Konon, pada 1430 Pastor Montanus sudah mengkristenkan warga kota hampir 50 orang ketika itu dipimpin oleh Raja Lumentut dari Pakowa.
400 tahun kemudian, dengan menumpang kapal fregat Pollux, dikawal Letda Knorllle, Kapten Bosman dan Nakoda Kapten Eeg, Pangeran Diponegoro, istrinya Raden Ayu Ratnaningsih, adik dan iparnya, Raden Ayu Dwipoyono, Tumenggung Dwipoyonobersama 19 rombongannya mendarat di pelabuhan Manado dan dijemput Residen Manado, Daniel Francois Pietermaat.
Selanjutnya, ia diinapkan di kantor residen Fort Nieuw Amsterdam (kini, Gedung Juang) sebagai tahanan Gubernur Jendral Batavia, Johannes van den Bosch selama tiga tahun sebelum diungsikan lagi ke Fort Rotterdam Makasar (kini, Somba Opu).
Tak penting berapa umur kota Manado
Tapi, sejarah yang ditorehkan kota ini memiliki kaitan dengan sejarah peradaban dunia Eropa (Portugis, Spanyol, Jerman, Belanda), Tiongkok, Arab hingga Jepang.
Bukti-bukti ini, selain artefak dan mentifak, mudah ditunjukkan oleh bahasa sebagai lingua franca.
Kadera, lemari, gereja, mesjid, sombar, fugado, pastiu, sebe, ajus, mi, biapong, capcae, fuyunghae, incepia, flas, kapista, pardidu, goyawas, goros, pai, koncudu, cawayo, fadul, harbata, harara hingga figura dan kuncitaong, kata-kata serapan yang digunakan ketika itu.
Kota Manado dijuluki kota terindah di timur (the prettiest in the East) oleh naturalis asal Inggris, Alfred Russel Wallace (1823-1913) ketika tiba di Manado pada 10 Juni 1855 seperti yang tercatat di bukunya “The Malay Archipelago” (Chapter 17: Sulawesi. Manado. June to September 1859).
“The little town of Manado is one of the prettiest in the East”
Alfred Russel Wallace (1823-1913)
(Baca juga: Chronology of Wallace’s travels in the Malay Archipelago)
Dengan kata lain, Manado adalah sebuah domain (coastal area) yang sangat memikat para pelancong dari pelbagai belahan dunia.
Tak heran, asal-usul toponimnya pun memiliki banyak varian: Manarou (Minahasa), Maadon (Mongondow), Manada (Spanyol), Mandado (Spanyol), Manadou (Bantik).
Dewan tukang beking jalan
Di antara artefak yang paling fenomenal, selain gedung residen Fort Nieuw Amsterdam (sudah runtuh) dan Benteng Portugis (kini, gedung Pertamina), gedung parlemen pertama di timur Indonesia: Minahasa Raad (kini, museum dan eks-gedung Angkatan Laut – Jales Veva Jajamahe).
Gedung parlemen ini dibentuk oleh Residen Manado F.H.W.J.R. Longeman pads 1919 atas perintah Gubernur Jendral Mr. J.P. Graaf van Limburg Stirum di Batavia.
Sebagai daerah otonom Minahasa dari 16 distrik, tugas anggota dewan Minasarat adalah membuat jalan, jembatan dan transmigrasi.
Kelak Minasarat lebih diartikan sebagai dewan “tukang beking jalan.”
Barangkali sejarah Minasarat ini yang membubuhkan Manado sebagai salah satu ‘pakasaan’ Minahasa, meski kewalakan yang ada hanya terdapat di Tasikela (kini, wilayah meliputi Maumbi, Mapanget sampai Tikala atau sepanjang pesisir sungai Tondano).
Juga di Tasikela ada ‘Watu Sumanti'(Batu Parang) yang digunakan oleh komunitas alifuru.
Tercatat walak-walak di situ di antaranya, Opatija, Matheos, Rumondor, Sigar, Maramis, Dondokambey, Lasut, Runturambi, Karinda, Tikoalu, Rondonuwu.
Dirgahayu Manado !
Legasi historismu kaya dan ragam, meski penghunimu tak perduli dengan itu.
Padahal, keindahanmu sudah dilantunkan lewat lirik lagu “Micoma” dan “O Inani Keke”:
“Mangale-ngale/raipa sinapa…. Weane-weane toyo…..Minange waki Wenang tumeles baleko.”
CaRis (Catatan Ringkas) oleh:
Reiner Emyot Ointoe (REO)
*) REO, fiksiwan yang memulai karirnya di bidang penulisan di media-media lokal hingga nasional. Telah melahirkan lebih dari dua puluh buku mengenai kebudayaan, sastra, sejarah dan profil tokoh.
Baca juga tulisan Reiner Ointoe lainnya: