DALAM mencapai mimpi, seseorang harus punya landasan kenapa ia harus berjuang mewujudkannya.
Dalam hal ini pun, seseorang harus mendapat dukungan minimal dari segi finansial, atau paling tidak dari seluruh rakyat Indonesia.
Tapi, itu adalah hal yang sedikit ngawur dan menggelikan.
Sejak kepergian bapak 11 tahun lalu dengan hanya meninggalkan sedih, aku hanya punya seseorang dalam hidup yang membosankan ini, mamak.
Kami harus bertahan hidup pada arena pertempuran yang mewajibkan seseorang harus melawan takdir untuk mendapat sesuatu yang lebih mengagumkan.
Waktu kepergian bapak kala itu, aku masih sangat kecil dan butuh kasih sayang, mamak menjadi seseorang yang dipaksa harus kuat, menjadi ibu sekaligus ayah.
Mencari nafkah dari berbagai tempat, mulai dari buruh tani, buruh cuci, penggarap sawah, hingga harus berjualan di pasar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi kami yang memang hanya bisa membeli beras untuk dimakan hari ini dan besoknya harus mencari lagi, selalu begitu.
Pernah dulu ada yang berkata pada mamak, bahwa aku tak perlu disekolahkan karena kami tak punya cukup uang.
Tapi mamak tak menghiraukannya, menguras tenaga untuk terus bekerja demi pendidikan anaknya yang lebih baik, karena beliau sendiri bahkan lulus SD pun tidak.
Menjadi butah huruf yang kadang membuatku jengkel.
Mamak bilang, meski hidup susah, pendidikan adalah hal yang utama, setidaknya jika tak punya uang, punya pengetahuan sebagai landasan hidup, itu adalah sesuatu yang mahal sekali harganya.
Ya, meski tanpa dukungan finansial dan keluarga, tapi mamak mampu mengantarkan anaknya sampai pada titik ini, hebat sekali.
Saat aku mulai masuk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP), kami tak punya rumah—sampai kini pun masih tetap sama—dan aku harus dititipkan di rumah saudara.
Mamak pergi merantau ke kabupaten seberang, mencari hidup yang lebih baik berharap ada belas kasih dari tuhan.
Usahanya berhasil, membeli rumah yang mirip kandang kambing, yang ketika hujan bocor dan malam dingin.
Sebagai anak yang baru merasakan masa-masa pubertas, aku kesal sekali dengan kehidupan kami yang tak lagi bisa dikatakan miskin, semuanya serba terbatas, bahkan pernah waktu itu kami tak lagi punya beras dan harus tidur dengan perut yang lapar.
Dan saat tengah malam, mamak keluar mencari singkong kemudian ia membakarnya dan diberikan kepadaku, meski ia sendiri lapar, tapi mengutamakan anaknya yang durhaka dan keras kepala ini.
Kemudian saat aku mulai masuk Sekolah Menengah Atas (SMA), kehidupan berkali lipat menjadi lebih sulit, rumah kami yang tadinya mirip kandang kambing, mulai berdiri miring condong ke barat.
Aku kadang malu ketika ada teman yang datang ke rumah tanpa sepengetahuanku, mengutuk diri dan menyalahkan mamak kenapa tidak seperti orang tua yang lainnya, yang memberi anak-anak mereka kehidupan layak.
Kadang aku menemani mamak menjadi buruh cuci di rumah orang, ataupun menggarap sawah milik tetangga.
Tak jarang ada teman-teman yang tak sengaja lewat dan melihatku tengah menggosok daki orang lain bersama orang tua rentah ini, rasa kesalku semakin bertambah.
Bagiku waktu itu, hidup sangat tidak adil bagi orang-orang yang berkantong tipis.
Hingga ketika aku lulus sekolah MA, mamak menyuruhku tak lagi melanjutkan pendidikan karena beliau tak lagi mampu.
Kata-kata itu kutolak mentah-mentah dengan durhakanya, aku ingin tetap melanjutkan pendidikan, memaksa mamak yang rambutnya semakin memutih, dan kulitnya yang makin hitam legam, untuk bekerja agar aku bisa mewujudkan ambisi ini.
Sebagai orang tua, mamak tak bisa menolak tawaran itu, ia terpaksa mengiyakan, bekerja lebih keras, bahkan harus mengurangi porsi makannya untuk mengumpulkan rupiah agar aku, putrinya yang durhaka ini bisa bergelar sarjana.
Tak jarang aku melihat beliau berjalan tanpa alas kaki di bebatuan tajam, jikapun memakai sandal, pasti sebelah kiri dan kanannya berbeda, atau keduanya sama tapi bolong di tumitnya.
Saat usiaku mulai beranjak dewasa dan pendidikanku semaki tinggi, aku menyadari satu hal yang harusnya sudah disadari sejak dulu, perempuan tua rentah yang buta huruf itu telah membantuku dalam meraih mimpi.
Mengetahui bahwa dunia tak sesederhana yang terlihat, bahwa alam tak selalu mendiskriminasi orang-orang berkantong tipis, kuncinya hanya satu, rasa syukur, mau berusha, serta tak mau menyerah begitu saja pada takdir.
Suatu hari, aku tengah duduk di bawah pohon rambutan dekat rumah yang tak pernah berbuah, bersama mamak selepas hujan.
Saat itu mamak masih memakai baju dinas petaninya, aku memperhatikan lamat-lamat seorang perempuan bertubuh kurus dan pendek di depanku itu.
Gurat wajahnya semakin terlihat jelas sebagai tanda perjuangan, beliau tak pernah tebang pilih pekerjaan, pantang mengeluh, selagi halal dan bisa menghasilkan rupiah selalu diembatnya.
Hanya demi seorang anak keras kepala yang berambisi untuk mengubah hidup melalui jalur pendidikan.
Padahal kalau beliau mau, bisa menikah lagi dan hidup lebih baik.
Tapi itu tak dilakukan, hanya terus menyiksa diri, banting tulang demi kehidupan anaknya yang lebih baik.
Aku banyak belajar dari beliau.
Tentang kesabaran, kegigihan, dan kerja keras, serta cinta yang tak pernah menemui dasarnya.
Aku kasihan sekali melihat mamak ketika berjalan kaki puluhan kilometer dengan memakai sandal jepit dan menenteng tas andalannya yang talinya hampir putus, hanya untuk mengirimiku jajan.
Padahal kalau ia mau, bisa naik ojek dengan jarak yang sebegitu jauh, tapi sekali lagi, bagi beliau uang yang ia gunakan untuk menyewa kendaraan, bisa aku gunakan untuk makan di perantauan.
Ia menjadi sangat pelit meski bagi diri sendiri.
Kupikir hidup di gubuk reot atau kandang kambing tak lagi jadi masalah, bahkan jika harus makan singkong gosong tengah malam, sepertinya itu adalah sesuatu yang menyenangkan.
Lagipula, hidup ini hanya senda gurau, tak perlu diseriusi.
Sekali lagi rasa syukur adalah kuncinya, menyadari bahwa aset terpenting dari hidup adalah nikmat kesehatan dan pelukan hangat dari mamak.
Tak masalah menjadi lebih daripada miskin, orang bilang itu adalah rahmat yang tidak Tuhan titipkan kepada sembarang orang.
Mamak memang bukan orang yang bergelar sarjana atau magister, seperti orang tua teman-temanku, bukan orang yang punya kedudukan tinggi pada tataran sosial.
Beliau hanya seorang perempuan hebat yang menghidupi anaknya dengan berbagai cara.
Terima kasih sudah jadi kuat dan tahan banting.
Orang sepertimu hanya ada satu di muka bumi ini, jika ada dua pasti kubunuh yang satunya.
Kini, engkau dan para ibu-ibu di luar sana pantas dikaruniai gelar pahlawan nasional, karena setiap orang-orang hebat, tentunya lahir dari perempuan yang hebat pula.
Kini, aku tak perlu menjadi hebat kecuali untuk perempuan yang semakin hari semakin keriput dan rabun karena menghidupiku yang durhaka ini.
Mamak, selamat Hari Pahlawan, kupikir, tak perlu mencari pahlawan di buku-buku sejarah, atau di monument-monumen nasional, pahlawan sebenarnya ada di rumah, ia sedang memasak untukmu.
Oleh: Alin Pangalima
Diterbitkan wartawan BeritaManado.com (Nofriandi Van Gobel)
Perlu diketahui, Alin Pangalima adalah salah satu mahasiswa di IAIN Sultan Amai Gorontalo.
Ia lahir di Desa Ollot Induk, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara, pada 30 November 2000 dari pasangan Ishak Pangalima (Alm) dan Halima Pangalima.
Perempuan milenial ini telah menerbitkan dua maha karya, berupa novel.
Karya tersebut adalah Novel dengan judul Seribu Lima Ratus Dua Puluh Sembilan dan Novel sejarah dengan judul Memori KPMIBU.