) Pemerintah Kota Manado dan salah satu yang dikembangkan dinasnya adalah eco enzim dan bio gas.
“Ternyata kalau kita mau mengubah gaya hidup kita jadi makin bertanggung jawab, dampak yang dihasilkan sangat baik. Pimpinan kami di kantor, Ibu Kaban Liny Tambajong menjadi contoh bagi kami, di mana beliau menanam sayuran organik di rumah dengan memanfaatkan eco enzim. Hasilnya, sayur yang dihasilkan lebih sehat dan tentu secara ekonomi jadi hemat,” jelas Anne.
Hal itu kemudian disebar ke kecamatan-kecamatan yang ada di Kota Manado dan kini sudah ada kelompok-kelompok TP-PKK yang mulai membuat sendiri eco ezim dari sampah makanan segar yang ada di rumah.
Secara tidak langsung, gaya hidup ini membuat pembakaran sampah jadi berkurang.
Hal itu pun akan berlanjut pada rasa bersalah jika makanan yang ada di piring tidak dihabiskan.
Itu sebabnya, mengambil atau memesan makanan sesuai dengan kemampuan makan sesuai yang ditubuhkan tubuh harus diterapkan.
Begitu juga dengan sampah plastik, Anne telah terbiasa membawa minum dalam tumbler demi meminimalisir sampah botol plastik.
Namun, jika memang ada botol plastik atau kemasan lainnya, dirinya akan menyimpan itu terlebih dahulu untuk dikumpulkan dan dibawa ke bank sampah.
“Dulu kita masih sering menganggap ah sudahlah, sisa makanan biar dibuang. Dulu juga soal sampah plastic, ah kan ada petugas kebersihan, ada TPA. Sekarang, hal itu diubah. Sekali lagi soal tanggung jawab. Tapi memang harus berkomitmen dan konsisten, baru kita bisa lihat hasilnya. Sekarang ada kebanggaan tersendiri karena setidaknya sudah memulai dari diri sendiri,” kata Anne.
(srisurya)