Bitung, BeritaManado.com – Andre dengan suara bergetar menahan emosi membacakan pembelaan dirinya atas sangkaan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dari mantan istrinya, Landy, Rabu (08/09/2021).
Sidang itu adalah sidang yang kesekian digelar di Pengadilan Negeri Kota Bitung dimpimpin Hakim Ketua, Djainuddin Karanggusi SH MH perkara tindak pidana Nomor: 175/Pid.Sus/2021/PN. Bit dengan agenda pembacaan pembelaan.
Dalam pembelaannya, Andre mengaku menyayangkan tuntutan JPU dua tahun penjara atas kasus KDRT yang disangkakan mantan istrinya, Landy yang menurutnya hanya sebuah skenario dan penuh rekayasa.
Buktinya, kata dia, setelah diteliti surat perintah Penyidikan Nomor: Sp.Sidik/40/V/2020/Reskrim/Sek-Maesa, tanggal 29 Mei 2020, tanpa ada panggilan dan pemeriksaan kepada dirinya, tiba-tiba perkara ini sudah ditingkatkan pada penyidikan.
Dan saksi korban yakni Landy baru dimintai keterangannya pada tanggal 01 Juni 2020, berurutan waktu diperiksa sejumlah saksi-saki sejak tanggal 02 sampai dengan 03 Juni 2020.
“Dan perlu untuk diketahui, oleh Yang Mulia Hakim, bahwa sejak tanggal 27 Februari 2020 saksi korban telah menggugat cerai, dan hubungan pernikahan putus karena cerai pada tanggal 7 Juli 2020, selanjutnya berkekuatan hukum tetap pada tanggal 21 Juli 2020, dan akta cerai terbit 23 Juli 2020,” kata Andre.
Artinya, kata diaa, sekalipun sudah putus cerai, bukannya pihak kepolisian melakukan upaya restorative justice mengingat kemanfaatan perkara ini untuk keutuhan rumah tangga yang tidak mungkin lagi bisa diutuhkan dengan bergulirnya perkara.
“Akan tetapi, saya justru ditetapkan tersangka dan perkara langsung dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kota Bitung pada September 2020,” katanya.
Dirinya juga menyampaikan soal kejadian dugaan KDRT yang disangkakan kepadanya terjadi pada tanggal 18 Februari 2020 karena sudah berminggu-minggu tidak berjumpa dengan anaknya.
“Di tambah lagi, ketika saya cek ke guru sekolahnya, ternyata anak saya tidak sekolah berhari-hari. Sementara saya tahu kalau mantan isteri saya keluar dari rumah bersama seorang perempuan yang diakui sebagai “pengasuh anak” membawa anak saya,” katanya.
Kuasa Hukum Andre, Michael Jacobus kepada sejumlah Wartawan menyampaikan sejumlan alat bukti yang dijadikan dasar untuk menyidangkan kliennya serta menjatuhkan tuntutan hukuman oleh JPU terbantahkan dalam selama sidang.
Dan yang paling ironi kata dia, salah satu alat bukti, yakni Visum Et Repertum yang digunakan untuk menjerat kliennya dalam fakta persidangan menurut keterangan ahli terdapat kejanggalan.
“Pertam, Visum Et Repertum dibuat tidak sesuai dengan sistematika penulisan Visum Et Repertum yang sebenarnya. Kedua, bahwa terdapat kesalahan dalam penulisan identitas korban berupa nama serta umur, dan yang paling parahnya lagi antara luka-luka yang ditemukan dengan kesimpulan yang dibuat ternyata terdapat ketidak sesuaian antara penyebab maupun akibat luka,” kata Michael.
Didalam diagnosa kata dia, disebutkan luka gores, memar, bengkak yang disebabkan oleh rudu paksa benda tajam. Sementara luka gores menurut ahli adalah luka yang disebabkan oleh perbuatan yang tidak disengaja.
“Dan luka gores biasanya disebabkan oleh pergesekan antara tubuh korban dan benda yang permukaannya tidak rata. Dan tidak mungkin ada memar dan bengkak yang disebabkan oleh benda tajam,” katanya.
Ia juga menambahkan, dalam perkara ini, alat bukti Visum Et Repertum yang diajukan oleh JPU sejatinya belum memiliki kekuatan hukum sempurna, karena telah terbantahkan secara jelas dan tegas oleh ahli yang diajukan oleh terdakwa.
“Dan yang paling menyolok, tidak masuk akal di tahun 2020 ini, penulisan dalam Visum Et Repertum masih menggunakan mesin ketik,” katanya.
Dirinyapun berharap majelis hakim menyatakan menolak dakwaan dan/atau tuntutan dari JPU secara keseluruhan serta menyatakan bahwa terdakwa Andre tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sesuai pasal 5 huruf (A) sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
“Dasarnya, karena tidak terpenuhinya kualifikasi minimal dua alat bukti dalam persidangan, apalagi tidak terdapat persesuaian yang akurat untuk mengkonstruksikan adanya perbuatan kekerasan fisik dalam ruang lingkup rumah tangga yang dilakukan terdakwa, maka sudah selayaknya unsur melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam ruang lingkup rumah tangga, sebagaimana disebutkan sebagai unsur pokok dalam Pasal 44 ayat (1) UU KDRT dinyatakan oleh Yang Mulia Hakim tidak terpenuhi,” katanya.
(abinenobm)