Manado – Tindakan brutal kembali diperagakan anggota Sabhara Polda Sulut.
Jika pada Desember 2017 lalu, 5 anak di bawah umur menjadi korban penganiayaan puluhan Sabhara, kejadian serupa juga dialami Angga Kurnia Palantung, warga Jaga 2, Desa Koha Induk, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa.
Memiriskan, korban Angga berusia 21 tahun, diduga dianiaya sekitar 7 anggota Sabhara Polda Sulut disebabkan masalah sepele. Korban sempat terlibat perkelahian dengan saudaranya tapi sudah diselesaikan secara damai di rumah hukum tua justru “diculik” kemudian dianiaya di pantai dekat SPBU Malalayang.
Kejadian penganiayaan pada Minggu, 30 September 2018 dinihari, sekitar pukul 02.00 Wita.
Terkait kasus tersebut, Kabid Humas Polda Sulut, Kombes Pol. Ibrahim Tompo yang dikonfirmasi BeritaManado.com melalui telepon selular yang biasa dihubungi sejak kemarin hingga Jumat (23/11/2018) hari ini, belum mengangkat telepon.
Kepada BeritaManado.com, di rumah kopi K.8 Sario, Senin (19/11/2018) malam, korban Angga didampingi Steni Palantung, ayah korban, menceritakan kronologi kejadian.
Sabtu, 29 September 2018, sekitar pukul 22.00 Wita, korban sedang duduk makan di rumah sambil membuka dan membaca FB.
Korban Angga terpancing dengan komentar dari Luis Rori di FB yang notabene masih saudara korban. Keduanya terlibat perang komentar hingga berujung Luis mengundang berkelahi.
Usai makan, korban menuju ke rumah saudaranya di tengah kampung sambil duduk menonton anak-anak main playstation. Korban dan Luis masih terlibat perdebatan komentar di FB.
Tak lama kemudian, sekitar pukul 23.00 Wita, Luis datang menemui korban dalam kondisi mabuk, mendorong korban sambil menyuruh korban memukul lebih dahulu. Adu mulut tak terhindarkan.
Terlanjur emosi akhirnya keduanya terlibat perkelahian namun segera dilerai warga dan perangkat desa, kemudian di suruh pulang ke rumah masing-masing.
Tapi korban tidak langsung pulang namun mampir di rumah temannya untuk berbincang-bincang.
Sekitar pukul 1.00 Wita, Minggu (30/9/2018) dinihari, ketika sudah berada di rumah sambil menonton televisi, korban Angga didatangi beberapa polisi Sabhara (yang dikenali dari pakaian dan sepeda motor yang digunakan) di antar seorang warga.
Korban ke luar rumah sambil menanyakan maksud kedatangan mereka (polisi). Namun polisi Sabhara itu langsung memaksa naik motor bermerek Yamaha Vision.
Di dalam rumah ada nenek dan saudara laki-laki korban, sementara ayah korban tidak berada di rumah.
Ternyata, korban di bawa ke rumah hukum tua Desa Koha Barat bernama Anton Sulu. Di situ terlihat banyak polisi Sabhara.
Namun secara tiba tiba dari arah belakang korban ditampar berulang kali oleh Andre Sulu, anak dari hukum tua yang juga anggota kepolisian.
Korban Angga sempat terjatuh akibat tamparan keras kena telinga dan mengalami pusing, tapi korban masih sempat bertanya kepada Andre Sulu kenapa memukulnya?
“Dia menjawab: ngana mo lia tamo bage pa ngana sini (kamu mau lihat saya pukul kamu disini),” ujar Angga sambil disuruh berjongkok oleh Andre yang tidak mengenakan pakaian dinas.
Setelah sekitar 2 menit di suruh berjongkok, hukum tua Anton Sulu keluar dari dalam rumah dan menyuruh korban dan Luis Rori masuk selanjutnya menegur dan memberikan arahan dan binaan agar tidak melakukan perkelahian lagi.
Sementara hukum tua bercerita pada korban Luis Rori, anggota polisi yang berada di luar masuk dan mendengar pembicaraan.
Hukum tua Anton Sulu menanyakan kepada keduanya: kong mo bagimana ngoni dua ini (mau bagaimana kalian berdua ini), sambil dijawab: mo damai jo hukum tua (mau damai saja hukum tua). Ujar keduanya disertai pembuatan surat pernyataan.
Selanjutnya, beberapa anggota Sabhara ke luar rumah menyisakan satu anggota polisi di dalam rumah yang kebetulan tinggal di desa tersebut.
Setelah menulis dan menandatangani surat pernyataan, korban dan Luis Rori di suruh pulang oleh hukum tua.
Ketika korban Angga akan pulang menumpangi sepeda motor temannya, tiba-tiba Andre Sulu, anak hukum tua yang juga anggota polisi menyuruh korban naik motor seorang polisi.
Korban berpikiran positif dan menghargai permintaan itu, korban berpindah motor kemudian naik di motor polisi dengan harapan akan diantar pulang ke rumahnya sesuai perintah hukum tua.
Ketika sepeda motor yang dikemudikan polisi tinggal beberapa meter dari rumah, korban meminta berhenti sambil berkata: komdan brenti di muka lorong jo tape rumah kwa disitu (komban berhenti di muka lorong saja rumah saya di situ).
Polisi memelankan laju sepeda motor, namun dari arah belakang korban mendengar teriakan seorang polisi: trus jo (jalan terus saja). Polisi yang mengendarai sontak tancap gas menambah kecepatan sepeda motor.
Merasa ganjil dengan tindakan memacu sepeda motor, korban bertanya kepada polisi yang berkendara: komdan mo bawa kamana kita (komdan mau bawa kemana saya).
Polisi tersebut hanya menjawab: sudah iko jo (sudah ikut saja). Korban semakin gelisah karena tidak tahu maksud dari 7 anggota polisi Sabhara itu.
Ternyata sepeda motor berhenti di tepi pantai Malalayang tidak jauh dari SPBU yang sudah berjarak sekitar 10 km dari rumah korban. Korban memperkirakan ketika itu sekitar pukul 2.00 Wita, Minggu dinihari.
Polisi di sepeda motor di belakang korban bertanya: ngana Polsek apa, Pineleng atau Malalayang? Dijawab korban: saya tidak tahu komdan karena baru kali ini berurusan dengan polisi.
Selanjutnya, para polisi menyuruh korban turun di pantai ke pemecah ombak.
Tak disangka, korban disuruh merayap disertai penganiayaan berat di sekujur tubuh korban. Ditampar di kepala, kemudian ditendang di bagian belakang dan dada dekat jantung.
Lebih sadis lagi, korban di suruh berguling di pinggiran pantai lalu 1 orang anggota polisi ikut dengan korban kemudian menampar dan memukul korban.
Setelah itu polisi menyuruh korban berenang namun korban mengatakan bahwa dia tidak tahu berenang. Namun seorang polisi mengatakan: sudah pi ba colo di aer sana jo ngana capat (pergi menyebur di air sana kamu cepat).
Korban langsung menyeburkan diri ke air tapi tiba tiba bagian belakang badan korban merasa perih sekali karena tertusuk bulu-bulu babi. Sontak, korban berteriak: komdan bulu bulu babi! (komdan ada bulu bulu babi). Bulu bulu babi adalah sejenis bulu tapi beracun yang jika mengenai tubuh manusia akan terasa sakit luar biasa.
Namun seorang polisi hanya mengatakan kepada korban: putar bale ngana babi (kamu berdusta sambil menyebutkan hewan babi).
Tidak puas dengan tindakan biadab mereka, para polisi itu menyuruh korban naik di batu pemecah ombak. Kembali memukul dan menyuruh korban berjalan menggunakan lutut setelah berada di bagian tengah pemecah ombak. Korban merasa tersiksa dan merasakan sakit luar biasa.
Kemudian korban disuruh duduk, seorang polisi memberikan rokok tapi ditolak korban sambil berkata: komdan so brenti ba roko kita so tiga bulan (komdan sudah berhenti merokok saya sudah tiga bulan).
Tapi, seorang polisi terus memaksa sambil berkata: ambe jo capat (ambil cepat). Namun korban kembali mengatakan: adoh kasiang komdan so nda ba roko kita. Tiba-tiba dari arah belakang korban kembali dipukul hingga terjatuh sambil korban berkata: adoh kasiang komdan (aduh kasihan saya komdan).
Korban kembali di suruh duduk. Polisi melihat di bagian belakang badan korban tertanam bulu bulu babi tetap beringas memukul-mukul bagian belakang badan korban yang tertanam bulu bulu babi menggunakan batu. Kata polisi menurut korban, untuk mengeluarkan bisa atau racun dari bulu bulu babi.
Tak sampai di situ, seorang polisi menyuruh korban buang air kecil namun korban menolak karena tidak mau buang air kecil namun diancam harus buang air kecil sambil seorang polisi berkata: ngana mo lia tong mo se takincing sini pa ngana (kamu mau lihat kami akan membuat kamu terkencing di sini).
Sadis!!!
Menurut korban, seorang polisi yang kencing di botol air mineral lalu menyiramkan air kencing nya di belakang badan korban sambil berkata bahwa air kencing itu untuk menghilangkan racun bulu bulu babi.
Selanjutnya, polisi-polisi tersebut bertanya kepada korban: ada doi ngana? (ada uang kamu?). Dijawab korban: tidak komdan.
Lalu polisi-polisi itu memeriksa saku celana korban dan menemukan uang Rp.10 Ribu. Mereka berkata akan memesan gojek. Korban diberikan uang Rp 12 Ribu karena tidak mendapat gojek.
Kemudian, polisi polisi itu menanyakan kepada korban, siapa saja yang berada di rumah. Dijawab korban, di rumah hanya ada nenek dan seorang saudara laki-laki.
Polisi polisi itu mengancam korban agar tidak mengadukan kepada siapapun sambil berkata: awas ngana bilang pa ngana pe oma eh, kalu torang dapa torang se patah nape kaki (awas kamu bilang kepada oma, kalau kami temukan kami patahkan kaki kamu).
Setelah itu polisi polisi itu pergi meninggalkan korban lalu korban berjalan kaki dari pantai Malalayang singgah di warung yang sudah buka membeli air minum karena korban sangat haus.
Korban meneruskan perjalanan dalam kondisi lelah sekali dan pakaian bau kencing.
Menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki ketika berada di persimpangan Teteli menuju Desa Koha korban bertemu seseorang warga Koha mengendarai sepeda motor. Korban diberi tumpangan diantar pulang hingga ke rumah korban.
Ketika tiba di rumah waktu menunjukkan sekitar pukul 06.00 pagi.
Steni Palantung, ayah korban, mengaku kaget kejadian penganiayaan yang dialami anaknya.
Minggu (30/9/2018), sekitar pukul 3 sore, Steni Palantung melaporkan penganiayaan berat tersebut ke Provost Polda Sulut tapi disuruh ke Polresta Manado.
Tiba di Polresta Manado pukul 3.30 sore, langsung di-BAP hingga pukul 7 malam. Selanjutnya korban menjalani visum di Rumah Sakit Bhayangkara sekitar pukul 8 malam.
Selasa (2/10/2018), Steni Palantung menerima telpon dari penyidik Polresta bernama Vikri Latief yang mengatakan bahwa polisi polisi penganiaya korban bukan anggota Polres Manado tapi anggota Polda Sulut.
Sekitar pukul 11.00 Wita, Steni ke Polda Sulut bertanya pada salah-satu anggota Provos sambil menunjukkan foto 2 anggota polisi pelaku penganiyaan belakangan diketahui bernama Bayu dan Angga sama dengan nama korban, sempat dikenali korban dan diakui benar sebagai anggota Polda Sulut.
Bagian Propam sampaikan kepada Steni untuk meminta kepada Polresta Manado limpahkan kasus ke Polda Sulut ke bagian Paminal (intel Propam).
Setelah satu minggu lebih baru dilimpahkan. Proses di Paminal sekitar 2 minggu, kemudian ke Propam.
“Minggu lalu saya cek sudah di Provost mereka bilang nanti telpon,” tutur Steni, ayah korban.
Lanjut Steni, terakhir Senin 19 November, dia ke ruangan Provost, seorang polisi wanita yang sudah senior menyuruh melaporkan ke SPKT karena hak korban.
“Seorang polisi di Provost bilang ke SPKT kalau tidak diterima minta dibuatkan surat kalau tidak, nanti provost yang ke situ,” tandas Steni menirukan ucapan polisi, sambil menambahkan pada pukul 12.00 Wita laporan diterima sambil menyerahkan hasil visum kepada Provost.
“Saya minta pak Kapolda pecat mereka! Motifnya apa? Sebagai orang tua tidak terima. Kalaupun tidak selesai di kantor hukum tua silakan bawa ke kantor polisi diproses. Ini penculikan dan penganiayaan,” tegas Steni sambil menambahkan ikut melaporkan Andre Sulu, anak hukum tua yang juga anggota polisi yang dianggap biang penganiayaan.
Kabid Humas Polda Sulut, Kombes Pol. Ibrahim Tompo dikonfirmasi BeritaManado.com melalui telepon selular yang biasa dihubungi sejak kemarin hingga Jumat (23/11/2018) hari ini, belum mengangkat telepon.
(JerryPalohoon)
Manado – Tindakan brutal kembali diperagakan anggota Sabhara Polda Sulut.
Jika pada Desember 2017 lalu, 5 anak di bawah umur menjadi korban penganiayaan puluhan Sabhara, kejadian serupa juga dialami Angga Kurnia Palantung, warga Jaga 2, Desa Koha Induk, Kecamatan Mandolang, Kabupaten Minahasa.
Memiriskan, korban Angga berusia 21 tahun, diduga dianiaya sekitar 7 anggota Sabhara Polda Sulut disebabkan masalah sepele. Korban sempat terlibat perkelahian dengan saudaranya tapi sudah diselesaikan secara damai di rumah hukum tua justru “diculik” kemudian dianiaya di pantai dekat SPBU Malalayang.
Kejadian penganiayaan pada Minggu, 30 September 2018 dinihari, sekitar pukul 02.00 Wita.
Terkait kasus tersebut, Kabid Humas Polda Sulut, Kombes Pol. Ibrahim Tompo yang dikonfirmasi BeritaManado.com melalui telepon selular yang biasa dihubungi sejak kemarin hingga Jumat (23/11/2018) hari ini, belum mengangkat telepon.
Kepada BeritaManado.com, di rumah kopi K.8 Sario, Senin (19/11/2018) malam, korban Angga didampingi Steni Palantung, ayah korban, menceritakan kronologi kejadian.
Sabtu, 29 September 2018, sekitar pukul 22.00 Wita, korban sedang duduk makan di rumah sambil membuka dan membaca FB.
Korban Angga terpancing dengan komentar dari Luis Rori di FB yang notabene masih saudara korban. Keduanya terlibat perang komentar hingga berujung Luis mengundang berkelahi.
Usai makan, korban menuju ke rumah saudaranya di tengah kampung sambil duduk menonton anak-anak main playstation. Korban dan Luis masih terlibat perdebatan komentar di FB.
Tak lama kemudian, sekitar pukul 23.00 Wita, Luis datang menemui korban dalam kondisi mabuk, mendorong korban sambil menyuruh korban memukul lebih dahulu. Adu mulut tak terhindarkan.
Terlanjur emosi akhirnya keduanya terlibat perkelahian namun segera dilerai warga dan perangkat desa, kemudian di suruh pulang ke rumah masing-masing.
Tapi korban tidak langsung pulang namun mampir di rumah temannya untuk berbincang-bincang.
Sekitar pukul 1.00 Wita, Minggu (30/9/2018) dinihari, ketika sudah berada di rumah sambil menonton televisi, korban Angga didatangi beberapa polisi Sabhara (yang dikenali dari pakaian dan sepeda motor yang digunakan) di antar seorang warga.
Korban ke luar rumah sambil menanyakan maksud kedatangan mereka (polisi). Namun polisi Sabhara itu langsung memaksa naik motor bermerek Yamaha Vision.
Di dalam rumah ada nenek dan saudara laki-laki korban, sementara ayah korban tidak berada di rumah.
Ternyata, korban di bawa ke rumah hukum tua Desa Koha Barat bernama Anton Sulu. Di situ terlihat banyak polisi Sabhara.
Namun secara tiba tiba dari arah belakang korban ditampar berulang kali oleh Andre Sulu, anak dari hukum tua yang juga anggota kepolisian.
Korban Angga sempat terjatuh akibat tamparan keras kena telinga dan mengalami pusing, tapi korban masih sempat bertanya kepada Andre Sulu kenapa memukulnya?
“Dia menjawab: ngana mo lia tamo bage pa ngana sini (kamu mau lihat saya pukul kamu disini),” ujar Angga sambil disuruh berjongkok oleh Andre yang tidak mengenakan pakaian dinas.
Setelah sekitar 2 menit di suruh berjongkok, hukum tua Anton Sulu keluar dari dalam rumah dan menyuruh korban dan Luis Rori masuk selanjutnya menegur dan memberikan arahan dan binaan agar tidak melakukan perkelahian lagi.
Sementara hukum tua bercerita pada korban Luis Rori, anggota polisi yang berada di luar masuk dan mendengar pembicaraan.
Hukum tua Anton Sulu menanyakan kepada keduanya: kong mo bagimana ngoni dua ini (mau bagaimana kalian berdua ini), sambil dijawab: mo damai jo hukum tua (mau damai saja hukum tua). Ujar keduanya disertai pembuatan surat pernyataan.
Selanjutnya, beberapa anggota Sabhara ke luar rumah menyisakan satu anggota polisi di dalam rumah yang kebetulan tinggal di desa tersebut.
Setelah menulis dan menandatangani surat pernyataan, korban dan Luis Rori di suruh pulang oleh hukum tua.
Ketika korban Angga akan pulang menumpangi sepeda motor temannya, tiba-tiba Andre Sulu, anak hukum tua yang juga anggota polisi menyuruh korban naik motor seorang polisi.
Korban berpikiran positif dan menghargai permintaan itu, korban berpindah motor kemudian naik di motor polisi dengan harapan akan diantar pulang ke rumahnya sesuai perintah hukum tua.
Ketika sepeda motor yang dikemudikan polisi tinggal beberapa meter dari rumah, korban meminta berhenti sambil berkata: komdan brenti di muka lorong jo tape rumah kwa disitu (komban berhenti di muka lorong saja rumah saya di situ).
Polisi memelankan laju sepeda motor, namun dari arah belakang korban mendengar teriakan seorang polisi: trus jo (jalan terus saja). Polisi yang mengendarai sontak tancap gas menambah kecepatan sepeda motor.
Merasa ganjil dengan tindakan memacu sepeda motor, korban bertanya kepada polisi yang berkendara: komdan mo bawa kamana kita (komdan mau bawa kemana saya).
Polisi tersebut hanya menjawab: sudah iko jo (sudah ikut saja). Korban semakin gelisah karena tidak tahu maksud dari 7 anggota polisi Sabhara itu.
Ternyata sepeda motor berhenti di tepi pantai Malalayang tidak jauh dari SPBU yang sudah berjarak sekitar 10 km dari rumah korban. Korban memperkirakan ketika itu sekitar pukul 2.00 Wita, Minggu dinihari.
Polisi di sepeda motor di belakang korban bertanya: ngana Polsek apa, Pineleng atau Malalayang? Dijawab korban: saya tidak tahu komdan karena baru kali ini berurusan dengan polisi.
Selanjutnya, para polisi menyuruh korban turun di pantai ke pemecah ombak.
Tak disangka, korban disuruh merayap disertai penganiayaan berat di sekujur tubuh korban. Ditampar di kepala, kemudian ditendang di bagian belakang dan dada dekat jantung.
Lebih sadis lagi, korban di suruh berguling di pinggiran pantai lalu 1 orang anggota polisi ikut dengan korban kemudian menampar dan memukul korban.
Setelah itu polisi menyuruh korban berenang namun korban mengatakan bahwa dia tidak tahu berenang. Namun seorang polisi mengatakan: sudah pi ba colo di aer sana jo ngana capat (pergi menyebur di air sana kamu cepat).
Korban langsung menyeburkan diri ke air tapi tiba tiba bagian belakang badan korban merasa perih sekali karena tertusuk bulu-bulu babi. Sontak, korban berteriak: komdan bulu bulu babi! (komdan ada bulu bulu babi). Bulu bulu babi adalah sejenis bulu tapi beracun yang jika mengenai tubuh manusia akan terasa sakit luar biasa.
Namun seorang polisi hanya mengatakan kepada korban: putar bale ngana babi (kamu berdusta sambil menyebutkan hewan babi).
Tidak puas dengan tindakan biadab mereka, para polisi itu menyuruh korban naik di batu pemecah ombak. Kembali memukul dan menyuruh korban berjalan menggunakan lutut setelah berada di bagian tengah pemecah ombak. Korban merasa tersiksa dan merasakan sakit luar biasa.
Kemudian korban disuruh duduk, seorang polisi memberikan rokok tapi ditolak korban sambil berkata: komdan so brenti ba roko kita so tiga bulan (komdan sudah berhenti merokok saya sudah tiga bulan).
Tapi, seorang polisi terus memaksa sambil berkata: ambe jo capat (ambil cepat). Namun korban kembali mengatakan: adoh kasiang komdan so nda ba roko kita. Tiba-tiba dari arah belakang korban kembali dipukul hingga terjatuh sambil korban berkata: adoh kasiang komdan (aduh kasihan saya komdan).
Korban kembali di suruh duduk. Polisi melihat di bagian belakang badan korban tertanam bulu bulu babi tetap beringas memukul-mukul bagian belakang badan korban yang tertanam bulu bulu babi menggunakan batu. Kata polisi menurut korban, untuk mengeluarkan bisa atau racun dari bulu bulu babi.
Tak sampai di situ, seorang polisi menyuruh korban buang air kecil namun korban menolak karena tidak mau buang air kecil namun diancam harus buang air kecil sambil seorang polisi berkata: ngana mo lia tong mo se takincing sini pa ngana (kamu mau lihat kami akan membuat kamu terkencing di sini).
Sadis!!!
Menurut korban, seorang polisi yang kencing di botol air mineral lalu menyiramkan air kencing nya di belakang badan korban sambil berkata bahwa air kencing itu untuk menghilangkan racun bulu bulu babi.
Selanjutnya, polisi-polisi tersebut bertanya kepada korban: ada doi ngana? (ada uang kamu?). Dijawab korban: tidak komdan.
Lalu polisi-polisi itu memeriksa saku celana korban dan menemukan uang Rp.10 Ribu. Mereka berkata akan memesan gojek. Korban diberikan uang Rp 12 Ribu karena tidak mendapat gojek.
Kemudian, polisi polisi itu menanyakan kepada korban, siapa saja yang berada di rumah. Dijawab korban, di rumah hanya ada nenek dan seorang saudara laki-laki.
Polisi polisi itu mengancam korban agar tidak mengadukan kepada siapapun sambil berkata: awas ngana bilang pa ngana pe oma eh, kalu torang dapa torang se patah nape kaki (awas kamu bilang kepada oma, kalau kami temukan kami patahkan kaki kamu).
Setelah itu polisi polisi itu pergi meninggalkan korban lalu korban berjalan kaki dari pantai Malalayang singgah di warung yang sudah buka membeli air minum karena korban sangat haus.
Korban meneruskan perjalanan dalam kondisi lelah sekali dan pakaian bau kencing.
Menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki ketika berada di persimpangan Teteli menuju Desa Koha korban bertemu seseorang warga Koha mengendarai sepeda motor. Korban diberi tumpangan diantar pulang hingga ke rumah korban.
Ketika tiba di rumah waktu menunjukkan sekitar pukul 06.00 pagi.
Steni Palantung, ayah korban, mengaku kaget kejadian penganiayaan yang dialami anaknya.
Minggu (30/9/2018), sekitar pukul 3 sore, Steni Palantung melaporkan penganiayaan berat tersebut ke Provost Polda Sulut tapi disuruh ke Polresta Manado.
Tiba di Polresta Manado pukul 3.30 sore, langsung di-BAP hingga pukul 7 malam. Selanjutnya korban menjalani visum di Rumah Sakit Bhayangkara sekitar pukul 8 malam.
Selasa (2/10/2018), Steni Palantung menerima telpon dari penyidik Polresta bernama Vikri Latief yang mengatakan bahwa polisi polisi penganiaya korban bukan anggota Polres Manado tapi anggota Polda Sulut.
Sekitar pukul 11.00 Wita, Steni ke Polda Sulut bertanya pada salah-satu anggota Provos sambil menunjukkan foto 2 anggota polisi pelaku penganiyaan belakangan diketahui bernama Bayu dan Angga sama dengan nama korban, sempat dikenali korban dan diakui benar sebagai anggota Polda Sulut.
Bagian Propam sampaikan kepada Steni untuk meminta kepada Polresta Manado limpahkan kasus ke Polda Sulut ke bagian Paminal (intel Propam).
Setelah satu minggu lebih baru dilimpahkan. Proses di Paminal sekitar 2 minggu, kemudian ke Propam.
“Minggu lalu saya cek sudah di Provost mereka bilang nanti telpon,” tutur Steni, ayah korban.
Lanjut Steni, terakhir Senin 19 November, dia ke ruangan Provost, seorang polisi wanita yang sudah senior menyuruh melaporkan ke SPKT karena hak korban.
“Seorang polisi di Provost bilang ke SPKT kalau tidak diterima minta dibuatkan surat kalau tidak, nanti provost yang ke situ,” tandas Steni menirukan ucapan polisi, sambil menambahkan pada pukul 12.00 Wita laporan diterima sambil menyerahkan hasil visum kepada Provost.
“Saya minta pak Kapolda pecat mereka! Motifnya apa? Sebagai orang tua tidak terima. Kalaupun tidak selesai di kantor hukum tua silakan bawa ke kantor polisi diproses. Ini penculikan dan penganiayaan,” tegas Steni sambil menambahkan ikut melaporkan Andre Sulu, anak hukum tua yang juga anggota polisi yang dianggap biang penganiayaan.
Kabid Humas Polda Sulut, Kombes Pol. Ibrahim Tompo dikonfirmasi BeritaManado.com melalui telepon selular yang biasa dihubungi sejak kemarin hingga Jumat (23/11/2018) hari ini, belum mengangkat telepon.
(JerryPalohoon)