Manado – Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Inovasi Unsrat Manado, Senin (06/05) kemarin, sukses menggelar acara nonton bareng (noreng) film “Di Balik Frekuensi.” Kegiatan dirangkaikan dengan peluncuran Majalah Inovasi Unsrat dan Diskusi Terbuka ini digelar atas kerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado.
Rangkaian kegiatan yang digelar di Aula Fisip Unsrat ini dibuka secara resmi oleh Deputy PR III Unsrat, Dr Ir Joice Rimper MSi didampingi Drs Max Rembang MSi yang mewakili Dekan FISIP Unsrat.
Dalam sambutannya, Joice mengharapkan, Majalah Inovasi bisa menjadi wahana bagi mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi mereka, sekaligus tempat mengasah para calon jurnalis muda sebelum turun ke industri media. “Saya berharap Inovasi Unsrat bisa menjadi semacam dapur yang menggodok calon jurnalis muda, serta sebagai wadah aspirasi mahasiswa,” papar Joice.
Sementara itu, Pemimpin Umum LPM Inovasi Unsrat, Deysie Kanal menjelaskan, rangkaian kegiatan yang digelar tersebut merupakan bentuk kepedulian kalangan mahasiswa terhadap kondisi media dewasa ini, termasuk hak-ak pekerja media itu sendiri.
“Lewat film “Di Balik Frekuensi ini”, mau dikisahkan bagaimana posisi tawar dari pekerja media, para jurnalis, serta kondisi industri media secara umum dewasa ini,” papar Deysie didampingi Ketua Tim Kerja, Herid Oflili.
Usai peluncuran Majalah Inovasi, kegiatan dilanjutkan dengan noreng film “Di Balik Frekuensi”.
Secara garis besar, film ini menceritakan tentang perjuangan Luviana, seorang jurnalis yang bekerja di Metro TV. Setelah dia berjuang untuk mendapatkan hak-hak sebagai seorang karyawan seperti memperjuangan upah para jurnalis, oleh Surya Paloh selaku pemilik Metro TV, Luviana malah dipaksa untuk mengundurkan diri.
Film berdurasi 145 menit karya para jurnalis yang tergabung dalam AJI Jakarta ini mengundang perhatian ratusan mahasiswa yang hadir. setengah sesi pemutaran film itu, dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan tiga pembicara masing-masing akademisi Unsrat, Drs Max Rembang MSi, Ketua AJI Manado, Yoseph E Ikanubun, dan Pemred Cahaya TV, Ursula Pontoh.
Dalam pemaparannya, Rembang lebih melihat tentang bagaimana posisi para pekerja media yang cukup lemah dalam posisi tawarnya dengan pihak perusahaan media. Sehingga tindakan pemecatan sewaktu-waktu bisa dilakukan oleh para pemilik media.
Sedangkan Pontoh mengatakan, perlu ada regulasi yang mengikat para pemilik media agar harus memperhatikan hak-hak para jurnalisnya, termasuk regulasi untuk mengatur independensi media agar terbebas dari kepentingan para pemilik modal yang menguasai industri media.
Sementara Ikanubun dalam pemaparannya mengatakan, kasus Luviana bisa terjadi pada siapa saja, pekerja media di negeri ini. “Ini menunjukan bahwa posisi tawar pekerja media memang masih lemah. Selain regulasi secara umum, saya pikir perlu ada serikat pekerja di setiap perusahaan media yang nantinya mempunyai posisi tawar yang kuat dalam memperjuangkan hak-hak para pekerja. Serikat pekerja ini sebenarnya juga berguna bagi pihak perusahaan media, karena ikut mendorong etos kerja dan peningkatan produktifitas perusahaan,” papar Ikanubun.
Usai diskusi, sesi berikutnya dilanjutkan dengan pemutaran film tersebut yang masuk tahapan kedua. Rangkaian kegiatan yang dimulai pukul 13.00 Wita ini berakhir pukul 17.30 Wita, sore kemarin.(aha)
Manado – Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Inovasi Unsrat Manado, Senin (06/05) kemarin, sukses menggelar acara nonton bareng (noreng) film “Di Balik Frekuensi.” Kegiatan dirangkaikan dengan peluncuran Majalah Inovasi Unsrat dan Diskusi Terbuka ini digelar atas kerjasama dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado.
Rangkaian kegiatan yang digelar di Aula Fisip Unsrat ini dibuka secara resmi oleh Deputy PR III Unsrat, Dr Ir Joice Rimper MSi didampingi Drs Max Rembang MSi yang mewakili Dekan FISIP Unsrat.
Dalam sambutannya, Joice mengharapkan, Majalah Inovasi bisa menjadi wahana bagi mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi mereka, sekaligus tempat mengasah para calon jurnalis muda sebelum turun ke industri media. “Saya berharap Inovasi Unsrat bisa menjadi semacam dapur yang menggodok calon jurnalis muda, serta sebagai wadah aspirasi mahasiswa,” papar Joice.
Sementara itu, Pemimpin Umum LPM Inovasi Unsrat, Deysie Kanal menjelaskan, rangkaian kegiatan yang digelar tersebut merupakan bentuk kepedulian kalangan mahasiswa terhadap kondisi media dewasa ini, termasuk hak-ak pekerja media itu sendiri.
“Lewat film “Di Balik Frekuensi ini”, mau dikisahkan bagaimana posisi tawar dari pekerja media, para jurnalis, serta kondisi industri media secara umum dewasa ini,” papar Deysie didampingi Ketua Tim Kerja, Herid Oflili.
Usai peluncuran Majalah Inovasi, kegiatan dilanjutkan dengan noreng film “Di Balik Frekuensi”.
Secara garis besar, film ini menceritakan tentang perjuangan Luviana, seorang jurnalis yang bekerja di Metro TV. Setelah dia berjuang untuk mendapatkan hak-hak sebagai seorang karyawan seperti memperjuangan upah para jurnalis, oleh Surya Paloh selaku pemilik Metro TV, Luviana malah dipaksa untuk mengundurkan diri.
Film berdurasi 145 menit karya para jurnalis yang tergabung dalam AJI Jakarta ini mengundang perhatian ratusan mahasiswa yang hadir. setengah sesi pemutaran film itu, dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan tiga pembicara masing-masing akademisi Unsrat, Drs Max Rembang MSi, Ketua AJI Manado, Yoseph E Ikanubun, dan Pemred Cahaya TV, Ursula Pontoh.
Dalam pemaparannya, Rembang lebih melihat tentang bagaimana posisi para pekerja media yang cukup lemah dalam posisi tawarnya dengan pihak perusahaan media. Sehingga tindakan pemecatan sewaktu-waktu bisa dilakukan oleh para pemilik media.
Sedangkan Pontoh mengatakan, perlu ada regulasi yang mengikat para pemilik media agar harus memperhatikan hak-hak para jurnalisnya, termasuk regulasi untuk mengatur independensi media agar terbebas dari kepentingan para pemilik modal yang menguasai industri media.
Sementara Ikanubun dalam pemaparannya mengatakan, kasus Luviana bisa terjadi pada siapa saja, pekerja media di negeri ini. “Ini menunjukan bahwa posisi tawar pekerja media memang masih lemah. Selain regulasi secara umum, saya pikir perlu ada serikat pekerja di setiap perusahaan media yang nantinya mempunyai posisi tawar yang kuat dalam memperjuangkan hak-hak para pekerja. Serikat pekerja ini sebenarnya juga berguna bagi pihak perusahaan media, karena ikut mendorong etos kerja dan peningkatan produktifitas perusahaan,” papar Ikanubun.
Usai diskusi, sesi berikutnya dilanjutkan dengan pemutaran film tersebut yang masuk tahapan kedua. Rangkaian kegiatan yang dimulai pukul 13.00 Wita ini berakhir pukul 17.30 Wita, sore kemarin.(aha)