Jakarta, BeritaManado.com — Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, memberikan sejumlah masukan penting kepada Komisi III DPR terkait pembahasan Sistem Peradilan Pidana.
Masukan tersebut disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar pada Kamis, 7 November 2024, di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Salah satu agenda utama dalam RDPU ini adalah pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang tengah diajukan oleh Komisi III DPR.
Erasmus mengemukakan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam revisi KUHAP, dengan tujuan agar sistem peradilan di Indonesia dapat memberikan rasa keadilan yang lebih menyeluruh bagi seluruh pemangku kepentingan.
Ia menekankan pentingnya memastikan kehadiran negara dalam sistem peradilan pidana, serta memberikan rekomendasi untuk mengubah beberapa ketentuan dalam undang-undang yang ada.
“Salah satu hal yang penting adalah memastikan kehadiran negara dalam sistem peradilan kita. Diskusi juga dilakukan terkait KUHP, KUHAP, serta beberapa perubahan lain, di antaranya KUHP mungkin yang paling membekas karena kita bekerja sama,” ujar Erasmus dalam forum tersebut.
Erasmus juga menyoroti perlunya memberikan perlindungan hukum kepada profesi pengacara dalam memberikan pendampingan hukum.
Sebab itu, dia mengapresiasi dimasukkannya perlindungan terhadap pengacara dalam revisi KUHP yang baru, di mana salah satu pasal baru yang dimasukkan terkait dengan pidana rekayasa kasus, yang sebelumnya tidak ada.
Ia juga menyoroti dimasukkannya pasal mengenai kekerasan seksual dalam revisi KUHP yang baru sebagai upaya untuk memperkuat perlindungan terhadap korban.
“Bagaimana mendorong organisasi advokat yang lebih baik, berhasil KUHP memasukkan satu pasal pidana rekayasa kasus yang sebelumnya tidak ada. Advokat dilindungi, kekerasan seksual juga dimasukkan,” katanya.
Di sisi lain, Program Manager ICJR, Adhigama Andre Budiman, menambahkan masukan terkait perlunya revisi pada Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Adhigama mengungkapkan bahwa undang-undang ini belum dievaluasi sejak disahkan pada 2007, sehingga sudah saatnya ada perubahan agar lebih relevan dengan perkembangan kasus dan bentuk-bentuk eksploitasi yang semakin kompleks.
“Salah satu poin revisi yang kami soroti adalah perlu adanya perhatian terhadap berbagai bentuk eksploitasi, misalnya eksploitasi seksual yang perlu diselaraskan dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, serta penyelundupan manusia yang perlu diselaraskan dengan Undang-Undang Keimigrasian,” ujar Adhigama.
Ia juga menyoroti ketidakhadiran aturan yang secara eksplisit mengkriminalisasi praktik kerja paksa di Indonesia, yang bisa menggunakan rujukan pada konvensi ILO.
Selain itu, Adhigama juga menyoroti masalah penting dalam kasus TPPO terkait persetujuan anak, di mana pelaku masih dapat terbebas dari jerat hukum jika dianggap memperoleh persetujuan dari anak atau orang tua anak.
“Masalah ini perlu mendapat perhatian serius karena dalam proses persidangan saat ini, pelaku yang sebenarnya sudah memenuhi unsur-unsur perdagangan orang, namun bisa dibebaskan dari hukum dengan alasan adanya persetujuan dari anak tersebut,” tambahnya.
Masukan dan rekomendasi yang disampaikan ICJR dalam RDPU ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan yang serius bagi Komisi III DPR dalam merumuskan kebijakan yang lebih baik terkait sistem peradilan pidana di Indonesia.
Terutama dalam upaya memberikan rasa keadilan yang setara bagi seluruh pihak yang terlibat dalam sistem peradilan.
(jenlywenur)