Manado, BeritaManado.com — Sejalan dengan topik North Sulawesi Investment Forum, Deputi Bank Indonesia Dody Budi Waluyo pun menyoroti isu mengenai Sustainable Finance.
Hal itu disampaikannya saat membawakan sambutan dalam pelaksanaan kegiatan Capacity Building G20 disinergikan bersama penyelenggaraan North Sulawesi Investment Forum (NSIF) dan Road to Pleno ISEI 2022, pada Senin (15/8/2022) di ballroom GKIC Manado, Sulawesi Utara (Sulut).
Sustainable Finance merupakan isu yang pembahasannya terus menghangat dari waktu ke waktu, tidak hanya karena targetnya yang oleh sebagian negara anggota G20 dianggap cukup ambisius, tetapi juga urgensi untuk melaksanakan komitmen dalam pengendalian kerusakan iklim karena adanya kemungkinan dampak yang lebih parah kepada kehidupan sosial dan perekonomian bila tidak segera ditangani lebih lanjut.
“Bagi banyak negara, terutama yang bergantung pada energi berbasis fosil seperti halnya Indonesia, kita memahami betul bahwa tindakan mitigasi perubahan iklim bukanlah langkah yang mudah, karena ketergantungan kita yang tinggi kepada sumber energi dan ekspor komoditas mineral,” kata Dody.
Meski demikian, ke depan tuntutan global atas penerapan standar ekonomi hijau dan keuangan berlanjutan akan semakin tinggi dan bagi negara yang tidak sejalan dengan prinsip tersebut akan terekspos beberapa tantangan baru.
Sebagai contoh tambahan pajak karbon untuk produk ekspor dan pengenaan biaya modal yang lebih mahal bagi entitas industri yang tinggi karbon.
Di sisi lain, perubahan iklim juga membawa risiko tersendiri secara makro bagi perekonomian.
Kenaikan emisi karbon telah mendorong kenaikan suhu bumi sehingga menyebabkan perubahan iklim yang berpotensi mengganggu stabilitas moneter dan sistem keuangan.
Posisi geografis Indonesia dengan kepulauan yang terletak di “ring of fire”, mengakibatkan Indonesia terekspos risiko perubahan iklim yang lebih tinggi jika dibandingkan banyak negara lain.
Saat ini, biaya akibat cuaca ekstrim di Indonesia telah mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun.
Biaya ini diprediksi akan terus tumbuh secara eksponensial akibat semakin ekstrimnya cuaca dimasa depan.
“Apabila kita tidak melakukan tambahan aksi mitigasi, biaya akibat cuaca ekstrim pada 2050 diprediksi dapat mencapai 40 persen dari PDB,” ucap Dody.
Guna mengantisipasi berbagai tantangan dan pemasalahan tersebut, para pemangku kepentingan perlu mengidentifikasi lebih lanjut potensi investasi hijau untuk sektor-sektor ekonomi yang potensial di daerah, serta sektor eksisting lainnya untuk bertransisi menuju ekonomi hijau.
Dalam hal ini otoritas dan pelaku pasar keuangan telah mengembangkan berbagai pendekatan dan alat untuk mengidentifikasi, memverifikasi, dan menyelaraskan investasi berkelanjutan yang berorientasi pada proyek-proyek hijau untuk dipedomani, baik itu dalam bentuk taksonomi keuangan hijau, maupun kalkulator jejak karbon nasional.
“Bank Indonesia dalam hal ini telah aktif melakukan inisiatif hijau sejak sepuluh tahun yang lalu,” ucap Dody.
Inisiatif ini dilakukan Bank Indonesia dengan bekerjasama dengan berbagai pihak di dalam negeri khususnya Kementerian dan Otoritas seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), OJK, hingga beberapa forum keuangan hijau di luar negeri seperti Network for Greening Financial System (NGFS).
Pada inisiatif kebijakan, Bank Indonesia telah menerbitkan kebijakan Green LTV bagi properti dan kendaraan berwawasan lingkungan.
Sementara itu, pada sisi internal BI melakukan inisiatif seperti pengalokasian investasi berkelanjutan dalam bentuk penempatan portofolio cadangan devisa hijau.
Ke depan, Bank Indonesia akan melanjutkan penguatan kebijakan keuangan hijau yang salah satunya ditujukan untuk memitigasi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan.
Penguatan-penguatan yang akan dilakukan antara lain melalui kebijakan makroprudensial, pendalaman pasar keuangan, pengembangan ekonomi dan keuangan inklusif, hingga transformasi kelembagaan Bank Indonesia yang keseluruhannya memperhatikan lingkungan.
Adapun dalam penguatan dan implementasinya, Bank Indonesia akan terus bersinergi dan melakukan koordinasi erat dengan KSSK, Kementerian/Lembaga, dan stakeholders terkait.
Dalam diskusi yang berkembang di forum G20, para negara anggota bersepakat, transisi peralihan penggunaan sumberdaya keuangan yang lebih sustainable perlu memperhatikan implementasinya secara global yang orderly, just and affordable.
Presidensi Indonesia dalam hal ini memiliki peran strategis dalam memperkuat peta jalan, lanskap kebijakan, dan rencana mitigasi dampak sosial untuk transisi iklim yang adil dan terjangkau.
Inisiatif-inisiatif tersebut kemudian akan dikembangkan lebih lanjut menjadi suatu platform koordinasi dan kerjasama yang dapat membantu pemerintah untuk menyukseskan pembiayaan dan pencapaian transisi energi dengan memanfaatkan sumber pendanaan publik dan swasta serta instrumen kebijakan multilateral dan nasional lainnya.
Dody pun memberikan appresiasi yang tinggi kepada Gubernur Sulawesi Utara dan seluruh jajaran pemerintah provinsi atas inisiatifnya menyelenggarakan North Sulawesi Investment Forum yang dirangkaikan dengan diskusi isu utama G20 berkaitan dengan aspek sustainable finance dan green investment.
“Semoga topik ini secara tidak langsung mewakili optimisme dari pemerintah setempat untuk mendorong peningkatan potensi ekonomi lokal melalui pengembangan sumber pertumbuhan baru yang lebih berkelanjutan di masa depan,” pungkas Dody.
Turut hadir dalam kegiatan tersebut, Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo, Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM RI Nurul Ichwan, SE MM, Ketua DPRD Sulut, dr Fransiscus Andi Silangen SpB KBD, Pj. Sekdaprov Sulut Dr. Praseno Hadi SE., MM, Kepala Perwakilan BI Provinsi Sulut Arbonas Hutabarat, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Franky Manumpil dan para undangan lainnya.
(srisurya)