Oleh: Andre Vincent Wenas
Jakarta, BeritaManado.com — Jakarta baru saja melewati tahun 2019 dengan begitu banyak kenangan, namun apa yang terjadi di depan mata, ibukota negara tersebut justeru mengawalinya dengan banjir besar yang terjadi tepat pada tanggal 1 Januari 2020.
Tahun 2019, utamanya pertengahan tahun sejak ada yang kritis di parlemen Jakarta, hiruk-pikuk di ruang-ruang sidang maupun di luar ruang sidang seperti tidak putus-putus.
Sampai akhirnya kasus peneguran William Aditya Sarana sang whistle-blower oleh Badan Kehormatan parlemen Jakarta.
Diketahui bersama, William dan rekan-rekannya dari Fraksi PSI terus mempermasalahkan anggaran-anggaran janggal seperti Lem Aibon, Bolpen, Komputer, Formula-e damn lain sebagainya.
Sampai yang terakhir soal pengembalian sisa anggaran reses yang mengundang kontroversi sesama wakil-rakyat di DPRD maupun DPR-RI.
Rupanya banyak yang tersinggung dan gerah dengan ulah kritis anak-anak muda ini. Dinamikanya bisa diikuti di berbagai media main-stream maupun media sosial lewat gadget masing-masing.
Ketika tuduhan dari lawan politik PSI dan respon dari pihak PSI pun ada jejak digitalnya dan tidak perlu diulang lagi disini dan satu hal saja yang ingin disoroti dalam tulisan ini, yaitu soal anggaran.
Iya soal duit, fulus, money, uang, Rp. Karena dari alokasi dan praksis pengelolaan anggaran akan sangat mudah sekali kita melihat kemana arah kebe(Rp)ihakan suatu rejim penguasa!
Menjadi birokrasi pelayan masyarakat, atau jadi kleptokrasi pencoleng pajak rakyat.
Ini jadi sangat menggelitik perasaan, mengapa kalau yang dikritisi soal anggaran banyak sekali ‘tokoh-tokoh’ tertentu yang sangat baperan? Jadi over-sensitive. Apakah soal anggaran-publik ini bagi mereka adalah sesuatu yang pamali (pantang) untuk dibicarakan secara terbuka? Alergikah mereka?
Kenyataannya jadi heboh begitu pembahasan anggaran di DPRD DKI Jakarta dikritisi. Begitu diminta supaya transparan, terbuka sejak dari perencanaan, diunggah di website resmi pemda supaya bisa dibaca khalayak ramai, ada pihak yang enggan atau malah menolak. Anehnya resistensi datang dari eksekutif maupun legislatif.
Dengan argumentasinya yang kurang bisa dicerna akal sehat mereka seolah berkolusi saling menutupi. Ada kongkalikong apa ini?
Kebaperan (atau over-sensitivity) soal transparansi anggaran-publik ini ternyata bukan cuma symptom yang ada di Jakarta saja. Simtoma ini de facto ada di hampir seluruh pemda seantero Nusantara.
Simtoma adalah gejala. Simptom atau simtom (dalam penyakit) ialah pengindikasian keberadaan sesuatu penyakit atau gangguan kesehatan yang tidak diinginkan, berbentuk tanda-tanda atau ciri-ciri penyakit dan dapat dirasakan, seperti misalnya perasaan mual atau pusing.
Dengan metafora ini, begitu yang disinggung soal anggaran, langsung para oknum pejabat di eksekutif maupun legislatif mual dan pusing, dengan efek marah-marah.
Padahal jelas ada gangguan penyakit dalam, di dalam pengelolaan anggaran maksudnya.
Gangguan penyakit dalam ini perlu disorot sinar rontgen atau di MRI scan. Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging atau pencitraan resonansi magnetik ini memanfaatkan medan magnet dan energi gelombang radio untuk menampilkan gambar struktur dan organ dalam tubuh.
Itulah pentingnya transparansi, supaya segala penyakit dalam yang diderita Administrasi Pemerintahan bisa dideteksi sejak awal, dan dengan begitu dicegah atau diobati penyakitnya.
Tahun lalu ada yang mengritisi anggaran, tapi akhirnya ditegur Badan Kehormatan.
Awal tahun ini banjir besar melanda ibu kota, genangan air yang katanya sedang mengantri masuk selokan lalu ke sungai tak tertib juga antriannya.
Kementerian PUPR angkat suara, bilang bahwa program normalisasi sungai telah berhenti sejak 2 tahun lalu.
Dan ada berita lama soal pemotongan anggaran penanggulangan banjir sebesar 500 milyar rupiah yangvdipotong oleh pemda. Kok nyambung ya.
Anggaran penanggulangan banjir yang dipotong sebesar 500 M itu adalah anggaran tahun 2019.
Jadi ini adalah akibat pada tahun 2018 lalu tidak ada yang protes (mengritisi) soal pemotongan ini. Nalar sehat tentu bertanya, kenapa fraksi/partai yang duduk dewan pada tahun 2018 lalu mingkem soal ini?
Dan sekarang setelah kejadian banjir yang sampai mengorbankan begitu banyak pihak, semua pada bungkam! Lalu jurus kambing hitam pun keluar.
Dan yang paling populer adalah jurus Salawi (semua salah Jokowi)! Katanya kalau jadi presiden lebih mudah mengatasi banjir. Ini khan vangkeee! Begitu kata anak muda jaman sekarang.
Sementara dalam pembahasan APBD 2020 , ada soal balapan mobil listrik yang bakal menelan ongkos hampir 1 trilyun! Dan tidak ada yang protes, kecuali fraksi PSI.
“Hanya PSI yang Menolak Anggaran Penyelenggaraan Formula E” begitu judul berita di laman Tirto.id pada awal Desember 2019 lalu.
Hanya PSI yang menolak ada anggaran untuk Formula E. Partai lain cuma memberi catatan dan tidak menyinggungnya sama sekali.
PSI adalah satu-satunya fraksi di DPRD DKI Jakarta yang menolak keras alokasi anggaran penyelenggaraan Formula E.
Dalam pidato pemandangan umum terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD DKI 2020, di Gedung DPRD DKI, Rabu (4/12/2019), kader PSI Anthony Winza Probowo mengatakan menganggarkan uang untuk Formula E adalah bukti Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tak tahu skala prioritas.
Sekarang kita bisa semakin paham, mengapa manajemen kota (dan di banyak daerah juga) tidak tertata dengan baik, alias amburadul.
Lantaran banyak program yang baik disunat anggarannya, atau berubah bentuk (atau peruntukannya). Alias banyak siluman patgulipat di dalam ruang gelap banggar.
Maka, mulailah dengan transparasi anggaran. Ini seperti mendiagnosa sumber penyakit sampai di kedalaman jeroannya.
Andaikan semua pihak terkait terbuka hati dan pikirannya, niscaya banjir seperti yang diderita ibu kota tidak akan sekejam ibu tiri.
Tahun lalu adalah tahun yang penuh kenangan tentang hebohnya pembahasan anggaran. Tahun ini sayangnya dibuka dengan genangan air dimana-mana.
Namun jangan putus asa, tetaplah kritis, lawan terus semua vampir anggaran.
Mereka adalah para pengkhianat. Waspadalah, ada vampir yang menyamar jadi anggota koalisi padahal sejatinya mereka adalah musuh dalam selimut.
(***/Frangki Wullur)