Manado, BeritaManado.com – Johannes Juman Budiman, mulai terjun di dunia advokat sejak 1982.
Sempat bekerja sebagai honorer di Kantor Gubernur Sulut, Budiman kemudian memutuskan kuliah di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado.
Singkat cerita, saat menjadi Sarjana Muda Hukum, Budiman mendapatkan kasus pertama.
Ia ingat betul, itu soal perkara perdata di Kota Bitung.
Kala itu, kata Budiman, ia satu tim dengan Ronny Maramis yang kini menjabat Wakil Rektor 2 Unsrat.
Hebatnya, di kasus perdana ini, Budiman dan tim menang mulai dari Pengadilan Negeri, Banding, Kasasi hingga Peninjauan Kembali (PK).
“Benar-benar berkesan, karena menang sampai tingkat PK,” kisah Budiman kepada BeritaManado.com, Senin (6/6/2022).
Keinginan menjadi pengacara sebenarnya sudah menjadi cita-cita sejak SMA.
Budiman terpanggil karena melihat lingkungan sekitar dan keberadaan masyarakat yang membutuhkan pendampingan hukum.
Menurutnya, pengacara adalah tugas mulia dan hanya orang-orang pilihan bisa menjalaninya.
Saking cinta terhadap profesi ini, Budiman yang dikenal bersaja ini, tidak pernah menyeberang ke pekerjaan lain.
Ia komitmen membantu masyarakat apa adanya, bukan karena ada apanya.
“Tujuannya murni membantu, tidak mengutamakan ini dan itu. Kalau klien tidak mampu, tak mungkin kita paksakan,” bebernya.
Dikenal cerdas dan gesit, Budiman pernah menjadi lawyer kepercayaan Mayor Jenderal TNI Empi Johan Kanter.
Siapa yang tak kenal dengan Jenderal Kanter di masanya.
Budiman menjadi teman sekaligus bagian tim dari Jenderal Kanter.
Banyak pengalamam berharga yang diperoleh Budiman dari seorang Johan Kanter.
Salah satunya soal ketelitian dan disiplin.
Begitu pula dengan profesionalitas seorang Johan Kanter yang tidak memanfaatkan kapasitasnya di militer.
“Jadi kalau ada surat salah satu huruf saja, pak Kanter suruh buat ulang. Beliau teliti sekali, dan itu terbawa dalam diri saya sampai sekarang,” beber Budiman.
Kurun waktu 1991-2005, Budiman kemudian diajak menjadi lawyer dan bergabung bersama tim Sinyo Harry Sarundajang (SHS).
Ia pun sangat dekat dengan mantan Gubernur Sulut dua periode tersebut.
Menurut Budiman, SHS pernah menawarkannya menjadi anggota legislatif.
Tetapi, karena kecintaan dan komitmen terhadap profesi pengacara, Budiman menolak halus tawaran itu.
“Kalau mau kaya raya sudah dari dulu. Banyak klien papan atas, tawaran menggiurkan hingga kesempatan emas. Tapi kita juga harus punya prinsip,” tegasnya.
Budiman percaya rejeki sudah menjadi urusan Tuhan.
Sehingga ia tidak mematok besaran biaya kepada klien.
Semua mengalir dengan tujuan murni untuk membela.
Budiman memiliki moto ‘hidup adalah perjuangan’.
Dan untuk mencapai sesuatu, membutuhkan proses bukan instan.
“Boleh bermimpi, tapi harus sadar dengan keadaan,” tuturnya.
Sebagai lawyer senior, Budiman pun memberikan wejangan khusus kepada para pengacara muda, dan para mahasiswa yang berencana terjun ke pekerjaan ini.
Budiman berpesan agar bertanggung jawab penuh terhadap suatu perkara.
Sebab tugas pengacara adalah menyelesaikan perkara bukan bina perkara, apalagi memaksakan perkara tersebut.
Puluhan tahun berkecimpung di lingkungan advokat, Budiman sering menemukan kasus yang dipaksakan, padahal bukti sangat lemah.
Mirisnya, ada pengacara menjadikan itu pekerjaan transit dan langsung meninggalkan kasus jika ada peluang lain.
Contoh kasus kekinian adalah gugatan tanah di PTUN Manado yang dimenangkannya.
“Sejak awal buktinya tidak kuat, tapi dipaksakan. Akhirnya selama proses sidang penggugat dan pengacaranya tidak pernah hadir dan membuktikan. Model seperti inikan kurang etis,” terangnya.
Sarannya kepada rekan seprofesi, lebih baik menolak perkara jika memang tidak memiliki bukti kuat.
Sebab jika dipaksakan atau hanya ingin coba-coba mencari peruntungan, itu sangat jauh dari tugas seorang pengacara.
“Selain mengganggu kenyamanan orang lain (tergugat), juga mencoreng nama baik dari profesi ini,” tandasnya.
(Alfrits Semen)