“Yang paling mengesalkan dari ulah para pejabat dan anteknya adalah cara mereka memanipulasi antara hak publik dan hak privat”(Henry David Thoreau, 1817-1862).
Seperti ditulis Eric Weiner(59) dalam “The Socrates Expressed”(2020), satu-satunya aktivis publik yang paling gemar datang ke hutan adalah Henry David Thoreau.
Ia datang kesana, selain melihat alam dari dekat, ia kesal dengan perilaku para pejabat publik yang paling suka berbohong dan memanipulasi data-data dan angka-angka yang dikenali di ruang-ruang publik seperti pasar dan kantor pemerintah.
Hal itu tak berbeda dengan kedangkalan dan kedunguan yang dimiliki pejabat di pasar, broker, asosiasi-asosiasi publik dan para pedagang yang sering jadi korban dan sapi perah serta sepenuhnya hidup dengan hikmat: berjualan itu ibadah. Dan para pedagang asongan itu bukan seperti bandit yang biadab.
Para pelaku pembangkangan sipil (civil disobidience) yang berhasil disulut sebagai gerakan oleh Thoreau sama persis yang dilakukan oleh protes petani di Banten pada 1881 dan protes pedagang batik Solo atas kericuhan broker batik oleh pedagang Cina di zaman gerakan Sarikat Islam(SI) pada 1912 dan melebar dari Solo ke Surabaya.
Karena itu, sosiolog para penjahat di ruang publik seperti pasar-pasar tradisional selalu akan ricuh oleh hal-hal seperti beda angka kumpulan pedagang asongan, gerombolan riteler dan broker bahkan pejabat publik seperti PD Pasar manapun.
Cara-cara mereka, menurut Eric Hobsbawm(1917-2012), akhirnya meletupkan para bandit yang dengan gampang merasuah aset-aset publik seperti lapak, distribusi air, sembako dan lain-lain secara semena-mena. Padahal semua tahu, di era industri digital cara-cara manual(baca: manipulasi) lebih mudah dihitung dengan sistem algoritme dan bigdata(Daviddowitz, Everybody Lies,2017).
Antara para bandit, broker, para asosiasi yang mengatasnamakan publik — entah siapa yang memilih mereka kecuali sejenis perilaku aji mumpung — dan para pejabat ikut bermain untuk memanipulasi demi keuntungan mereka dengan cara pialang bajiman profit di pasar uang.
Para bandit adalah keniscayaan dalam sejarah pasar yang diatur dengan regulasi tumpang tindih antara kongkalikong pejabat, broker dan bandit. Karena itu, Hobsbawm dan Thoreau mengingatkan: “kejahatan publik yang dihasilkan oleh pejabat dan broker puguh dan dungu, siap-siap menghadapi perlawanan sipil yang lebih berbahaya dari sekedar sekeping lapak, lahan dan uang receh retribusi.”
Dan 600 pedagang yang terlantar jika data ini benar — menurut saya mungkin jauh lebih besar jika diakumulasi dengan yang “liar” — berpotensi menjadi bom waktu dan kutukan publik atas pesekutuan iblis keuntungan antara mereka(bandit, broker dan pejabat) riskan untuk dikalkulasi dengan akal politik manual belaka.
Ingat saja di tahun 2005, 6000 pedang dan sebagian mati mendadak dan sebagian besar lainnya pulang ke kampung halaman mengakibatkan Walikotanya(JRR) tergusur dari kursi atas kasus tuduhan dan dugaan korupsi yang tak sepenuhnya dia lakukan.
Boleh jadi, ketidaktahuannya atas kebijakan publik dan bisik-bisik orang dekatnya yang berwatak bandit mengakibatkan walikota yang populer itu terseret hingga ke bui.
“Ojo dumeh,” kata pepatah Jawa sebagai peringatan pada para pejabat yang merasa jumawa.
Penulis: Reiner Emyot Ointoe (REO)
*) REO, fiksiwan yang memulai karirnya di bidang penulisan di media-media lokal hingga nasional. Telah melahirkan lebih dari dua puluh buku mengenai kebudayaan, sastra, sejarah dan profil tokoh.
Baca juga tulisan Reiner Ointoe lainnya:
- DIRGAHAYU MANADO (1830), “Manado is one of the prettiest in the East”
- Catatan REO: Ihwal Kematian
- 75 Tahun SARUNDAJANG: Persona, Pesona dan Sasmita