Sangihe, BeritaManado.com — Pada tahun 2019 ini, sedikitnya ada 19 orang pecandu yang tercatat di Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) Sangihe.
Diantaranya pecandu lem eha bon kemudian obat-obatan seperti grantusif, mextril, komix dan trihexyphenidyl serta jamur yang tumbuh dari kotoran sapi.
Kepala BNNK Sangihe Melkias Tuwankotta menjelaskan, jadi ke 19 orang pecandu ini masih berusia remaja dan semuanya laki-laki. Sedangkan untuk tingkat kecanduan itu berbeda-beda coba pakai ada 13 orang, teratur pakai 1 orang dan pecandu 5 orang.
“Hingga saat ini di Sangihe masih belum ada yang menggunakan Narkoba. Yang sering digunakan itu adalah lem eha bon, jadi kami melarang menjual belikan kepada anak-anak remaja,” kata Tuwankotta, Jumat (13/12/2019).
Lanjutnya, untuk Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) khususnya untuk masyarakat yang masih bersih atau belum tersentuh narkoba maupun zat adiktif di tahun 2019 ini.
“BNNK Sangihe telah melakukan advokasi, sosialisasi, tes urine, pemberdayaan masyarakat dan kampanye stop narkoba di institusi pemerintah, lingkungan keluarga, lingkungan pendidikan serta masyarakat dengan jumlah 83 kegiatan dengan melibatkan 15.086 orang atau 11,53 persen dari penduduk Sangihe berjumlah 130.833 jiwa,” ungkapnya.
“Ini sudah melebihi capaian target dimana yang ditetapkan 7 persen atau 9.158 orang. Dan juga sepanjang tahun 2019, BNNK Sangihe telah menerbitkan Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Narkotika (SKHPN) sebanyak 476 orang,” sambung dia.
Kendala yang dihadapi selama tahun 2019, Tuwankotta mengakui, SDM yang dimiliki dalam melaksanakan kegiatan sangat terbatas.
“Selain itu juga rendahnya partisipasi pelaksanaan tes urine di lingkungan instansi pemerintah, karena tidak dianggarkan oleh masing-masing instansi pemerintah,” bebernya.
Dia menambahkan, juga kurangnya kesadaran masyarakat untuk memberikan informasi atau laporan tentang adanya pecandu atau penyalahguna narkoba yang ada di lingkungan masyarakat.
“Sehingga petugas yang mencari sendiri keberadaan para penyalahguna. Serta kurangnya kesadaran penyalahguna untuk datang ke klinik rehabilitasi, sehingga petugas harus datang ke rumah untuk melakukan kunjungan dan konseling pada para pecandu,” tandas Tuwankotta.
(Christ)