Tondano, BeritaManado.com — Mendiang Prof. Drs. Tumenggung Zees, seorang Antropolog lulusan Universitas Indonesia (UI) yang pernah menjadi Guru Besar Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT) dalam otobiografi budaya menuliskan 190 Tahun “Touselam Minahasa Niyaku Toudano”.
Buku tersebut kelak disunting oleh dua antropolog yang juga merpakan muridnya masing-masing Alex John Ulaen dan Narsun Sandiah yang menegaskan bahwa genealogi identitas sub-etnik Jawa Tondano di Minahasa.
Dalam Tesis Sejarawan Fakultas Ilmu Budaya UNSRAT Manado Roger Kembuan MHum di Pasca Sarjana Universitas Gajah Mada (UGM) ditemukan identtias toponim itu dengan sebutan yang kurang dikukuhkan.
Penamaan asal-usul tentu terkait dengan identitas yang tersemat pada beberapa sub-etnik lainnya dan bersesuaian dengan bahasanya, seperti Touselam (dibaca: Tou Islam), Tolour (Toudano), Tousea (Tonsea), Toubulu (Tombulu), Tousawang (Tonsawang), Toutemboan (Tontemboan) dan menyusul tanpa suku kata Tou (manusia) yaitu Ponosakan dan Ratahan.
Identitas-identitas ini, Kontrolir Dr. L. Adam telah menguraikan dalam “Adatrect van Minahassische Volk” (1925) sesuai dengan bahasanya yang digunakan.
Menurut Budayawan Reiner Ointoe, terkait Touselam, meski tidak menjadi populer diletakkan pada identitas Jawa Tondano (Jaton), faktanya Kyai Mojo bersama 62 rombongannya setelah dipindahkan dari Ambon mneyusul ditawannya Pangeran Diponegoro di Manado (Fort Niew Amsterdam) pada 1830, ikut melakukan konversi dengan keke-keke Tondano, dantaranya Rumbayan dan Worenga.
“Konversi ini bukanlah suatu keniscayaan bagi pembentukan identitas baru bagi sub-etnik Minahasa pada umumnya. karena di saat bersamaan Zendeling F.G. Riedel ikut mengkonversi sub-etnik Tondano dalam Kekristenan (Christendom) yang diajukan oleh Nederland Zendeling Genoschap (NZG) yang dipimpin Josef Kam. Bahkan, dialog antara Kyai Mojo dan Riedel telah dicatat oleh Nicolash Graafland pada 1869,” jelas Ointoe.
Ditambahkannya, dengan kata lain, hanya Riedellah yang berhasil melakukan konversi di Tondano hingga mencapai lebih dua ribu orang menjadi penganut Kristen dengan menanggalkan agama suku mereka yang dijuluki alifuru.
Sementara itu, Kyai Mojo dan para pengikutnya terbukti hingga hari ini konversi Touselam tidak bersifat massif, bahkan hanya terbatas di lokasi yang saaat ini familiar dengan sebutan Kampung Jaton.
Akibatnya, tidak ada alasan untuk menafsirkan sejarah Touselam itu dalam pertumbuhan di Minahasa sebagai identitas jamak (plural) yang justru sangat menguatkan kohesi sosial budaya kemasyarakatan Minahasa pada umunya.
“Tou Minahasa sebagai penanda identitas jamak itu merupakan sofistifikasi cultural yang nyaris tidak dimiliki etnik-etnik lain di Nusantara. Karena itu, tidak hanya Islam yang bisa mengklaim senagai “Islam Nusantara” sebagaimana telah ditunjukkan oleh Komunitas Jaton. Kristen Nusantara pun milik komunitas umumnya. Niyaku Toudano pada akhirnya adalah penanda kearifan lokal bagi kejamakan yang inheren,” jelasnya.
Komunitas Jaton sendiri hari ini merayakan 190 tahun eksistnsinya di bumi Minahasa dan momentum tersebut bertepatan dengan Bulan Ramadhan 1441 Hijriah.
Pada bagian lain, diperoleh informasi, Kerukunan Keluarga Jaton Indonesia (KKJI) memperingati Hari Lahir (Harlah) ke-190 Jaton dengan mengangkat tema “Mmeinakut Meayo Toroan” (berusaha sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan).
Kegiatannya dalam bentuk doa syukur dan perlindungan atas wabah Corona dengan kuatkan Ibadah Ramadan 1441 H.
(***/Frangki Wullur)