Dr. Sinyo Harry Sarundajang (SHS) tak hanya dikenal karena sepak terjangnya yang hebat di bidang pemerintahan politik, perdamaian dan diplomatik. SHS adalah salah satu tokoh pers yang banyak memberi kontribusi dalam dunia kewartawanan, baik di Sulawesi Utara maupun tingkat nasional.
Bahkan pria yang ‘tak pernah nonjob’ hingga akhir hayatnya ini, merupakan figur yang sangat memperhatikan wartawan sampai pada hal detail.
Suatu waktu saya pernah menggelar rapat redaksi di Surat Kabar. Agenda rapat tersebut salah satunya rolling pos liputan. Usai rapat, saya tiba-tiba ditelpon SHS yang saat itu menjabat Gubernur Sulut.
Saya pikir ada informasi penting dan menarik yang akan disampaikannya untuk diberitakan. Namun perkiraan saya meleset. Sebagai gubernur yang super sibuk, SHS masih sempat menelpon waktu untuk menanyakan hasil rapat redaksi.
Hebatnya dia menyebut beberapa nama wartawan yang dikenalnya baik. Salah satunya adalah wartawan yang bertugas di Kantor Gubernur. Dia kemudian menanyakan siapa wartawan yang akan bertugas di Kantor Gubernur atas hasil rolling tersebut.
Ketika saya sebutkan ada pergantian, dia pun memberikan masukan tanpa bermaksud mengintervensi. “Itu domain ke dalam redaksi kalian, tapi saya hanya ingin memberi masukan,” katanya waktu itu. SHS malah bertanya balik bagaimana mekaisme rolling di kalangan wartawan.
Saya jelaskan jenjang proses rolling di kantor saya dibahas dari tingkat dewan redaksi, dan bukan semata putusan tunggal seorang pemimpin redaksi. SHS pun memberi apresiasi dan mengatakan, secepatnya wartawan yang baru di Kantor Gubernur diperkenalkan kepadanya. Saya pun mengamini.
Pengalaman menarik lainnya ketika pertama kali mewawancarainya. Saat itu SHS masih menjabat Walikota Bitung. Sebagai wartawan yang baru dirolling untuk peliputan di Kota Bitung (istilahnya kepala Biro Bitung), momen wawancara perdana itu juga sekalian perkenalan saya dengannya.
Saya tercengang ketika bertemu, ternyata SHS sudah men-tracing siap saya, lengkap dengan asal saya dan siapa orang tua saya. Termasuk track politik ayah saya yang dulunya berkiprah di SOKSI.
Dalam hati saya, SHS pasti sebelum bertemu mewawancarai berbagai sumber tentang saya. Maklum zaman itu belum ada om Google dan media sosial untuk tracing lewat jejak digital.Tak heran jika perbincangan perdana kami langsung menarik dan lumayan panjang.
Dia juga menyebut sejumlah wartawan senior yang dikenalnya, termasuk memberi kredit poin terhadap Axsel Galatang yang merupakan atasan sekaligus mentor saya di dunia pers. Dari perkenalan pertama itu saya pun langsung mengaguminya sebagai nara sumber yang sangat detil dan benar-benar memahami tugas wartawan.
Bahkan caranya dengan men-tracing profilku sebelum bertemu, SHS secara tidak langsung menunjukkan cara kerja wartawan harus seperti itu, agar proses wawancara bisa lancar dan diperkaya.
Soal detil lainnya, adalah waktu SHS mendapat tugas sebagai Duta Besar di Filipina. Saat sesi foto bersama Presiden Rodrigo Duterte, SHS tiba-tiba nyeletuk di depan Duterte bahwa dia masih mengenal pewarta foto yang mengambil gambar mereka, adalah wartawan yang dulunya bertugas ketika dia dan Duterte menjadikan Bitung dan Davao sebagai “Sister City”.
Perhatian yang detil dan caranya memperlakukan insan pers, menunjukkan bahwa SHS sangat memahami juang dan gumul para pencari berita. Bagi saya, SHS juga adalah orang yang sangat mengidolakan profesi wartawan.
Penghargaan Pena Emas
Hal ini ditunjukannya ketika memberikan sambutan saat SHS menerima penghargaan Pena Emas dari PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) tahun 2013 silam.
“Kalau saya sudah pensiun dari gubernur, saya akan menjadi wartawan,” katanya dalam sambutan tersebut.
(Baca juga: SHS Terima Pena Emas, Tarman: Penghargaan Ini Bukan Hadiah)
Dan memang benar, SHS yang rajin melahirkan beberapa buku tentang pemerintahan dan politik, kemudian menjadi anggota Dewan Pers di Tahun 2016-2019 pasca berakhirnya jabatan sebagai Gubernur Sulut.
Suatu waktu saya pernah dipanggilnya ke Kawangkoan. SHS kemudian mengajak masuk di perpustakaan pribadinya yang besar. Kami kemudian membahas soal media massa dan perkembangannya. Dia mengaku terus mengikuti perkembangan industri pers, karena salah satu passionnya adalah dunia jurnalistik. Bahkan dengan bangganya dia menunjukkan kartu pers kehormatan PWI. Kartu tersebut, kata dia, selalu dikantongi di dompetnya.
Passion terhadap pekerja pers pertama kali diminatinya ketika SHS sekolah di Eropa. Dan dia mengakui salah satu temannya adalah seorang wartawan koran besar yang pernah membongkar kasus yang terkenal dengan nama watergate.
Watergate adalah sebuah skandal politik di Amerika Serikat yang mengakibatkan mundurnya Presiden Richard Nixon di era tahun 1974.
Pergaulan berkelas internasional dan banyak relasi tokoh dan praktisi pers nasional dan global, tak menjadikan SHS meremehkan kalangan wartawan, sekalipun seorang wartawan yunior.
Dia lebih sering memposisikan sebagai nara sumber yang secara halus menyelipkan pelajaran-pelajaran penting bagaimana menjadi seorang pekerja pers yang handal, tanpa terlihat menggurui wartawan itu sendiri.
SHS juga sebagai news maker sangat memahami jika kemudian dia dikritik oleh pers. Meski begitu, jika tidak senang dengan tulisan pers terhadapnya, SHS secara terbuka mengakuinya dan secara blak-blakkan menyatakan ketidaksenangannya. Meski begitu dia sangat menyadari jika berita tersebut obyektif, dia tidak akan seterusnya antipati, apalagi memblack-list wartawan tersebut.
Saya ada kisah menggelitik ketika dia secara terang-terangan menyatakan protes atas berita yang dimuat. Saat itu SHS adalah Walikota Bitung. Kami pernah mengangkat berita soal “Amburadulnya Pemkot Bitung” waktu itu. Beritanya sampai berseri, hehe..
Saya dan seorang redaktur kemudian dipanggilnya untuk dia berikan klarifikasi. Namun sebelum memberi klarifikasi, SHS terlihat marah. Mukanya memerah jika sedang marah.
Di awal pembicaraan SHS menyebut redaktur saya telah ‘menyerangnya’ lewat berita. Kepada redaktur saya SHS menyatakan ada sekitar 15 berita yang ditulisnya telah menyerangnya. Itu kata dia ditelusuri dari kode penulis berita.
Saya waktu mendengarnya tertawa kecil. Dalam hatiku “Saya aman karena yang disemprot Pak Walikota adalah berita dengan kode redaktur saya.”
Tapi ketika melihat saya tertawa kecil, tiba-tiba sambil mengacungkan jarinya kepada saya SHS katakan “Ngana friko kita hitung-hitung ada 20 kali !.”
Ups, saya langsung terdiam. Giliran redaktur saya yang tersenyum. Namun umbar marah SHS selalu tidak panjang. Dia tetap mengakui dan memahami bahwa kritikan pers juga baik untuk kepemimpinanya.
Dan dia dengan cepat merespons kritikan-kritikan tersebut dengan cepat. Bahkan dalam beberapa kesempatan dia langsung menelpon anak buahnya untuk membenahi apa yang disoroti berita.
Kini sosok SHS telah tiada. Namun banyak karya dan dedikasi yang dipersembahkannya untuk bangsa dan negara. Dia tak hanya tokoh di bidang pemerintahan dan politik serta juru perdamaian. Namun SHS juga adalah tokoh pers sekaligus mentor di kalangan wartawan.
Selamat Jalan Tokoh Pers, Dr. Sinyo Harry Sarundajang.
Penulis: Friko Poli, wartawan senior
Baca juga:
- Fabian Kaloh Kenang Sinyo Harry Sarundajang: Saya Disuruh Jangan Tidur 24 Jam Tunggu Kapal Pengungsi
- Sinyo Sarundajang Pernah Berjuang Wujudkan Profesionalitas Pers, Yosep Adi Prasetyo Bagikan Momen Bersama
- Ketum PGI Sebut Sinyo Harry Sarundajang Dikenang Gereja sebagai Tokoh Perdamaian
- Jackson Kumaat Pernah 72 Jam Jadi “Sopir” Sinyo Harry Sarundajang di Amerika