“Old age is like everything else. To make a success of it, you’ve got to start young”(Theodore Roosevelt, 1858-1919, 26th. U.S President).
“Pulanglah mereka ke negerinya melalui jalan lain” (Matius 2:12).
Pagi sekitar pukul 10.00 Wita hari ini (22/12/22), jika tak ada halangan saya sebagai muslim diminta untuk memberi perspektif sains iman bagi pemeluk kristiani di gereja GMIM Musafir Kleak, khusus kalangan lansia (lanjut usia).
Untuk memeriahkan Natal Kristus 2022 ini, jemaat Kelompok Pelayanan Lansia Wilayah Manado Barat — atas prakarsa teman-teman dekat Kristiani, Herry AR Talot , Roosje Kalangi New dan Magdalena Molenaar serta Jantje Mandey dan Ronny Tuna — meminta saya berkhotbah pra ibadah di perayaan Natal Kristus tersebut.
Salut saya atas undangan tersebut. Selain cara mengolah iman sosial dengan suasana tak biasa, bagi saya Natal Kristus itu hanya salah satu jalan — jika bukan “via dolorosa”, ada via contemplativa maupun purgativa — sebagai ekspresi beriman seseorang apapun agamanya.
Sebagai seorang otodidak dalam Kristiologi, apa yang bisa dihikmati dalam undangan tak lazim ini, tak lain bahwa iman itu suatu ekspresi yang dikemukakan Uskup Anselmus dari Canterbury(1033-1109) dengan “credo ut intelligam.” Iman itu kerja otak dan hati. Bukan semata doktrin didesakkan melalui firman belaka. Bahkan pada abad-10, Santo Agustus menyebut dalam biografi imannya: Confession(Pengakuan).
Jika iman tanpa fondasi akal(intelligam) maupun hati(fides), dalam banyak hal akan diasuh melalui karakter ‘menumpuk(hoarding) dan non produktif. Lebih ekstrim lagi, itu disebut Erich Fromm(1900-1980) sebagai karakter nekrofilia. Karakter yang dibesut oleh cintanya pada daya hayat kebendaan dan menumpulkan empati. Karakter non produktif dan juga dengan mental menumpuk(hoarding) begitu menyesak untuk dihayati seperti ditulis Fromm dalam “Man for Himself”(1947). Dan keadaan itu, hampir pada tiap Natal akan terus tumbuh dalam jubah Mamon dan nyaris mengabaikan tragedi Lazarus.
Karena itu, respon dan permohonan atas perspektif iman apapun, ekspresi dari hidup kita selama ini telah didesak dan dipukau oleh karakter nekrofillia(karakter merusak). Akibatnya, karakter biofilia(kasih) lebih gampang ditekan dan kurang diindahkan. Karakter biofilia merupakan suatu karakter yang terhubung secara interkoneksi atau relasi kejiwaan insani yang tersembunyi dan potensial. Capra menyebutnya sebagai ‘hidden interconnection.’ Hubungan ini pun yang mampu membuat para lansia bisa lebih produktif dalam memperpanjang “biologi iman”(Bruce Lipton,78, biolog) dibanding merasa terancam di balik bio-fisik yang kian menyusut dan rapuh.
Para ahli dan sainstis telah banyak meneliti bahwa hidden interconnection itu bentuk lain dari adanya daya hidup(vitalisme) dalam bentuk ‘matrix divine'(Braden) dan ‘biology of belief'(Lipton). Ataupun, sering diistilahkan sebagai wawasan dunia(Weltanschauung or Worldview) maupun kaidah TOE(Theory Of Everything) dari Ken Wilbur.
Apakah sesungguhnya istilah-istilah dalam fisika, biologi dan ilmu alam lainnya itu? Tak lain untuk menyatakan dengan sesuatu yang misteri, gaib dan terselubung berlaku seluruh umat manusia saling keterhubungan dan dependensi(ketergantungan) dalam satu tali semesta yang memiliki harmoni, balance dan dipelihara dalam katub besar biofilia.
Biofilia ini, terutama bagi lansia, yang telah mendorong kita semua sebagai satu keluarga antropo-kosmos yang menanti sesuatu yang diubah melalui istilah pesimisme Freud sebagai “ilusi masa depan” ke optimisme iliahiah ke “harapan masa depan.”
Untuk itu, Rumi(1207-1273), sufistik asal Konga(Turki) menulis dalam “Fihi Ma Fihi” bahwa “Jesus was lost in his love for God” and “every one of us is a living Christ for the nation.” Lebih dari itu, Prof. Erkan Turkmen asal universitas Turki menulis perspektif Rumi dalam sejumlah karya ihwal Jesus dalam pandangan spiritual tasawuf di buku “Rumi & Christ”(2011). Sebuah buku kecil ihwal Jesus dari seorang sufi Islam besar abad-13(Rumi) yang saya beli di sebuah toko buku di kompleks alun-alun Tarhim.
Harapan masa depan bersama dalam ikatan biofilia semesta yang didasarkan oleh bekerjanya ‘biologi iman’ tiap orang dalam berbagai daya, derajat dan tingkatan bahkan pencapaiannya masing-masing.
Untuk mencapai itu, salah satu sikap dalam radar sosial, menurut Daniel Goleman, sebagai “kecerdasan emosional” adalah bagaimana mengaktifkan suasana empati dalam kondisi dan kemaruk manapun.
Secara sederhana, empati selalu dapat diaktifkan jika kita bisa menghormati dan mengadabi siapapun, dibenci atau disenangi, agar tak larut dalam kelaraan dan dukacita yang menimpa mereka.
Kiranya, ini sedikit catatan saya bahwa usia itu bukan ditentukan oleh biofisik, tapi biopsykis yang jauh lebih mudah diolah. Karena dengan memahami biofisik Kristus yang hanya berusia 30 tahun, Injil akan menjadi panduan yang sangat manusia.
Selamat bernatal. Lansia maupun bukan, iman dan rohani itu akan terus muda dan kekal.
Penulis: Reiner Emyot Ointoe (REO)
*) REO, fiksiwan yang memulai karirnya di bidang penulisan di media-media lokal hingga nasional. Telah melahirkan lebih dari dua puluh buku mengenai kebudayaan, sastra, sejarah dan profil tokoh.
Baca juga tulisan Reiner Ointoe lainnya:
- DIRGAHAYU MANADO (1830), “Manado is one of the prettiest in the East”
- Catatan REO: Ihwal Kematian
- 75 Tahun SARUNDAJANG: Persona, Pesona dan Sasmita
- Catatan REO: BANDIT, BROKER & PEJABAT