BeritaManado.com — Bank Indonesia (BI) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) menggelar High Level Meeting (HLM) Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) dan Tim Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Daerah (TP2DD) Kabupaten/Kota se-Minahasa Raya, Tomohon dan Bitung, Selasa (27/2/2024).
Kegiatan ini turut dirangkaikan dengan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) 2024, di Hotel Sutanraja Minahasa Selatan.
Tujuan acara antara lain sebagai fondasi dalam menjaga stabilitas harga bahan pangan, sekaligus mendorong peningkatan digitalisasi di Sulut.
Wakil Gubernur (Wagub) Sulut, Steven Kandouw, saat membuka kegiatan mengapresiasi BI Sulut yang menginisiasi pertemuan.
Apalagi, kata Steven, semua yang hadir adalah pengambil keputusan.
“Saya apresiasi pak Andry (Kepala BI Sulut) adakan acara ini. HLM saya setuju, karena jujur saya sampaikan bapak/ibu ini takut sama pimpinannya. Ini yang hadir langsung petinggi. Dengar sendiri bagaimana berbahayanya harga pangan kalau tak dikendalikan,” tutur Steven.
Steven mencontohkan bahwa hari ini ia mendapat info harga beras berada paling tinggi dalam sejarah.
Di beberapa daerah, menembus Rp18.000 per kilogram.
Dikatakan, apabila harga beras terus demikian dan tidak turun, akan berpengaruh ke masyarakat.
“Singkat kata, kenaikan harga pangan ini satu hal amat berbahaya,” tegasnya.
Beda hal, lanjut Steven, dengan kenaikan harga rokok atau harga kopi.
“Kenaikan rokok, ibu bisa ngomel ke pak stop rokok. Kalau kenaikan kopi di starbucks, pak sudak jo ke starbucks ke RKB jo atau kalau di Amurang ke Topas. Tapi, beras siapa mau rubah?,” tuturnya.
“Ini hal faktual yang harus kita hadapi bersama-sama,” sambung dia.
Olehnya, kenaikan harga bahan pangan, Steven berharap jadi perhatian bersama.
“Kepala daerah sebagai eksekutor harus underline perhatikan ini. Yang disampaikan Pak Andre, jangan disimpan dalam hati tapi dimplementasikan,” tuturnya.
Di sisi lain, Steven menduga adanya permainan harga bahan pangan dilakukan oleh tengkulak.
“Tengkulak-tengkulak identifikasi sentral produksi kita. Mulai dari kentang di Modoinding, Tomat di Langowan dan Tompaso. Jauh-jauh hari sudah dibeli ke petani,” terangnya.
Hasil tengkulak itu, tambah dia, dibawa ke pasar-pasar besar seperti di Kota Manado.
“Akhirnya yang untung mereka tengkulak ini,” ujarnya.
Dalam jangka pendek ini, ia mengusulkan untuk sering memonitor harga bahan pangan di Sulut.
“Masalah harga bahan pangan jangan sebulan sekali. Kalau perlu day by day. Setiap hari laporkan ke sekda dan bupati, walikota supaya kita boleh lihat. Jangan sudah parah baru kita turun ke bawah. Tolong day by day kalau perlu live. In time monitor harga bahan pangan ini,” tuturnya.
Orang nomor dua di Sulut ini juga menyarankan penetrasi dalam menekan harga bahan pangan lewat dana desa.
“Dana desa boleh kita gunakan. Juknis dana desa ada juga boleh untuk korelasi pencegahan inflasi pangan,” terangnya seraya mengapresiasi atas gagasan BI yang ikut melibatkan tokoh agama dalam pengendalian inflasi di Sulut.
Di akhir sambutannya, ia meminta para pemangku keputusan yang hadir agar meninggalkan ‘warna’ karena pesta demokrasi telah berakhir.
“Mudah-mudahan musuh yang kita hadapi inflasi terutama bahan pangan kita berani sama-sama. Ini tidak lihat warna, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden sudah lewat. Ini yang kita hadapi bersama-sama,” tandasnya.
(Alfrits Semen)