Manado, BeritaManado.com — Penggunaan KTP tanpa diketahui pemilik sebagai dokumen pendukung bagi calon perseorangan, belum bisa dikategorikan sebagai tindak pidana pemalsuan.
Demikian disampaikan Pengamat Hukum, Toar Palilingan, menanggapi pengakuan peserta webinar Justitia Societas yang mengatakan wilayahnya pernah didatangi tim verifikasi dukungan calon perseorangan.
Menurut Toar Palilingan, praktik tersebut sangat sulit disebut pemalsuan apalagi jika KTP yang digunakan adalah asli, meski tanpa sepengetahuan yang punya.
“Bisa saja tim dari calon independen ini mau gampang dan mengambil data KTP warga dari sumber tertentu. Ini lebih tepatnya penyalahgunaan data,” terang Toar kepada BeritaManado.com, Selasa (7/7/2020).
Toar menjelaskan, Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 pada Pasal 185 A menegaskan setiap orang yang dengan sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon perseorangan sebagaimana diatur dalam UU ini, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan dan denda paling sedikit Rp36.000.000dan paling banyak Rp72.000.000.
“Untuk memenuhi unsur pemalsuan ini sangat sulit. Karena copyan KTP berasal dari KTP asli,” jelasnya.
Toar mengatakan, sangat jarang kasus seperti ini bisa berujung pidana, bahkan ia belum pernah mendengar kejadian serupa di Indonesia berakhir dengan kurungan penjara.
“Paling mentok dukungan hanya digugurkan KPU, dan disuruh melengkapi lagi. Karena sulit memenuhi unsur pemalsuan tadi,” tegas Toar.
Berbeda kata Toar, jika dokumen KTP sengaja dibuat dengan mengarang data NIK, nama dan biodata kependudukan sebagai cara instan memperbanyak dukungan.
Atau tim calon independen membuat surat pernyataan dukungan fiktif yang dibubuhi dengan materai sebagai pendukung copyan KTP.
Praktik seperti ini kata Toar, mungkin berpeluang memenuhi unsur sengaja dalam kategori pemalsuan.
“Kalau yang terjadi seperti itu, penyidik di Gakumdu akan mendalami, apakah diteruskan ke ranah pidana atau tidak,” ujarnya.
Toar menambahkan, saat ini ada berbagai hambatan dalam proses klarifikasi.
Apalagi Manado masih kategori zona merah pandemi COVID-19.
“Namun proses ini bisa melalui daring baik lewat video call atau fasilitas lainnya. Di sisi lain, bisa saja masyarakat enggan menjadi saksi di tengah wabah seperti sekarang. Padahal batas proses penegakkan hukum di internal bawaslu hanya 3 hari plus 2 hari guna melengkapi berkas pemeriksaan,” tandasnya.
Sekadar diketahui, pada diskusi pilkada yang digelar Sabtu pekan kemarin, seorang peserta menuturkan banyak KTP warga digunakan mendukung calon independent.
Padahal kata peserta ini, warga setempat merasa tidak pernah memberikan restu.
(Alfrits Semen)