Munculnya nama Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) menimbulkan polemik berbagai pihak.
Dewan Penasehat Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herlambang P. Wiratraman mengatakan tidak terkejut dengan penempatan Ketua Dewan Pengarah BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional).
Pendapatnya ini merujuk pada pernyataan Megawati sebagai Ketua Umum DPP PDIP pada Perayaan HUT ke-46 PDIP di Kemayoran Jakarta pada 10 Januari 2019 yang antara lain mengatakan bahwa pengembangan lembaga riset yang otonom adalah untuk membumikan Pancasila.
Herlambang selanjutnya mengatakan bahwa penunjukan Ketua Dewan Pengarah BPIP menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN bertentangan dengan prinsip-prinsip kebebasan akademik karena potensinya otoritas kekuasaan akan banyak campur. Lembaga Riset semestinya untuk memperkuat dan mengutamakan sains.
Ia menilai tujuan membumikan Pancasila lewat lembaga riset justru menyerupai tindakan pemerintah Orde Baru.
Reaksi lain datang juga dari Anggota DPR Komisi VII Mulyanto Fraksi PKS yang mengatakan tidak ada dasar hukum yang bisa melegalkan opsi Ketua Dewan Pengarah BPIP Megawati Soekarnoputri menduduki jabatan Ketua Dewan Pengarah BRIN. Lanjut dijelaskan UU No.11 tahun 2011 tentang Sistim Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi(SISNAS IPTEK) juga tidak memberikan legalitas Ketua Dewan Pengarah BPIP otomatis menjabat Ketua Dewan Pengarah BRIN.
Dalam pasal 5 huruf (a) Undang-undang Sisnas Iptek, sendiri berbunyi “menjadi landasan dalam perencanaan pembangunan national disegala bidang kehidupan yang berpedoman pada haluan ideologi Pancasila.”
Lanjut dikatakan pasal 5 huruf (a) tersebut bersifat normatif sebagai dasar filosofis pembuatan regulasi yang harus senantiasa bersandar pada Pancasila. Tidak ada kalimat dalam UU tersebut yang menyatakan Kepala BPIP boleh menjadi Dewan Pengarah BRIN.
Mulyanto juga menegaskan bahwa membuat jabatan Dewan Pengarah BRIN juga tidak tepat dari segi rasionalitas.
Valerie Pattyn dan Gilles Pittors melalui tulisannya yang berjudul “Who are the Political Parties Ideas Factories?” Menjelaskan bahwa lembaga penelitian penting untuk memberi saran dan kebijakan. Pattyn dan Pittors menjelaskan lembaga penelitian di negara seperti Amerika Serikat, Kanada dan Jepang terbebas dari ideologi dan kepentingan politik tertentu sehingga mempengaruhi kualitas analisa dan produk itu sendiri.
Pendapat-pendapat tersebut diatas kemudian diluruskan oleh Kepala BRIN yang baru dilantik yaitu Laksana Tri Handoko.
Laksana menjelaskan bahwa BRIN akan memiliki Dewan Pengarah. Ketua Dewan Pengarah BRIN akan dijabat oleh Ketua Dewan Pengarah BPIP sebagai ex-officio. Yang menjabat Ketua Dewan Pengarah BPIP sekarang adalah Megawati Soekarnoputri. Jadi otomatis Ketua Dewan Pengarah BRIN adalah ex-officio Ketua Dewan Pengarah BPIP. Perpres tidak mengatur nama.
Jadi yang diatur bukan orangnya, tapi ex-officio jabatan. Jadi nanti siapapun yang menjadi Dewan Pengarah BPIP akan menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN.
Lanjut Laksana menjelaskan mengapa Ketua Dewan Pengarah BRIN dirangkap oleh Ketua Dewan Pengarah BPIP. Menurut laksana, secara filosofis, Indonesia berlandaskan ideologi Pancasila. Namun saat ini ada paradigm bahwa Indonesia juga harus dikelola berbasis Ilmu Pengetahuan. Fungsi pengelolaan Negara berbasis ilmu pengetahuan inilah yang diemban oleh BRIN.
Namun saat ini ada badan yang ditugaskan menjaga agar pengelolaan bangsa tidak melebar dari Pancasila adalah BPIP. Sehingga, lanjut Laksana, wajar jika Ketua Dewan Pengarah BRIN diemban oleh Ketua Dewan Pengarah BPIP.
5 masalah Riset di Indonesia
Menyangkut Riset di Indonesia memang memiliki masaalah yang pelik sehingga tidak memiliki andil yang signifikan dalam mendukung dan memberi warna pada pencapaian pembangunan nasional. Pada thn 2017, Dir.Jen. Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristek dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Dimyati mengatakan bahwa ada 5 masalah Riset di Indonesia, yaitu:
- SDM serta sarana dan prasarana yang minim.
Sebagai contoh, di Indonesia, 1 juta penduduk hanya memiliki 171 Peneliti dibandingkan dengan Korea Selatan 8000 Peneliti; - Management Riset.
Apa yang dilakukan penelitian kerapkali tidak sejalan dengan kemauan industri, sehingga hasilnya tidak bisa ditangkap oleh industri. Hasil penelitian belum ada link and match; - Terkait kelembagaan.
Terjadi tumpang tindih pada banyak Lembaga Penelitian dan tidak terkoordinasi terhadap riset yang dilakukan; - Anggaran riset yang masih berada diangka 0,25% dari PDB (Produk Domestik Bruto), dibandingkan dengan Korsel diatas 4%, Jepang diatas 3%, Singapura dan Malaysia diatas 2%;
- Produktivitas penelitian di Indonesia belum maksimal.
Dari kelima masalah tersebut, penulis ingin menyorot butir 2 yaitu Management Riset.
Sinyalemen yang menyatakan bahwa penelitian tidak sejalan dengan kemauan industri memang fakta dan sudah terjadi sejak Orde Baru. Untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sesuai Amanat Konstitusi, maka peran industri sangat vital dan menentukan.
Karena perannya yang sangat vital dan menentukan tersebut, maka industri harus dibangun dan dikembangkan secara kokoh dan kuat sehingga memberi andil yang besar bagi terwujudnya program pembangunan nasional.
Untuk itu industri harus didorong kemampuannya untuk menghasilkan produk barang dan atau jasa yang mampu bersaing dengan dunia luar baik segi kualitas maupun harganya. Sekaligus mampu bertahan/tegak/survive jika terjadi krisis. Untuk mewujudkan Industri seperti ini, maka peran penelitian sangat penting dan mendasar.
Jika ini terwujud, maka Kemandirian Bangsa yang diamanatkan oleh Presiden RI Pertama Ir. Soekarno akan terwujud dan akan berkembang menjadi bangsa yang kokoh, kuat, disegani, dihormati dan diperhitungkan bangsa lain.
Dalam kenyataan ini tidak terjadi.
Industri/produk yang menguasai hajat hidup orang banyakpun tidak berkembang. Seperti beras, gula, garam, dll.
Fakta kita harus impor, sedang potensi dalam negeri begitu besar. Produk-produk dari teknologi maju mayoritas kita impor. Jika kita siapkan suatu dana penelitian untuk membangun teknologi yang mengolah air laut menjadi garam dengan kualitas terbaik, maka kita akan menjadi eksportir garam yang handal.
Demikian pula dengan beras. Kita bisa kembangkan penelitian untuk hasilkan bibit-bibit unggul padi(seperti yang dihasilkan BATAN dengan teknologi nuklir) dengan produksi yang berlipat ganda, sehingga bisa mengurangi impor malah kita bisa ekspor.
Demikian pula dengan industri maju lainnya seperti produk kapal laut, pesawat terbang, mobil, senjata, energi, dll.
Jika ada sinergi antara industri dan dunia penelitian, Indonesia mampu melakukannya.
Mengapa ini terjadi?
Sudah jadi rahasia umum karena ada konspirasi orang dalam dan luar (popular saat ini disebut MAFIA) untuk membuat Indonesia terus bergantung pada produk luar negeri, karena ada keuntungan besar yang diraih mereka.
Contoh konkrit yang sedang hangat-hangatnya terjadi perdebatan di masyarakat tentang VAKSIN NUSANTARA dan Teknologi Cuci Otak kreasi dari Dokter Terawan.
Prestasi yang dicapai ini yang dirasakan masyarakat yang menjadi kebanggaan bangsa, seharusnya didukung Pemerintah dengan memberi biaya penelitian untuk pengembangannya sehingga vaksin tersebut bisa diproduksi massal untuk kepentingan rakyat serta di ekspor.
Demikian pula penderita untuk berobat cuci otak dari luar negeri akan banyak masuk ke Indonesia yang semuanya berdampak pada masuknya devisa. Namun ini dihambat dan dihebohkan karena ada pihak-pihak yang tidak nyaman dan takut kehilangan keuntungan tanpa peduli dengan penderitaan rakyat.
Bertolak dari hal-hal tersebut diatas, maka jabatan Ketua Dewan Pengarah BPIP ex-officio menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN yang dijabat oleh Megawati Soekarnoputri bagi Penulis adalah tepat karena kebutuhan riel saat ini.
Peran Presiden Jokowi untuk mewujudkan pertumbuhan Industri Yang kuat dan kokoh dalam menunjang pembangunan nasional menuju Kemandirian Bangsa, maka sosok Megawati sebagai tokoh bangsa dan tokoh politik yang memiliki pengaruh luas horizontal dan vertikal, sangat dibutuhkan karena tantangan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut diatas (para Mafia) sangat berat dimana melibatkan berbagi pihak yakni oligarki oknum penguasa dan pengusaha, birokrat, politisi, cendekiawan, penegak hukum, dll.
Peran Megawati antara lain adalah mengarahkan agar dana-dana penelitian di tahun-tahun yang akan datang meningkat, pembangunan SDM peneliti meningkat, laboratorium dan peralatan teknologi penelitiannya dibaharui dan diganti yang canggih, penelitian harus bersinergi dengan dunia industri (baik barang maupun jasa), koordinasi dari berbagai lembaga berjalan sinergis, dukungan politik terjamin, yang semuanya terarah untuk terwujudnya kemandirian bangsa yang rakyatnya hidup adil yang berkemakmuran dan makmur yang berkeadilan dalam bingkai NKRI berlandaskan Pancasila.
Penulis:
Markus Wauran
Wakil Ketua Dewan Pendiri HIMNI.
(rds)
Baca juga:
- Catatan Markus Wauran: Tantangan Olly – Steven Setelah Menang Mutlak pada Pilkada 9 Desember 2020
- Catatan Markus Wauran: Mengapa Memilih Olly Dondokambey – Steven Kandouw?
- Catatan Markus Wauran: Alm. Freddy Sualang Dimata Markus Wauran